Kamis, 16 Juni 2011

EPISTEMOLOGI

Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat diketahui. Sebenarnya kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologi. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanya kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menenatapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya (Luis O. Kattsoff, 2004

Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub sistem dari filsafat. Sistem filsafat disamping meliputi epistemologi, juga ontologi dan aksiologi. Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin dipikirkan. Ontologi adalah teori tentang “ada”, yaitu tentang apa yang dipikirkan, yang menjadi objek pemikiran. Sedangkan aksiologi adalah teori tentang nilai yang membahas tentang manfaat, kegunaan maupun fungsi dari objek yang dipikirkan itu. Oleh karena itu, ketiga sub sistem ini biasanya disebutkan secara berurutan, mulai dari ontologi, epistemologi, kemudian aksiologi. Dengan gambaran senderhana dapat dikatakan, ada sesuatu yang dipikirkan (ontologi), lalu dicari cara-cara memikirkannnya (epistemologi), kemudian timbul hasil pemikiran yang memberikan suatu manfaat atau kegunaan (aksiologi).
Demikian juga, setiap jenis pengetahuan selalui mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Kalau kita ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikatikan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Secara detail, tidak mungkin bahasan epistemologi terlepas sama sekali dari ontologi dan aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan model berpikir sistemik, justru ketiganya harus senantiasa dikaitkan.

Keterkaitan antara ontologi, epistemologi, dan aksiologi—seperti juga lazimnya keterkaitan masing-masing sub sistem dalam suatu sistem--membuktikan betapa sulit untuk menyatakan yang satu lebih pentng dari yang lain, sebab ketiga-tiganya memiliki fungsi sendiri-sendiri yang berurutan dalam mekanisme pemikiran. Hal ini akan lebih jelas lagi, jika kita renungkan bahwa meskipun terdapat objek pemikiran, tetapi jika tidak didapatkan cara-cara berpikir, maka objek pemikiran itu akan “diam”, sehingga tidak diperoleh pengetahuan apapun. Begitu juga, seandainya objek pemikran sudah ada, cara-cara juga adam tetapi tidak diektahui manfaat apa yang bisa dihasilkan dari sesuatu yang dipikirkan itu, maka hanya akan sia-sia. Jadi, ketiganya adalah interrelasi dan interdependensi (saling berkaitan dan saling bergantung).

Namun demikian, ketika kita membicarakan epistemologi disini, berarti kita sedang menekankan bahasan tentang upaya, cara, atau langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan. Dari sini setidaknya didapatkan perbedan yang cukup signifikan bahwa aktivitas berpikir dalam lingkup epistemologi adalah aktivitas yang paling mampu mengembangkan kreativitas keilmuan dibanding ontologi dan aksiologi. Oleh karena itu, kita perlu memahami seluk beluk diseputar epistemologi, mulai dari pengertian, ruang lingkup, objek, tujuan, landasan, metode, hakikat dan pengaruh epistemologi

B. PENGERTIAN EPISTEMOLOGI

Secara historis, istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F. Ferrier, untuk membedakan dua cabang filsafat, epistemologi dan ontologi. Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan atau pengertian yang tidak mudah dipahami. Pengertian epistemologi ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki sudut pandang yang berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga didapatkan pengertian yang berbeda-beda, buka saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi persoalannya.
Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian suatu konsep, meskipun ciri-ciri yang melekat padanya juga tidak bisa diabaikan. Lazimnya, pembahasan konsep apa pun, selalu diawali dengan memperkenalkan pengertian (definisi) secara teknis, guna mengungkap substansi persoalan yang terkandung dalam konsep tersebut. Hal iini berfungsi mempermudah dan memperjelas pembahasan konsep selanjutnya. Misalnya, seseorang tidak akan mampu menjelaskan persoalan-persoalan belajar secara mendetail jika dia belum bisa memahami substansi belajar itu sendiri. Setelah memahami substansi belajar tersebut, dia baru bisa menjelaskan proses belajar, gaya belajar, teori belajar, prinsip-prinsip belajar, hambatan-hambatan belajar, cara mengetasi hambatan belajar dan sebagainya. Jadi, pemahaman terhadap substansi suatu konsep merupakan “jalan pembuka” bagi pembahasan-pembahsan selanjutnya yang sedang dibahas dan substansi konsep itu biasanya terkandung dalam definisi (pengertian).

Demikian pula, pengertian epistemologi diharapkan memberikan kepastian pemahaman terhadap substansinya, sehingga memperlancar pembahasan seluk-beluk yang terkait dengan epistemologi itu. Ada beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu.
epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan. Dalam Epistemologi, pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui”? Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah: 1.Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?; 2). Dari mana pengetahuan itu dapat diperoleh?; 3). Bagaimanakah validitas pengetahuan a priori (pengetahuan pra pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman) (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2003, hal.32).

Pengertian lain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan ? apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manuasia (William S.Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, 1965, dalam Jujun S.Suriasumantri, 2005).
Menurut Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu. Sedangkan, P.Hardono Hadi menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengendaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan D.W Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengendaian-pengendaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.

Inti pemahaman dari kedua pengertian tersebut hampir sama. Sedangkan hal yang cukup membedakan adalah bahwa pengertian yang pertama menyinggung persoalan kodrat pengetahuan, sedangkan pengertian kedua tentang hakikat pengetahuan. Kodrat pengetahuan berbeda dengan hakikat pengetahuan. Kodrat berkaitan dengan sifat yang asli dari pengetahuan, sedang hakikat pengetahuan berkaitan dengan ciri-ciri pengetahuan, sehingga menghasilkan pengertian yang sebenarnya. Pembahasan hakikat pengetahuan ini akhirnya melahirkan dua aliran yang saling berlawanan, yaitu realisme dan idealisme.

Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas daripada kedua pengertian tersebut, diungkapkan oleh Dagobert D.Runes. Dia menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan. Sementara itu, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi sebagai “ilmu yang membahas tentang keasliam, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan”. Kendati ada sedikit perbedaan dari kedua pengertian tersebut, tetapi kedua pengertian ini sedikit perbedaan dari kedua pengertian tersebut, tetapi kedua pengertian ini telah menyajikan pemaparan yang relatif lebih mudah dipahami.

C. RUANG LINGKUP EPISTEMOLOGI.

Bertolak dari pengertian-pengertian epistemologi tersebut, kiranya kita perlu memerinci aspek-aspek yang menjadi cakupannya atau ruang lingkupnya. Sebenarnya masing-masing definisi diatas telah memberi pemahaman tentang ruang lingkup epistemologi sekaligus, karena definisi-definisi itu tampaknya didasarkan pada rincian aspek-aspek yang tercakup dalam lingkup epistemologi daripada aspek-aspek lainnya, seperti proses maupun tujuan. Akan tetapi, ada baiknya dikemukakan pernyataan-pernyataan lain yang mencoba menguraikan ruang lingkup epistemologi, sebab pernyataan-pernyataan ini akan membantu pemahaman secara makin komprehensif dan utuh (holistik) mengenai ruang lingkup pemabahasan epistemologi.

M.Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakekat, sumber dan validitas pengetahuan. Mudlor Achmad merinci menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Bahkan, A.M Saefuddin menyebutkan, bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkat menjadi dua masalah pokok; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.

Jadi meskipun epistemologi itu merupakan sub sistem filsafat, tetapi cakupannya luas sekali. Jika kita memaduakan rincian aspek-aspek epistemologi, sebagaimana diuraikan tersebut, maka teori pengetahuan itu bisa meliputi, hakikat, keaslian, sumber, struktur, metode, validias, unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran, dasar, pengandaian, kodrat, pertanggungjawaban dan skope pengetahuan. Bahkan menurut, Sidi Gazalba, taklid kepada pengetahuan atas kewibaan orang yang memberikannya termasuk epistemologi, sekalipun ia sebenarnya merupakan doktrin tentang psikologi kepercayaan. Jelasnya, seluruh permasalahan yang berkaitan dengan pengetahuan adalah menjadi cakupan epistemologi.

Mengingat epistemologi mencakup aspek yang begitu luas, sampai Gallagher secara ekstrem menarik kesimpulan, bahwa epistemologi sama luasnya dengan filsafat. Usaha menyelidiki dan mengungkapkan kenyataan selalu seiring dengan usaha untuk menentukan apa yang diketahui dibidang tertentu. Filsafat merupakan refleksi, dan refleksi selalu bersifat kritis, maka tidak mungkin seserorang memiliki suatu metafisika yang tidak sekaligus merupakan epistemologi dari metafisika, atau psikologi yang tidak sekaligus epistemologi dari psikologi, atau bahkan suatu sains yang bukan epistemologi dari sains. Epistemologi senantiasa “mengawali” dimensi-dimensi lainnya, terutama ketika dimensi-dimensi itu dicoba untuk digali. Kenyataan ini kembali mempertegas, bahwa antara epistemologi selalu berkaitan dengan ontologi dan aksiologi, melainkan bisa juga sebaliknya, ontologi dan aksiologi serta dimensi lainnya, seperti psikologi selalu diiringi oleh epistemologi.

Dalam pembahasa-pembahsan epistemologi, ternyata hanya aspek-aspek tertentu yang mendapat perhatian besar dari para filosof, sehingga mengesankan bahwa seolah-olah wilayah pembahasan epistemologi hanya terbatas pada aspek-aspek tertentu. Sedangkan aspek-aspek lain yang jumlahnya lebih banyak cenderung diabaikan. Semestinya harus ada pergeseran pusat perhatian pembahasan ke arah aspek-aspek yang terabaikan itu, agar dapat menyajikan pembahasan terhadap aspek-aspek epistemologi seluruhnya secara proporsional. Lebih dari itu, perubahan kecenderungan pembahasan tersebut dapat memperkenalkan pengetahuan yang makin luas dan mendalam tentang cakupan epistemologi.

Kenyataannya, saat ini literatur-literatur filsafat masih terjadi pemusatan perhatian pada aspek-aspek tertentu saja. Aspek-aspek itu berkisar pada sumber pengetahuan, dan pembentukan pengetahuan. M. Amin Abdullah menilai, bahwa seringkali kajian epistemologi lebih banyak terbatas pada dataran konsepsi asal-usul atau sumber ilmu pengetahuan secara konseptual-filosofis. Sedangkan Paul Suparno menilai epistemologi banyak membicarakan mengenai apa yang membentuk pengetahuan ilmiah. Sementara itu, aspek-aspek lainnya justru diabaikan dalam pembahasan epistemologi, atau setidak-tidaknya kurang mendapat perhatian yang layak.

Kecenderungan sepihak ini menimbulkan kesan seolah-olah cakupan pembahasan epistemologi itu hanya terbatas pada sumber dan metode pengetahuan, bahkan epistemologi sering hanya diidentikkan dengan metode pengetahuan. Terlebih lagi ketika dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi secara sistemik, seserorang cenderung menyederhanakan pemahaman, sehingga memaknai epistemologi sebagai metode pemikiran, ontologi sebagai objek pemikiran, sedangkan aksiologi sebagai hasil pemikiran, sehingga senantiasa berkaitan dengan nilai, baik yang bercorak positif maupun negatif. Padahal sebenarnya metode pengetahuan itu hanya salah satu bagian dari cakupan wilayah epistemologi. Bagian-bagian lainnya jauh lebih banyak, sebagaimana diuraikan di atas.

Namun, penyederhanaan makna epistemologi itu berfungsi memudahkan pemahaman seseorang, terutama pada tahap pemula untuk mengenali sistematika filsafat, khususnya bidang epistemologi. Hanya saja, jika dia ingin mendalami dan menajamkan pemahaman epistemologi, tentunya tidak bisa hanya memegangi makna epistemologi sebatas metode pengetahuan, akan tetapi epistemologi dapat menyentuh pembahasan yang amat luas, yaitu komponen-komponen yang terkait langsung dengan “bangunan” pengetahuan.

D. OBJEK DAN TUJUAN EPISTEMOLOGI

Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak jarang pemahaman objek disamakan dengan tujuan, sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan kabur. Jika diamati secara cermat, sebenarnya objek tidak sama dengan tujuan. Objek sama dengan sasaran, sedang tujuan hampir sama dengan harapan. Meskipun berbeda, tetapi objek dan tujuan memiliki hubungan yang berkesinambungan, sebab objeklah yang mengantarkan tercapainya tujuan. Dengan kata lain, tujuan baru dapat diperoleh, jika telah melalui objek lebih dulu. Misalnya, seorang polisi bertujuan membunuh perampok yang melakukan perlawanan, ketika akan ditangkap dengan menambak kepalanya sebagai sasaran. Jadi, tujuannya adalah pembunuhan, sedangkan objeknya adalah kepalanya. Oleh karena itu, pembunuhan sebagai tujuan polisi baru mungkin tercapai setelah melalui tindakan menembak kepala perampok sebagai sasaran, tetapi terjadinya pembunuhan tidak hanya melalui menembak kepala perampok, bisa juga dadanya atau perutnya. Ini berarti dalam satu tujuan bisa dicapai melalui objek yang berbeda-beda atau lebih dari satu.

Sebaliknya, mungkinkan suatu kegiatan hanya memiliki objek satu tetapi tujuannya banyak. Ternyata ini juga mungkin terjadi bahkan sering terjadi. Manusia misalnya, sejak lama ia menjadi objek penelitian dan pengamatan yang memiliki tujuan bermacam-macam, baik untuk membangun psikologi, sosiologi, pedagogi, ekonomi, antropologi, bilogi, ilmu hukum dan sebagainya, meskipun secara spesifik tekanan perhatian dalam meneliti dan mengamati itu berbeda-beda. Dewasa ini, justru kecenderungan ini mulai memperoleh perhatian yang sangat besar di kalangan para pemikir, perekayasa, dan juga pengusaha. Artinya, ada upaya bagaimana menjadikan bahan yang sama untuk kepentingan yang berbeda-beda. Kecenderungan ini justru memiliki efektifitas dan efisiensi yang tinggi dan bersifat dinamis, mendorong kreativitas seseorang.

Aktivitas berfikir dalam kecenderungan pertama (satu tujuan dengan objek yang berbeda-beda) lebih mendorong pencarian cara sebanyak-banyaknya, sedang berpikir dalam kecenderungan kedua (satu objek untuk tujuan yang berbeda-beda) lebih mendorong pencarian hasil yang sebanyak-banyaknya. Hal ini merupakan implikasi dari tekanan masing-masing pola berpikir tersebut. Secara global, baik berpikir dalam kecenderungan pertama maupun kecenderungan kedua, tetap saja membutuhkan banyak cara untuk mewujudkan keinginan pemikirnya.

Dalam filsafat terdapat objek material dan objek formal. Objek material adalah sarwa-yang-ada, yang secara garis besar meliputi hakikat Tuhan, hakikat alam dan hakikat manusia. Sedangkan objek formal ialah usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya, sampai ke akarnya) tentang objek material filsafat (sarwa-yang-ada).

Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini menurut Jujun S.Suriasumatri berupa “segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.

Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut. Jacques Martain mengatakan: “Tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu”. Hal ini menunjukkan, bahwa epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.

Rumusan tujuan epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam dinamika pengetahuan. Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran seseorang bahwa jangan sampai dia puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan sikap pasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis. Keadaan pertama hanya berorientasi pada hasil, sedangkan keadaan kedua lebih berorientasi pada proses. Seseorang yang mengetahui prosesnya, tentu akan dapat mengetahui hasilnya, tetapi seseorang yang mengetahui hasilnya, acapkali tidak mengetahui prosesnya. Guru dapat mengajarkan kepada siswanya bahwa dua kali tiga sama dengan enam (2 x 3 = 6) dan siswa mengetahui, bahkan hafal. Namun, siswa yang cerdas tidak pernah puas dengan pengetahuan dan hafalan itu. Dia tentu akan mengejar bagaimana prosesnya, dua kali tiga didapatkan hasil enam. Maka guru yang profesional akan menerangkan proses tersebut secara rinci dan mendetail, sehingga siswa benar-benar mampu memahaminya dan mampu mengembangkan perkalian angka-angka lainnya.

Proses menjadi tahu atau “proses pengetahuan” inilah yang menjadi pembuka terhadap pengetahuan, pemahaman dan pengembangan-pengembangannya. Proses ini bisa diibaratkan seperti kunci gudang, meskipun seseorang diberi tahu bahwa di dalam gudang terdapat bermacam-macam barnag, tetapi dia tetap hanya apriori semata, karena tidak pernah membuktikan. Dengan membawa kuncinya, maka gudang itu akan segera dibuka, kemudian diperiksa satu persatu barang-barang yang ada didalamnya. Dengan demikina, seseorang tidak sekedar mengetahuai sesuatu atas informasi orang lain, tetapi benar-benar tahu berdasarkan pembuktian melalui proses itu.
Penguasaan terhadap proses tersebut berfungsi mengetahui dan memahami pemikiran seseorang secara komprehensif dan utuh, termasuk juga ide, gagasa, konsep dan teorinya, sebab tidak ada pemikiran yang terpenggal begitu saja, tanpa ada alasan-alasan yang mendasarinya. Dalam kehidupan masyarakat tidak jarang terjadi sikap saling menyalahkan pemikiran seseorang, padahal mereka belum pernah melacak proses terjadinya pemikiran itu. Timbulnya suatu pemikiran senantiasa sebagai akibat adanya faktor-faktor yang mempengaruhi, alasan-alasan yang melatar belakangi, maupun motif-motif yang mendasarinya. Ketika faktor, alasan dan motif ini belum dikenali, maka acapkali seseorang tidak akan bisa memahami pemikiran orang lain. Sebaliknya, jika seseorang terlebih dahulu berupaya mengenali faktor, alasan dan motif tersebut, maka dia akan mampu mengenali pemikiran orang lain dengan baik, sehingga dia dapat memakluminya. Faktor, alasan dan motif itu maupun komponen yang lain sesungguhnya termasuk dalam mata rantai proses sebuah pemikiran.

E. LANDASAN EPISTEMOLOGI

Landasan epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan tempat berpijak. Bangunan pengetahuan menjadi mapan, jika memiliki landasan yang kokoh. Bangunan pengetahuan bagaikan bangunan rumah, sedangkan landasan bagaikan fundamennya. Kekuatan bangunan rumah bisa diandalkan berdasarkan kekuatan fundamennya. Demikian juga dengan epistemologi, akan dipengaruhi atau tergantung landasannya.

Di dalam filsafat pengetahuan, semuanya tergantung pada titik tolaknya. Sedangkan landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah; yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yang tercantum dalam metode ilmiah. Dengan demikian, metode ilmiah merupakan penentu layak tidaknya pengetahuan menjadi ilmu, sehingga memiliki fungsi yang sangat penting dalam bangunan ilmu pengetahuan.

Begitu pentingnya fungsi metode ilmiah dalam sains, sehingga banyak pakar yang sangat kuat berpegang teguh pada metode dan cenderung kaku dalam menerapkannya, seakan-akan mereka menganut motto: tak ada sains tanpa metode; akhirnya berkembang menjadi: sains adalah metode. Sikap ini mencerminkan bahwa mereka berlebihan dalam menilai begitu tinggi terhadap metode ilmiah, tanpa menyadari semuanya yang hanya sekedar salah satu sarana dari sains untuk mengukuhkan objektivitas dalam memahami sesuatu. Sesungguhnya sikap berlebihan itu memang riil, tetapi terlepas dari sikap tersebut yang seharusnya tidak perlu terjadi, yang jelas dalam kenyataanya metode ilmiah telah dijadikan pedoman dalam menyusun, membangun dan mengembangkan pengetahuan ilmu. Disini perlu dibedakan antara pengetahuan dengan ilmu pengetahuan (ilmu). Pengetahuan adalah pengalaman atau pengetahuan sehari-hari yang masih berserakan, sedangkan ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang telah diatur berdasarkan metode ilmiah, sehingga timbul sifat-sifat atau ciri-cirinya; sistematis, objektif, logis dan empiris.

Dengan istilah lain, Kholil Yasin menyebut pengetahuan tersebut dengan sebutan pengetahuan biasa (ordinary knowledge), sedangkan ilmu pengetahuan dengan istilah pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Hal ini sebenarnya hanya sebutan lain. Disamping istilah pengetahuan dan pengetahuan biasa, juga bisa disebut pengetahuan sehari-hari, atau pengalaman sehari-hari. Pada bagian lain, disamping disebut ilmu pengetahuan dan pengetahuan ilmiah, juga sering disebut ilmu dan sains. Sebutan-sebutan tersebut hanyalah pengayaan istilah, sedangkan substansisnya relatif sama, kendatipun ada juga yang menajamkan perbedaan, misalnya antar sains dengan ilmu melalui pelacakan akar sejarah dari dua kata tersebut, sumber-sumbernya, batas-batasanya, dan sebagainya.

Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menuju ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan yang bergantung pada metode ilmiah, karena metode ilmiah menjadi standar untuk menilai dan mengukur kelayakan suatu ilmu pengetahuan. Sesuatu fenomena pengetahuan logis, tetapi tidak empiris, juga tidak termasuk dalam ilmu pengetahuan, melaikan termasuk wilayah filsafat. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif

F. HUBUNGAN EPISTEMOLOGI, METODE DAN METODOLOGI

Selanjutnya perlu ditelusuri dimana posisi metode dan metodologi dalam konteks epistemologi untuk mengetahui kaitan-kaitannya, antara metode, metodologi dan epistemologi. Hal ini perlu penegasan, mengingat dalam kehidupan sehari-hari sering dikacaukan antara metode dengan metodologi dan bahkan dengan epistemologi. Untuk mengetahui peta masing-masing dari ketiga istilah ini, tampaknya perlu memahami terlebih dahulu makna metode dan metodologi. “Dalam dunia keilmuan ada upaya ilmiah yang disebut metode, yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang sedang dikaji”.

Lebih jauh lagi Peter R.Senn mengemukakan, “metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis”. Sedangkan metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan dalam metode tersebut. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa metodologi adalah ilmu tentang metode atau ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu. Jika metode merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, maka metodologilah yang mengkerangkai secara konseptual terhadap prosedur tersebut. Implikasinya, dalam metodologi dapat ditemukan upaya membahas permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan metode.

Metodologi membahas konsep teoritik dari berbagai metode, kelemahan dan kelebihannya dalam karya ilmiah dilanjutkan dengan pemilihan metode yang digunakan, sedangkan metode penelitian mengemukakan secara teknis metode-metode yang digunakan dalam penelitian. Penggunaan metode penelitian tanpa memahami metode logisnya mengakibatkan seseorang buta terhadap filsafat ilmu yang dianutnya. Banyak peneliti pemula yang tidak bisa membedakan paradigma penelitian ketika dia mengadakan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Padahal mestinya dia harus benar-benar memahami, bahwa penelitian kuantitatif menggunakan paradigma positivisme, sehingga ditentukan oleh sebab akibat (mengikuti paham determinsime, sesuatu yang ditentukan oleh yang lain), sedangkan penelitian kualitatif menggunakan paradigma naturalisme (fenomenologis). Dengan demikian, metodologi juga menyentuh bahasan tantang aspek filosofis yang menjadi pijakan penerapan suatu metode. Aspek filosofis yang menjadi pijakan metode tersebut terdapat dalam wilayah epistemologi.

Oleh karena itu, dapat dijelaskan urutan-urutan secara struktural-teoritis antara epistemologi, metodologi dan metode sebagai berikut: Dari epistemologi, dilanjutkan dengan merinci pada metodologi, yang biasanya terfokus pada metode atau tehnik. Epistemologi itu sendiri adalah sub sistem dari filsafat, maka metode sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari filsafat. Filsafat mencakup bahasan epistemologi, epistemologi mencakup bahasan metodologis, dan dari metodologi itulah akhirnya diperoleh metode. Jadi, metode merupakan perwujudan dari metodologi, sedangkan metodologi merupakan salah satu aspek yang tercakup dalam epistemologi. Adapun epistemologi merupakan bagian dari filsafat.

Posisi masing-masing istilah ini, seperti lingkaran besar yang melingkari lingkaran kecil, dan dalam lingkaran kecil masih terdapat lingkaran yang lebih kecil lagi. Lingkaran besar disini diumpamakan filsafat, lingkaran kecil berupa epistemologi, dan lingkaran yang lebih kecil kecuali berupa metodologi. Ini berarti bahwa filsafat mencakup bahasan epistemologi, tetapi bahasan filsafat tidak hanya epistemologi karena masih ada bahasan lain, yaitu ontologi dan aksiologi. Demikian juga epistemologi mencakup bahasan metode (metodologi), namun bahasan epistemologi bukan hanya metode semata-mata, karena ada bahasan lain, seperti: hakikat, sumber, struktur, validitas, unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran dan dasar pengetahuan. Untuk lebih jelas lagi perlu dibedakan adanya metode pengetahuan dan metode penelitian, kendatipun tidak bisa dipisahkan. Metode pengetahuan berada dalam dataran filosofis-teoritis, sedangkan metode penelitian berada dalam dataran teknis.

Dalam filsafat, istilah metodologi berkaitan dengan praktek epistemologi. Secara lebih khusus, problem penyelidikan ilmiah yang secara filosofis menjadi kajian utama cabang epistemologi yang berkaitan dengan problem metodologi juga berkaitan dengan rancangan tata pikir, apa yang benar dan dapat dipergunakan sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan. Kemudian berbicara tentang metodologi yang berarti berbicara tentang cara-cara atau metode-metode yang digunakan oleh manusia untuk mencapai pengetahuan tentang realita atau kebenaran, baik dalam aspek parsial atau total. Lebih jelas lagi, bahwa seseorang yang sedang mempertimbangkan penggunaan dan penerapan metode untuk memperoleh pengetahuan, maka dia harus mengacu pada metodologi, mengingat pembahasan tentang seluk-beluk metode itu ada pada metodologi. Metodologi inilah yang memberikan penjelasan-penjelasan konseptual dan teoritis terhadap metode.

G. HAKIKAT EPISTEMOLOGI

Pembahasan tentang hakikat, lagi-lagi terasa sulit, karena ita tidak bisa menangkapnya, kecuali ciri-cirinya. Apalagi hakikat epistemologi, tentu lebih sulit lagi. Epistemologi berusaha memberi definisi ilmu pengetahuan, membedakan cabang-cabangnya yang pokok, mengidentifikasikan sumber-sumbernya dan menetapkan batas-batasnya. “Apa yang bisa kita ketahui dan bagaimana kita mengetahui” adalah masalah-masalah sentral epistemologi, tetapi masalah-masalah ini bukanlah semata-mata masalah-masalah filsafat. Pandangan yang lebih ekstrim lagi menurut Kelompok Wina, bidang epistemologi bukanlah lapangan filsafat, melainkan termasuk dalam kajian psikologi. Sebab epistemologi itu berkenaan dengan pekerjaan pikiran manusia, the workings of human mind. Tampaknya Kelompok Wina melihat sepintas terhadap cara kerja ilmiah dalam epistemologi yang memang berkaitan dengan pekerjaan pikiran manusia. Cara pandang demikian akan berimplikasi secara luas dalam menghilangkan spesifikasi-spesifikasi keilmuan. Tidak ada satu pun aspek filsafat yang tidak berhubungan dengan pekerjaan pikiran manusia, karena filsafat mengedepankan upaya pendayagunaan pikiran. Kemudian jika diingat, bahwa filsafat adalah landasan dalam menumbuhkan disiplin ilmu, maka seluruh disiplin ilmu selalu berhubungan dengan pekerjaan pikiran manusia, terutama pada saat proses aplikasi metode deduktif yang penuh penjelasan dari hasil pemikiran yang dapat diterima akal sehat. Ini berarti tidak ada disiplin ilmu lain, kecuali psikologi, padahal realitasnya banyak sekali.

Oleh karena itu, epistemologi lebih berkaitan dengan filsafat, walaupun objeknya tidak merupakan ilmu yang empirik, justru karena epistemologi menjadi ilmu dan filsafat sebagai objek penyelidikannya. Dalam epistemologi terdapat upaya-upaya untuk mendapatkan pengetahuan dan mengembangkannya. Aktivitas-aktivitas ini ditempuh melalui perenungan-perenungan secara filosofis dan analitis.

Perbedaaan padangan tentang eksistensi epistemologi ini agaknya bisa dijadikan pertimbangan untuk membenarkan Stanley M. Honer dan Thomas C.Hunt yang menilai, epistemologi keilmuan adalah rumit dan penuh kontroversi. Sejak semula, epistemologi merupakan salah satu bagian dari filsafat sistematik yang paling sulit, sebab epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika sendiri, sehingga tidak ada sesuatu pun yang boleh disingkirkan darinya. Selain itu, pengetahaun merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan biasanya diandaikan begitu saja, maka minat untuk membicarakan dasar-dasar pertanggungjawaban terhadap pengetahuan dirasakan sebagai upaya untuk melebihi takaran minat kita.

Luasnya jangkauan epistemologi ini menyebabkan objek pembahasannya sangat detail dan pelik. Metodologi misalnya telah digabungan secara teliti dengan epistemologi dan logika. Sementara itu, logika itu sendiri patut dipertanyakan, apakah logika itu bagian dari epistemologi, diluar epistemologi sama sekali, atau sekedar memiliki persentuhan yang erat dengan epistemologi. Ada yang menyatakan, bahwa posisi logika berada diluar ontologi, epistemologi dan aksiologi. Di samping itu, epistemologi tersebut sebenarnya tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa lepas dari ontologi dan aksiologi. Menurut, Jujun S. Suriasumatri, bahwa persoalan utama yang dihadapi oleh tiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing. Dalam pemahaman yang sederhana epistemologi memiliki interrelasi (saling berhubungan dengan komponen lain, ontologi dan aksiologi).

Selanjutnya, epistemologi atau teori mengenai ilmu pengetahuan itu adalah inti sentral setiap pandangan dunia. Ia merupakan parameter yang bisa memetakan, apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin menurut bidang-bidangnya; apa yang mungkin diketahui dan harus diketahui; apa yang mungkin diketahui tetapi lebih baik tidak usah diketahui; dan apa yang sama sekali tidak mungkin diketahui. Epistemologi dengan demikian bisa dijadikan sebagai penyaring atau filter terhadap objek-objek pengetahuan. Tidak semua objek mesti dijelajahi oleh pengetahuan manusia. Ada objek-objek tertentu yang manfaatnya kecil dan madaratnya lebih besar, sehingga tidak perlu diketahui, meskipun memungkinkan untuk diketahui. Ada juga objek yang benar-benar merupakan misteri, sehingga tidak mungkin bisa diketahui.

Epistemologi ini juga bisa menentukan cara dan arah berpikir manusia. Seseorang yang senantiasa condong menjelaskan sesuatu dengan bertolak dari teori yang bersifat umum menuju detail-detailnya, berarti dia menggunakan pendekatan deduktif. Sebaliknya, ada yang cenderung bertolak dari gejala-gejala yang sama, baruk ditarik kesimpulan secara umum, berarti dia menggunakan pendekatan induktif. Adakalanya seseorang selalu mengarahkan pemikirannya ke masa depan yang masih jauh, ada yang hanya berpikir berdasarkan pertimbangan jangka pendek sekarang dan ada pula seseorang yang berpikir dengan kencenderungan melihat ke belakang, yaitu masa lampau yang telah dilalui. Pola-pola berpikir ini akan berimplikasi terhadap corak sikap seseorang. Kita terkadang menemukan seseorang beraktivitas dengan serba strategis, sebab jangkauan berpikirnya adalah masa depan. Tetapi terkadang kita jumpai seseorang dalam melakukan sesuatu sesungguhnya sia-sia, karena jangkauan berpikirnya yang amat pendek, jika dilihat dari kepentingan jangka panjang, maka tindakannya itu justru merugikan.
Pada bagian lain dikatakan, bahwa epistemologi keilmuan pada hakikatnya merupakan gabungan antara berpikir secara rasional dan berpikir secara empiris. Kedua cara berpikir tersebut digabungan dalam mempelajari gejala alam untuk menemukan kebenaran, sebab secara epistemologi ilmu memanfaatkan dua kemampuan manusia dalam mempelajari alam, yakni pikiran dan indera. Oleh sebab itu, epistemologi adalah usaha untuk menafsir dan membuktikan keyakinan bahwa kita mengetahuan kenyataan yang lain dari diri sendiri. Usaha menafsirkan adalah aplikasi berpikir rasional, sedangkan usaha untuk membuktikan adalah aplikasi berpikir empiris. Hal ini juga bisa dikatakan, bahwa usaha menafsirkan berkaitan dengan deduksi, sedangkan usah membuktikan berkaitan dengan induksi. Gabungan kedua macaram cara berpikir tersebut disebut metode ilmiah.
Jika metode ilmiah sebagai hakikat epistemologi, maka menimbulkan pemahaman, bahwa di satu sisi terjadi kerancuan antara hakikat dan landasan dari epistemologi yang sama-sama berupa metode ilmiah (gabungan rasionalisme dengan empirisme, atau deduktif dengan induktif), dan di sisi lain berarti hakikat epistemologi itu bertumpu pada landasannya, karena lebih mencerminkan esensi dari epistemologi. Dua macam pemahaman ini merupakan sinyalemen bahwa epistemologi itu memang rumit sekali, sehingga selalu membutuhkan kajian-kajian yang dilakukan secara berkesinambungan dan serius.

H. PENGARUH EPISTEMOLOGI

Bagi Karl R. Popper, epistemologi adalah teori pengetahuan ilmiah. Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan dalam membentuk dirinya. Tetapi, ilmu pengetahuan harus ditangkap dalam pertumbuhannya, sebab ilmu pengetahuan yang berhenti, akan kehilangan kekhasannya. Ilmu pengetahuan harus berkembang terus, sehingga tidka jarang temuan ilmu pengetahuan yang lebih dulu ditentang atau disempurnakan oleh temuan ilmu pengetahuan yang kemudian. Perkemabangan ilmu pengetahuan dengan demikian membuktikan, bahwa kebenaran ilmu pengetahuan itu bersifat tentatif. Selama belum digugurkan oleh temuan lain, maka suatu temuan dianggap benar. Perbedaan hasil teman dalam masalah yang sama ini disebabkan oleh perbedaan prosedur yang ditempuh para ilmuwan dalam membentuk ilmu pengetahuan. Melalui pelaksanaan fungsi dan tugas dalam menganalisis prosedur ilmu pengetahuan tersebut, maka epistemologi dapat memberikan pengayaan gambaran proses terbentuknya pengetahuan ilmiah. Proses ini lebih penting daripada hasil, mengingat bahwa proses itulah menunjukkan mekanisme kerja ilmiah dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Akhirnya, epistemologi bisa menentukan cara kerja ilmiah yang paling efektif dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang kebenarannya terandalkan.

Epistemologi juga membekali daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang ada. Dalam filsafat, banyak konsep dari pemikiran filosof yang kemudian mendapat serangan yang tajam dari pemikiran filosof lain berdasarkan pendekatan-pendekatan epistemologi. Penguasaan epistemologi, terutama cara-cara memperoleh pengetahuan yang membantu seseorang dalam melakukan koreksi kritis terhadap bangunan pemikiran yang diajukan orang lain maupun oleh dirinya sendiri. Koreksi secara kontinyu terhadap pemikirannya sendiri ini untuk menyempurnakan argumentasi atau alasan supaya memperoleh hasil pemikiran yang maksimal. Ini menunjukkan bahwa epistemologi bisa mengarahkan seseorang untuk mengkritik pemikiran orang lain (kritik eksternal) dan pemikirannya sendiri (kritik internal). Implikasinya, epistemologi senantiasa mendorong dinamika berpikir secara korektif dan kritis, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan relatif mudah dicapai, bila para ilmuwan memperkuat penguasaannya.
Dinamika pemikiran tersebut mengakibatkan polarisasi pandangan, ide atau gagasan, baik yang dimiliki seseorang maupun masyarakat. Mohammad Arkoun menyebutkan, bahwa keragaman seseorang atau masyarakat akan dipengaruhi pula oleh pandangan epistemologinya serta situasi sosial politik yang melingkupinya. Keberangaman pandangan seseorang dalam mengamati suatu fenomena akan melahirkan keberagaman pemikiran. Kendati terhadap satu persoalan, tetapi karena sudut pandang yang ditempuh seseorang berbeda, pada gilirannya juga menghasilkan pemikiran yang berbeda. Kondisi demikian sesungguhnya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah suatu kelaziman, tidak ada yang aneh sama sekali, sehingga perbedaan pemikiran itu dapat dipahami secara memuaskan dengan melacak akar persoalannya pada perbedaan sudut pandang, sedangkan perbedaan sudut pandangan itu dapat dilacak dari epistemologinya
Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban, sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologi mengatur semua aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu murni sampai ilmu sosial. Epistemologi dari masyarakatlah yang memberikan kesatuan dan koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu mereka itu—suatu kesatuan yang merupakan hasil pengamatan kritis dari ilmu-ilmu—dipandang dari keyakinan, kepercayaan dan sistem nilai mereka. Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan teknologi yang maju disuatu negara, karena didukung oleh penguasaan dan bahkan pengembangan epistemologi. Tidak ada bangsa yang pandai merekayasa fenomena alam, sehingga kemajuan sains dan teknologi tanpa didukung oleh kemajuan epistemologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat yang strategis dalam merekayasa pengembangan-pengembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi. Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh lagi ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.

Epistemologi senantiasa mendorong manusia untuk selalu berfikir dan berkreasi menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru. Semua bentuk teknologi yang canggih adalah hasil pemikiran-pemikiran secara epistemologis, yaitu pemikiran dan perenungan yang berkisar tentang bagaimana cara mewujudkan sesuatu, perangkat-perangkat apa yang harus disediakan untuk mewujudkan sesuatu itu, dan sebagainya. Pada awalnya seseorang yang berusaha menciptakan sesuatu yang baru, mungki saja mengalami kegagalan tetapi kegagalan itu dimanfaatkan sebagai bagian dari proses menuju keberhasilan. Sebab dibalik kegagalan itu ditemukan rahasia pengetahuan, berupa faktor-faktor penyebabnya. Jadi kronologinya adalah sebagai berikut: mula-mula seseorang berpikir dan mengadakan perenungan, sehingga didapatkan percikan-percikan pengetahuan, kemudian disusun secara sistematis menjadi ilmu pengetahuan (sains). Akhirnya ilmu pengetahuan tersebut diaplikasikan melalui teknologi, technology is an apllied of science (teknologi adalah penerapan sains). Pemikiran pada wilayah proses dalam mewujudkan teknologi itu adalah bagian dari filsafat yang dikenal dengan epistemologi. Berdasarkan pada manfaat epistemologi dalam mempengaruhi kemajuan ilmiah maupun peradaban tersebut, maka epistemologi bukan hanya mungkin, melainkan mutlak perlu dikuasai.



suparmanhttp://www.blogger.com/profile/03249547895308622683noreply@blogger.com

Berbagai Peran Guru dalam Pembelajaran

Pendahuluan
Materi ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan: (1) peran guru dalam memahami siswa sebagai dasar pembelajaran, (2) peran guru dalam pemngembangan rancangan pembelajaran, (3) peran guru dalam pelaksanaan dan manajemen kelas, (4) peran guru dalam evaluasi pembelajaran.
Setelah mempelajari pokok bahasan ini, secara umum anda diharapkan mampu menjelaskan peran guru sebagai pengajar, secara khusus anda diharapkan mampu menjelaskan :
1. pentingnya pemahaman terhadap karakteristik siswa dalam pembelajaran
peran guru dalam merancang pembelajaran; peran guru dalam pelaksanaan pembelajaran; peran guru sebagai evaluator pembelajaran.

Kajian dalam pokok bahasan ini akan memberikan wawasan mendasar bagi anda dalam hal memakai dan menempatkan peserta didik atau siswa sebagai subjek belajar. Kemampuan ini perlu dimiliki para guru atau calon guru karena pembelajaran bukan semata-mata terjadinya proses transformasi informasi pengetahuan dan/atau keterampilan, tetapi suatu proses yang harus melibatkan secara aktif para siswa dalam mengembangkan perilaku yang diharapkan. Proses pembelajaran adalah proses yang konstitusional, artinya harus berbasis kepada kondisi objektif dan perkembangan siswa baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Sejalan dengan tujuan instruksional yang dirumuskan, kegiatan belajar dalam pokok bahasan ini diorganisasikan sebagai berikut :
Kegiatan Belajar 1 : Peran guru dalam memahami siswa sebagai dasar pembelajaran;
Kegiatan Belajar 2 : Peran guru dalam pengembangan rancangan pembelajaran;
Kegiatan Belajar 3 : Peran guru dalam pelaksanaan pembelajaran dan manajemen kelas;
Kegiatan Belajar 4 : Peran guru dalam melaksanakan evaluasi hasil pembelajaran;
Untuk memahami materi dalam pokok bahasan ini awalilah kegiatan anda dengan melihat isi pokok bahasan secara menyeluruh. Setelah itu fokuskan perhatian anda kepada salah satu topik atau kegiatan belajar. Baca dan pahami dulu rangkuman, kemudian baca dan pahami uraian/konsep yang disajikan, kerjakan dan diskusikan latihan yang diberikan, kemudian kerjakan tes formatif yang ada pada akhir setiap kegiatan belajar.

Peran Guru dalam Memahami Siswa sebagai Dasar Pembelajaran

A. Definisi dan Makna Perkembangan
Perkembangan sering dibedakan dari pertumbuhan. Pertumbuhan biasanya lebih merujuk kepada perubahan aspek fisik (biologis) seperti, perubahan kelenjar, tinggi dan berat badan, dan kekuatan otot. Perkembangan merujuk kepada perubaban yang sistematis yang terjadi sepanjang siklus kehidupan manusia. Kata sistematis dalam pengertian perkembangan mengandung implikasi bahwa perubahan yang bersifat perkembangan adalah perubahan yang beraturan atau terpola mengikuti tahap atau Sekuensi tertentu. Perkembangan adalah proses yang kompleks karena perkembangan merupakan hasil dari berbagai proses biologis, kognitif, sosial, moral.
Dalam pandangan lama, para ahli membagi konsentrasi studi tentang perkembangan anak ke dalam : (1) pertumbuhan dan perkembangan fisik yang mencakup perubahan badaniah dan keterampilan motorik, (2) perkembangan aspek kognitif yang mencakup persepsi, bahasa, belajar dan berpikir; (3) perkembangan psikososial yang mencakup perkembangan emosi, kepribadian, dan hubungan antar pribadi.
Dalam pandangan mutakhir pembagian konsentrasi itu tidak tepat dan artifisial (dibuat-buat) karena bagaimanapun juga perkembangan dalam aspek yang satu akan mempengaruhi aspek lainnya. Pandangan mutakhir ini disebut pandangan holistis yang melihat manusia sebagai makhluk biologis, kognitif sosial, dan makhluk Tuhan di mana perubahan dalam satu aspek akan bergantung kepada dan mempengaruhi perubahan/perkembangan aspek lain. Perspektif holistis merupakan keterpaduan pandangan tentang proses perkembangan yang menekankan pentingnya interaksi antara perkembangan fisik, mental, sosial, emosi, dan moral.
Di dalam perkembangan terjadi proses biologis, kognitif, sosial. proses biologis melibatkan perubahan fisik individu. Gen yang diturunkan dari orang tua, perkembangan otak (brain), pertambahan tinggi dan berat, keterampilan motorik, dan perubahan hormon pada masa puber merupakan wujud dan proses biologis dalam perkembangan. Proses kognitif mencakup perubahan berpikir, kecerdasan, dan bahasa anak. Kemampuan anak untuk mengamati objek warna-warni yang berayun di atas tempat tidurya menempatkan dua kata dalam kalimat, mengingat puisi, memecahkan masalah matematika, merupakan. refleksi, dari proses kognitif dalam perkembangan anak. Proses sosial mencakup perubahan hubungan anak dengan orang lain, emosi, dan kepribadian. Senyuman bayi pada saat merespons sentuhan ibu, serangan agresif anak laki-laki terhadap kawan bermain, perkembangan sikap asertif pada anak perempuan merupakan refleksi dan proses sosial dalam perkembangan anak.
Perkembangan dapat dilihat tidak hanya sebagai hasil interaksi proses biologis, kognitif, dan sosial melainkan juga sebagai hasil interaksi kematangan dan pengalaman. Kematangan merujuk kepada perubahan yang terjadi sebagai hasil pertumbuhan fisik atau perubahan biologis daripada sebagai hasil pengalaman. Kemampuan untuk belajar berjalan, berbicara dan buang air merupakan perkembangan karena hasil kematangan. Perilaku yang dihasilkan karena kematangan disebut perilaku pilogenetik.
Lambat laun dan pada akhirnya perkembangan diperoleh sebagai hasil pengalaman yang akan membentuk pola perubahan yang relatif permanen baik dalam cara berpikir, perasaan maupun pola-pola perilaku pada umumnya. Perilaku yang diperoleh karena pengalaman ini disebut perilaku otogenetik. Dalam proses pengalaman ini terjadi proses belajar.
Perkembangan tidak semata-mata ditentukan oleh faktor kematangan yang memandang faktor biologis dan genetik sebagai faktor bawaan (nature) dan juga tidak semata-mata faktor pengalaman yang melihat faktor lingkungan itu paling penting (nurture). Baik kematangan maupun pengalaman turut menentukan perkembangan, perkembangan merupakan interaksi antara faktor nature dan nurture daripada sebagai hasil salah satu faktor. Kombinasi faktor kematangan dan pengalaman akan menghasilkan kesepakatan belajar (resdiness to learn).



B. Aspek-Aspek Perkembangan Anak Sekolah Dasar
1. Perkembangan Motorik dan Persepsi
Pertumbuhan fisik paling pesat terjadi pada masa prasekolah yang terutama tampak dalam perubahan ukuran, tinggi, berat, dan gerak-gerak motorik kasar. Sedangkan gerak/keterampilan motorik halus tumbuh pesat pada usia sekolah dasar. Selama sekolah dasar, tinggi dan berat badan terus bertambah, kelenjar lemak lebih cepat tumbuh daripada kelenjar otot dan ini bcrlangsung terus pada masa adolesen. Anak wanita cenderung memiliki berat badan lebih daripada pria. Dalam kaitan perkembangan tubuh ini ada anak yang dapat digolongkan ke dalam endomorfik (gemuk karena kelenjar lemaknya kuat), mesomorfik (atletis karena kelenjar ototnya kuat), dan ektomorfik (kurus).
Pada masa sekolah dasar perkembangan motorik anak menjadi lebih terkoordinasi dari pada masa ini anak menjadi lebih siap mempelajari berbagai keterampilan olahraga dan keterampilan lainnya. Dalam keterampilan motorik kasar anak laki-laki biasanya lebih unggul daripada anak wanita, sebaliknya dalam keterampilan motorik halus anak wanita biasanya lebih unggul dan laki-laki.
Pada usia sekolah dasar perkembangan fisik harus merupakan kepedulian guru. Pada usia sekolah dasar perkembangan fisik akan amat erat kaitanya dengan perkembangan intelektual atau kognitif. Reaksi-reaksi fisik sering kali menunjukkan dinamika intelektual peserta didik. Tetapi di pihak lain sering kali peserta didik tidak peduli terbadap perkembangan fisik dan kesehatan dirinya. Di sekolah dasar sering ditemukan kelainan perkembangan fisik, seperti gangguan bicara, gangguan penglihatan, pendengaran, pertumbuhan badan yang kurang proporsional, dan kelambanan dalam reaksi fisik.

2. Implikasi bagi Proses Pembelajaran
Ada beberapa implikasi dan perkembangan motorik dan persepsi anak terhadap proses pembelajaran.
a. Perkembangan motorik, terutama pada tahap awal, terkait erat dengan perkembangan pengenalan anak terhadap dunianya. Implikasi bagi pembelajaran ialah bahwa bahan ajar dan proses pernbelajaran di sekolah dasar harus terpadu dengan seluruh aspek perkembangan anak.
Faktor pertumbuhan otak di mana kedua belahan otak (kiri dan kanan) perlu dikembangkan dalam proses pendidikan. Proses belajar di sekolah dasar tidak hanya terfokus pada pengembangan kemampuan memori, logis, dan berpikir detail, tetapi juga menyangkut pengembangan ekspresi dan berpikir kreatif.
Faktor kemampuan konsentrasi dan daya selektivitas anak terhadap objek pengamatan membawa implikasi kepada perancangan dan pengorganisasian bahan belajar, dan penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.

C. Perkembangan Kognitif dan Kesiapan Belajar
Kata kunci kognitif adalah skema. Skema merujuk kepada berbagai hal : kebiasaan respons, konsep, dan pemrosesan informasi secara aktif. Skema dapat dikiasifikasikan ke dalam : skema sensomotorik merujuk kepada keterampilan skema kognitif merujuk kepada konsep, imajinasi, dan bicara, dan skema verbal merujuk kepada pemaknaan kata dan kecakapan berkornunikasi.
Perkembangan kognitif adalah perubahan struktur skema. Jadi, skema itu pada dasarnya adalah kemampuan atau kecakapan seseorang untuk beradaptasi terhadap lingkungan. Jikaka struktur skema itu cukup untuk merespons lingkungan maka individu berada dan mencapai apa yang disebut dengan kondisi ekuilibrium (seimbang, antara kecakapan dengan tuntutan lingkungan). Namun, jika struktur skema tidak seimbang dengan tuntutan lingkungan, individu akan berada dalam kondisi disekuilibrium (tidak seimbang). Kondisi tak seimbang ini akan mendorong individu untuk mencari informasi sampai terjadi adaptasi. Kondisi tak seimbang ini merupakan kekuatan internal manusia yang mendorong dirinya untuk mencari stabilitas, dan kebermaknaan pengalaman.
Piaget mendeskripsikan perkembangan kognitif ke dalam empat periode perkembangan.



1. Periode Sensomotorik (0-1½ tahun)
Sampai kira-kira usia delapan belas bulan, perkembangan skema lebih terpusat kepada sensomotorik. Bayi mengembangkan dan mengkoordinasikan sejumlah besar agar keterampilan perilaku, namun perkembangan skema verbal dan kognitif masih sangat miskin dan tidak terkoordinasikan. Pembentukan konsep pada periode ini terbatas kepada objek permanen, yaitu objek yang tampak dalam batas pengamatan anak. Perilaku reflektif secara berangsur-angsur bergerak ke arah kegiatan yang bertujuan.

2. Periode Operasi Awal (1½-7 tahun)
Dan usia delapan belas bulan hingga kira-kira tujuh tahun, anak menginternalisasi skema sensomotorik ke dalam bentuk skema kognitif (imajinasi dan pikiran). Seorang anak yang dihadapkan kepada teka-teki, gambar atau penyusunan balok, akan memulai kegiatan dengan mengingat kembali pengalaman sebelumnya dalam situasi yang sama.
Karena dalam periode ini sudah terjadi perkembangan imajinasi dan kecakapan mengingat, maka belajar menjadi sesuatu yang bersifat akumulatif dan tidak bergantung kepada kehadiran objek dan pengalaman konkret. Kondisi ini membuat anak lebih berpikir sisternatis karena dia mengaitkan faktor-faktor yang ada pada situasi saat ini dengan skema sebelumnya yang ada dalam ingatannya.
Seorang anak pada periode ini, akan mengatakan bahwa tabung yang lebih tinggi akan berisi air lebih banyak daripada tabung yang pendek, walaupun volumenya sama. Cara berpikir ini terjadi pada anak karena permukaan air pada tabung pertama tampak lebih tinggi daripada tabung kedua. Kemampuan anak dalam membedakan objek sangat bergantung kepada ciri-ciri fisik permanen yang teramati.

3. Periode Operasi Konkret (7-12 tahun)
Perkembangan skema pada periode ini lebih berupa skema kognitif, terutama yang berkaitan dengan keterampilan berpikir dan pemecahan masalah. Struktur skema yang berkembang pada periode ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Good dan Brophy, 1990).
a. Keterampilan klasifikasi, yaitu kemampuan mengklasifikasikan objek tanpa bergantung kepada kehadiran objek. Klasifikasi didasarkan atas kesamaan fungsi, misalnya kursi dan meja digolongkan ke dalam kelompok furnitur, sedangkan mobil dan kereta api digolongkan ke dalam alat transportasi.
Konsep Konservasi, yaitu kemampuan untuk berpikir bahwa keadaan sesuatu itu tidak berubah. Anak pada periode perkembangan ini dapat memahami panjang tali tidak berubah jika tali itu dibuat melingkar. Jumlah benda itu tidak berubah jika diletakkan berdekatan ataupun berjauhan. Volume suatu zat cair tidak berubah jika dipindahkan dan tabung yang satu ke tabung yang lain.
Kemampuan mengurutkan, yaitu kemampuan menempatkan objek dalam urutan dan terkecil ke terbesar, dari terpendek ke terpanjang dan sejenisnya.
Kemampuan negation, yaitu kemampuan untuk mengenal bahwa suatu tindakan itu dapat dikembalikan kepada keadaan asal. Anak yang berada pada periode operasi awal akan berpikir bahwa volume air dalam dua tabung sama ketika keduanya diisi seimbang. Tetapi dia jadi bingung ketika air dalam tabung yang satu didistribusikan ke dalam beberapa gelas. Dia berpikir bahwa volume air yang berasal dari kedua tabung itu tidak sama. Tapi anak yang berada pada periode operasi konkret akan berpikir bahwa jika air dikembalikan ke tempat semula akan diperoleh volume air yang sama dengan keadaan asal.
Identitas, yaitu kemampuan mengenal bahwa objek yang bersifat fisik akan mengambil volume atau jumlah tertentu.
Kompensasi, yaitu kemampuan mengenal bahwa perubahan pada suatu dimensi akan dikompensasi oleh perubahan pada dimensi lain. Anak periode operasional akan berpikir bahwa ember itu akan memuat air lebih banyak daripada satu gelas, tetapi air di ember itu akan ada beberapa gelas.

Periode operasi konkret tidak hanya memungkinkan anak memecahkan masalah khusus, tetapi juga belajar untuk mempelajari keterampilan dan kecakapan berpikir logis yang membantu mereka memaknai pengalamannya. Konsekuensinya, periode operasi konkret ini merupakan komponen penting dan kesiapan sekolah.

4. Periode Operasi Formal (12 tahun ke atas)
Ciri utama periode operasi formal ialah perkembangan kecakapan berpikir simbolis dan pemahaman isi secara bermakna tanpa bergantung kepada keberadaan objek fisik, atau bahkan kepada imajinasi masa lain akan objek sejenis. Anak yang berada pada periode operasi formal mampu berpikir logis dan matematis, abstrak, dan bahkan mampu memahami hal-hal yang secara teoritis mungkin terjadi tetapi belum pernah terjadi dalam kenyataan.
Dan segi usia, peserta didik sekolah berada pada rentang usia 6,0-12,0 tahun. Walaupun usia ini tidak biasa dijadikan patokan untuk menentukan tahap perkembangan kognitif, seseorang, tetapi dalam keadaan normal dilihat dari perkembangan kognitif, perkembangan kemampuan kognitif peserta didik sekolah dasar berada pada tahap operasional konkret menuju tahap kemampuan formal. Bahkan mungkin untuk kelas-kelas rendah masih ada yang pada tahap praoperasional.
Mengingat tahap perkembangan kognitif seperti itu, pada peserta didik masih mungkin terjadi pola berpikir yang belum konsisten dan tidak terorganisasikan; masih belum logis dan kadang-kadang misterius. Pada kelas-kelas tinggi di mana perkembangan kognitif sudah berada pada tahap rasional konkret, cara berpikir anak sudah mulai stabil dan logis. Menurut Piaget kestabilan berpikir ini terjadi karena pada tahap ini anak sudah mampu melihat hubungan antara hasil berpikir lainnya. Kemampuan mengorganisasikan hasil berpikir seperti ini memungkinkan anak berperilaku secara konsisten dan logis serta mengaplikasikan gagasan-gagasannya.

5. Kesiapan Belajar dan Implikasi bagi Pembelajaran
Periode perkembangan kognitif yang diuraikan tadi, secara tersirat menggambarkan bahwa kesiapan belajar anak akan terjadi sesuai dengan pencapaian tingkat perkembangannya. Jika periode operasi konkret merupakan unsur penting dalam kesiapan sekolah, maka seorang anak akan menunjukkan kesiapan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan sekolah pada saat mencapai periode itu.
Implikasi dari prinsip tersebut, guru hendaknya mengajarkan suatu keterampilan kepada anak sampai anak ini memperoleh kesiapan mempelajari sesuatu dengan relatif lebih mudah. Jika anak kurang memiliki pengetahuan prasyarat untuk mempelajari suatu keterampilan, atau dia tidak berminat maka kita tidak dapat mengajarkan keterampilan itu hingga pengetahuan dan minat itu berkembang.
Teori Piaget (Thomas L. Good dan Jere E. Brophy, 1990: 51-52) mengangkat konsep kesiapan dalam arti kognitif. Pigget memandang bahwa pikiran anak merupakan suatu struktur yang secara terus-menerus berkembang ke arah tingkat organisasi dan integrasi yang lebih tinggi. Konsep kesiapan ini menjadi luas, tidak hanya mencakup aspek fisik, tetapi tiga mencakup aspek kognitif dan minat.
Jika kesiapan tidak tampak, pada diri anak dapat ditumbuhkan kondisi disekuilibrium (dan dengan demikian akan memotivasi anak untuk belajar). Bahan ajar yang terlampau mudah akan menimbulkan kebosanan, yang terlampau sulit akan menimbulkan frustasi, dan yang tidak diminati tidak akan dieksplorasi dengan aktif.
Kesiapan belajar atau kognitif anak dapat diciptakan atau dikembangkan dengan jalan menghadapkan anak kepada tugas-tugas satu tingkat paling dekat dengan tahap perkembangan pada saat ini.

D. Perkembangan Pribadi dan Sosial
Perkembangan pribadi mencakup perkembangan konsep diri, emosi, independensi dan tanggung jawab. Dalam aspek konsep diri, siswa mungkin masih cenderung berorientasi pada diri sendiri. Keinginan untuk menonjolkan diri masih cukup tinggi, belum mampu melibat diri secara objeltif dan menyadari akan perbedaan diri dengan orang lain mungkin masih rnerupakan ciri-ciri yang cukup kuat pada anak. Namun sejalan dengan tingkat perkembangannya, pada kelas-kelas tinggi konsep diri anak sekolah dasar diharapkan telah berorientasi kontekstual, yakni menunjukkan kesadaran akan hubungan diri dengan lingkungan dan bahwa lingkungan atau orang lain itu berbeda dengan dirinya.
Dalam aspek perkembangan emosi, anak sekolah dasar cenderung belum stabil. Kecenderungan untuk tidak toleran terhadap orang lain, agresif secara fisik, rendahnya kesadaran akan kesalahan diri, dan perilaku egoistis masih akan tampak pada anak sekolah dasar. Karakteristik perkembangan ini akan berubah menuju perilaku memahami orang lain, bersikap kooperatif, toleran, dan sadar akan kesalahan diri. Dengan kata lain akan ada pergeseran dan orientasi egoistis kepada orientasi altruistis (peduli akan kepentingan orang lain).
Erat kaitannya dengan konsep diri dan emosi ialah perkembangan tanggung jawab. Keraguan berbuat atas inisiatif sendiri atau mengambil keputusan tanpa menyadari resiko mungkin masih rnerupakan ciri dari perkembangan anak sekolah dasar. Kesadaran akan tanggung jawab pada anak sekolah dasar tampak antara lain pada hasrat untuk menentukan kegiatan sendiri, mcngambil inisiatif kesediaan bekerja sama, keberanian mengambil resiko, dan sikap tidak bergantung kepada guru.
Dampak aspek sosial, perkembangan anak sekolah dasar bisa dilihat dari hubungan sosial, karakteristik kelompok, dan perkembangan etika, Hubungan sosial anak sekolah dasar ditandai oleh adanya kecenderungan untuk mulai senang berada bersama orang lain, di dalam kelompok tidak lagi bersikap mendominasi orang lain, terbuka terhadap informasi, dan mulai tampak adanya kesadaran jenis (gender indentity) yang diikuti oleh adanya hasrat untuk menunjukkan peran jenis.
Berkaitan dengan hubungan sosial itu, karakteristik kehidupan kelompok peserta didik akan bercirikan mulai dari sikap yang tidak toleran dan individualistis sampai kepada keterikatan diri pada kesepakatan kelompok dalam berperilaku. Orientasi pemuasan diri sendiri dalam kehidupan berkelompok dan sikap berlawanan antar kelompok jenis bisa jadi masih merupakan ciri yang kuat pada perkembangan sosial anak sekolah dasar.
Dalam perkembangan etika, anak sekolab dasar mungkin masih berorientasi eksternal atau heteronom. Kekuatan moral dan aturan di luar dirinya diterima sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakan untuk menghindari hukuman atau memperoleh ganjaran. Namun demikian sesuai dengan kehidupan kelompoknya, perkembangan etika anak sekolah dasar sudah pula ditandai dengan kemampuan mematuhi aturan dan kesepakatan kelompok.

E. Pendekatan Perkembangan dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
Dewasa ini orientasi pendidikan di sekolah dasar lebih berat kepada Orientasi isi, artinya ditekankan kepada penguasaan isi ilmu pengetahuan, dan yang menjadi materi pembelajaran adalah isi mata pelajaran itu. Jika ditilik dari hakikat perkembangan siswa sekolah dasar, yang bersifat holistis dan masih menyatu dengan dunianya, maka isi mata pelajaran di sekolah dasar sebenarnya adalah sesuatu yang terpadu dengan kehidupan anak. Ini mengandung arti bahwa materi pembelajaran di sekolah dasar terletak pada subjek didik itu sendiri, bukan pada isi mata pelajaran.
Proses pembelajaran di sekolah dasar harus bersifat terpadu dengan perkembangan anak baik perkembangan fisik, kognitif, sosial, moral, maupun emosional. Dengan kata lain pengembangan bahan ajar dan proses pembelajaran di sekolah dasar harus bertolak dari prinsip ketercernaan bagi peserta didik. Pendekatan Developmentally Appropriate Practice (DAP) merupakan altennatif pembelajaran di sekolah dasar, yang menekankan prinsip ketercernaan, yang secara sistematis tugas ajar dan bahan ajar dirancang dan dilaksanakan sejalan dengan karakteristik perkembangan siswa terutama di kelas-kelas awal.

1. Hakikat Pendekatan Perkembangan
Pendekatan perkembangan di dalam pembelajaran menekankan kepada kepadanan kurikulum dan proses pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan anak. Pendekatan ini memandang :
a. anak sebagai subjek yang memiliki kecakapan mental yang berkembang terus,
belajar sebagai proses kreatif,
pengetahuan sebagai hasil belajar adalah suatu konstruksi yang terbentuk atas kotribusi bersama antara subjek dan objek; dan
mengajar adalah menciptakan lingkungan belajar yang padan dengan perkembangan anak.
Konep pendekatan perkembangan mengandung dua dimensi yaitu umur dan individual.
Dimensi umur. Penelitian perkembangan manusia menunjukkan bahwa ada sekuensi dan perubahan yang universal dan dapat diramalkan yang terjadi pada usia anak, terutama usia 9 tahun pertama. Perubahan tersebut menyangkut aspek fisik, kognitif, sosial dan emosional. Keunikan perkembangan dalam rentang usia tersebut perlu diakomodasikan ke dalam suatu kerangka program sebagai titik tolak bagi guru mempersiapkan lingkungan belajar dan pengalaman yang padan bagi perkembangan siswa.
Dimensi individual. Anak adalah pribadi yang unik baik dan aspek pola dan waktu perkembangan kepribadian gaya belajar, maupun latar belakang keluarga. Kurikulum dan interaksi orang dewasa dengan anak harus responsif terhadap keragaman individual. Belajar pada anak merupakan hasil interaksi antara pikiran dan pengalaman anak dengan bahan, gagasan, dan manusia lain. Pengalaman ini mesti padan dengan perkembangan minat, dan pemahaman anak. Pengetahuan tentang perkembangan anak diperlukan oleh guru untuk mengidentifikasi rentang perilaku, kegiatan, dan bahan ajar yang padan bagi kelompok usia tertentu.

2. Perkembangan dan Belajar Anak Usia Sekolah Dasar
a. Keterpaduan perkembangan dan belajar
Adalah hal penting untuk memahami perkembangan anak usia sekolah dasar sebagai landasan bagi pengembangan proses pembelajaran yang padan dengan perkembangan anak. Satu premis yang paling penting tentang perkembangan manusia ialah bahwa semua aspek perkembangan, fisik, emosional, sosial, dan kognitif, bersifat terpadu. Perkembangan dalam aspek yang satu akan mempengaruhi dan dipengaruhi aspek lain. Hal ini menjadi amat penting untuk disadari manakala pendidikan di sekolah menjadi lebih menekankan pengembangan kognitif dan kurang mempedulikan aspek lainnya. Kegagalan anak dalam belajar bisa jadi karena kegagalan guru dalam mempedulikan semua aspek perkembangan anak. Sebagai contoh, mana kala keterampilan sosial anak kurang dan dia ditolak oleh teman sebayanya, maka kecakapan dia untuk bekerja sama akan terhambat. Prinsip yang relevan dengan pembelajaran ialah bahwa guru harus selalu peduli dan memahami anak sebagai keseluruhan.
Belajar anak, seperti halnya juga pcrkembangan, berlangsung terpadu terutama pada kelas-kelas awal. Sama hal yang paling penting bagi guru sekolah dasar ialah bahwa dia harus menguasai seluruh kurikulum sebagai suatu kesatuan dan keutuhan. Proses belajar anak usia sekolah dasar tidak menghendaki pembedaan menurut mata pelajaran. Dia belajar membaca dan menulis ketika dia mempelajari IPS, dia belajar konsep matematika melalui musik dan pendidikan jasmani. Prinsip yang relevan dengan pembelajaran ialah bahwa kurikulum dan proses pembelajaran di sekolah dasar harus bersifat terpadu.

b. Perkembangan fisik
Pada usia sekolah dasar, perkembangan fisik anak cenderung lambat jika dibanding dengan pertumbuhan yang luar biasa pada lima tahun pertama. Kemampuan anak mengendalikan badan dan kemampuan duduk serta berada pada periode waktu yang lebih lama merupkan ciri perkembangan fisik anak usia sekolah dasar. Kegiatan fisik bagi anak usia sekolah dasar adalah hal yang esensial yang dapat memperhalus perkembangan keterampilan dan harga dirinya.
Kegiatan fisik juga merupakan hal yang amat penting bagi perkembangan kognifif anak. Ketika kepada anak dihadapkan konsep abstrak, akan perlu melakukan aktivitas fisik untuk membantu mereka menghayati konsep-konsep yang belum dikenalnya itu. Lain halnya dengan orang dewasa, pengenalan konsep pada anak usia sekolah hampir seluruhnya bergantung kepada pengalaman pertama yang diperolehnya. Oleh karena itu prinsip yang relevan dan penting bagi pembelajaran ialah bahwa usia sekolah dasar harus dihadapkan kepada kegiatan aktif daripada kepada kegiatan pasif

c. Perkembangan kognitif
Pola belajar anak usia sekolah dasar dipengaruhi kuat oleh pergeseran gradual dan tahap berpikir operasional awal ke operasional konkret. Pada usia ini anak mulai memiliki kecakapan berpikir tentang masalah dan pemecahannya kerap pada usia ini mereka mampu memanipulasi objek secara simbolis. Kondisi ini merupakan prestasi utama pada anak yang akan berkembang terus kearah kecakapan pemecahan masalah. Walaupun secara simbolis atau mental mereka mampu memanipulasi objek, namun mereka masih memerlukan bantuan objek nyata untuk berpikir. Prinsip praktis bagi anak usia sekolah dasar ialah bahwa kurikulum atau proses pembelajaran harus menyajikan bahan ajaran yang padan dengan perkembangan anak yang memungkinkan mereka melakukan eksplorasi, berpikir, dan memperoleh kesempatan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak lain dan orang dewasa. Ini berarti bahwa kurikulum dan proses pembelajaran harus relevan, dan bermakna bagi anak.
Banyak kecakapan yang berkembang pada usia sekolah dasar, salah satu di antaranya ialah kecakapan melihat dan memahami pandangan orang lain yang akan memperhias keterampilan komunikasi anak. Anak usia sekolah dasar dapat melakukan pembicaraan interaktif dan menggunakan kekuatan komunikasi verbal baik dengan orang dewasa maupun teman sebaya. Prinsip praktis yang relevan dengan pembelajaran ialah bahwa anak usia sekolah dasar harus diberi kesempatan untuk bekerja dalam kelompok kecil dan guru menciptakan kemudahan diskusi di antara anak dengan jalan memberikan komentar dan dukungan atas pendapat dan gagasan anak.

d. Perkembangan sosial-emosional dan moral
Anak usia sekolah dasar mulai menaruh minat dan perhatian yang kuat terhadap kehidupan kelompok. Pada usia ini mulai berkembang hubungan sosial yang positif dan produktif dan hubungan kerja yang menumbuhkan kesadaran kompetensi sosial. Penelitian menunjukkan bahwa anak yang gagal mengembangkan kompetensi sosial dan ditolak oleh teman-temannya menjadi anak yang berisiko tinggi untuk putus sekolah, menjadi nakal, dan mengalami masalah kesehatan mental. Prinsip praktis yang relevan ialah bahwa guru mengetahui pentingnya pengembanan hubungan kelompok yang positif dan mengembangkan kesempatan dan dukungan bagi kerja sama kelompok yang tidak sekedar mengembangkan ranah kognitif, tetapi juga meningkatkan interaksi sebaya. Sebagai konsekuensi logis, guru sebaiknya membantu anak mempelajari perilaku yang layak daripada menghukum atau mengkritiknya.

3. Perkembangan Individual dalam Pendekatan Perkembangan
Sisi penting dan pendekatan perkembangan ialah pengetahuan tentang hal apa yang secara individual padan bagi anak tertentu di dalam kelas. Sekalipun ada sekuensi dan prinsip umum dan perkembangan manusia, namun prinsip utama dan pendekatan perkembangan ialah, baliwa anak itu unik, memiliki pola dan irama perkembangan, kepribadian gaya belajar, dan latar belakang keluarga tersendiri. Ketika anak masuk sekolah gambaran diri yang berasal dan keluarga terbawa ke dalam kehidupan sekolah. Di sinilah peran orang tua sebagai partner guru menjadi penting.
Proses pembelajaran yang berorientasi pendekatan perkembangan bersifat fleksibel dalam hal kapan dan bagaimana anak memperoleh kompetensi tertentu. Mengenali keragaman individual mengisyaratkan perlunya variasi metode pembelajaran. Prinsip praktis yang relevan ialah bahwa anak usia sekolah dasar dan keragaman latar belakangnya, memperluas keragaman metode pengajaran dan bahan ajar.
Fleksibilitas pendekatan perkembangan terletak pula dalam bagaimana pengelompokan siswa dilakukan. Prinsip ini memungkinkan terjadinya penggabungan tingkat ke dalam kelas yang sama (multigrade/level) yang dalam keseharian di sekolah kita sering terjadi di sekolah-sekolah yang kekurangan guru.

4. Panduan bagi Implementasi Pendekatan Perkembangan
a. Pengembangan bahan ajar
Bahan ajar yang berorientasi pendekatan perkembangan dirancang padan dengan rentang usia di dalam kelompok dan diimplementasikan dengan memperhatikan keragaman kebutuhan, minat, dan tingkat perkembangan individual anak.
Bahan ajar yang berorientasi pendekatan perkembangan dirancang untuk mengembangkan seluruh ranah perkembangan anak: fisik, sosial, emosi dan kognitif melalui pendekatan terpadu. Murid belajar tidak dalam mata pelajaran yang sempit melainkan dalam keterpaduan.
1) Pengembangan bahan ajar didasarkan atas pengamatan dan catatan guru atas minat dan kemajuan perkembangan setia anak. Bahan ajar yang realistis didasarkan atas hasil asesmen kebutuhan, kekuatan dan minat indivadual siswa yang dikemas ke dalam kepadanan kelompok usia
Pengenibangan bahan ajar menekankan kepada belajar sebagai proses interaktif. Guru menyiapkan lingkungan bagi anak untuk belajar melalui eksplorasi dan interaksi dengan orang dewasa, orang lain, dan bahan ajar: Hasil akhir atau pemecahan yang “benar” menurut patokan. orang dewasa bukanlah patokan mutlak untuk menimbang proses belajar yang terjadi pada anak.
Kegiatan belajar dan bahan ajar harus konkret, riil, dan relevan dengan kehidupan anak. Anak memiliki kebutuhan bermain yang panjang dengan objek dan peristiwa nyata sebelum dia mampu memahami makna. simbol, seperti huruf dan angka.
Bahan ajar yang disiapkan harus mengakomodasikan rentang perkembangan kecakapan dan minat, bukan semata-mata berdasarkan rentang usia kronologis dalam kelompok.
Bahan ajar dan kegiatan belajar dikembangkan secara bervariasi, guru meningkatkan tingkat kesulitan, kompleksitas, kebaruan, dan tantangan dan suatu kegiatan yang dapat meningkatkan keterlibatan siswa di dalamnya.
Bahan ajar dikembangkan dengan memperhatikan konteks budaya anak.

b. Interaksi guru-siswa
Ciri pendekatan perkembangan paling tampak dalam interaksi antara orang dewasa (di sekolah adalah guru) dan anak. interaksi dalam pendekatan perkembangan didasarkan atas pengetahuan orang dewasa dan harapan akan perilaku anak usia sekolah dasar, diimbangi dengan kesadaran orang dewasa akan keragaman di antara anak. Pola dasar intéraksi yang dimaksud akan berwujud dalam bentuk-bentuk berikut ini.
1) Guru secara cepat dan langsung merespons kebutuhan, keinginan, dan pesan, dan menyesuaikan responsnya dengan keragaman gaya dan kecàkapan individual. Respons diberikan dalam suasana hangat dan menumbuhkan kesan akan pemahaman dewasa terhadap anak.
Guru mengembangkan berbagai kesempatan bagi anak untuk berkomunikasi. Anak memperoleh keterampilan berkomunikasi melalui mendengar dan penggunaan bahasa, tumbuh dan kehendak rnenggunakan bahasa untuk mengekspresikan kebutuhan, wawasan, kebanggaan, dan pemecahan masalah, anak tidak belajar bahasa dengan cara mendengarkan ceramah guru.
Guru memberikan kemudahan bagi pencapaian tugas perkembangan melalui pemberian dukungan, pemberian perhatian, sentuhan fisik, dan dorongan-dorongan verbal berupa pujian dan sanjungan.
Guru memahami sumber-sumber stres yang terjadi pada siswa dan secara sadar berupaya mengembangkan kegiatan dan teknik untuk mengurangi stres tersebut. Respons anak terhadap stres bersifat individual dan sejalan dengan gaya belajamya. Pemahaman dan kepekaan guru terhadap reaksi individual siswa merupakan kunci untuk perbaikan iklim interaksi yang lebih menyenangkan bagi anak.
Guru mengembangkan kemudahan bagi perkembangan harga diri anak dengan cara menghargai dan nenerima anak. Bimbingan yang berlangsung dalam pendekatan perkembangan didasar oleh sikap menghargai anak, dan dimaksudkan untuk membantu anak mengembangkan kemampuan rnengendalikan din dan mengambil keputusan untuk masa yang akan datang.

c. Hubungan antara keluarga dan program
Agar program pembelajaran dapat mernenuhi kepadanan individual mutlak diperlukan hubungan kemitraan antara sekolah dan keluarga. Orang tua memiliki hak dan tanggung jawab di dalam mengambil keputuan tentang perawatan dan penididikan anaknya. Orang tua harus didorong untuk mengamati dan partisipasi dalam penyelenggaraan pembelajaran anaknya, guru bertanggung jawab untuk mengembangkan dan mernelihara komunikasi dengan keluarga. Secara reguler guru dan orang tua perlu berbagi pengetahuan dan wawasan tentang anak.

d. Evaluasi berorientasi perkembangan
Evaluasi perkembangan dan belajar anak secara individual adalah hal esensial bagi perencanaan dan implementasi program pendekatan perkembangan, tetapi harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari terjadinya diskrirninasi dan menjamin ketepatan evaluasi. Ketepatan testing dicapai jika instrumen yang digunakan valid dan reliabel, akan tetapi instrumen semacam ini jarang dikembangkan bagi keperluan evaluasi terhadap anak usia sekolah dasar. Oleh karens itu, evaluasi melalui pengukuran objektif (menggunakan tes) bukan cara mutlak yang dapat menentukan segalanya tentang perkembangan anak. Asesmen terhadap anak usia sekolah dasar perlu juga didasarkan atas hasil pengamatan terhadap perkenbangannya yang dinyatakan dalam data deskriptif.
Keputusan yang memiliki dampak kuat terhadap anak seyogianya tidak didasarkan atas asesmen tunggal melainkan perlu mempertimbangkan informasi lain yang relevan, terutama berdasarkan pengamatan guru dan orang tua. Asesmen yang berorientasi perkembangan dan hasil belajar anak digunakan untuk memadankan bahan ajar dengan kebutuhan anak serta menilai efektivitas program.











Peran Guru Dalam Pengembangan Rancangan Pembelajaran

A. Hakikat Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran sebagai proses implementasi kurikulum, menuntut peran guru untuk mengartikulasikan kurikulum/bahan ajar serta mengembangkan dan mengimplementasikan program-Program pembelajaran dalam suatu tindakan yang akurat dan adekuat. Peran ini hanya mungkin dilakukan jika guru memahami betul tujuan dan isi kurikulurm serta segala perangkatnya untuk mewujudkan proses pembelajaran yang optimal.
lstiláh pembelajaran bukanlah hal yang baru dikenal bahkan mungkin kita tidak hanya mengenal istilah itu melainkan pernah melakukannya. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan proses pembelajararan? Apakah pcmbelajaran itu proses menyampaikan pengetahuan kepada siswa? Proses melatih siswa sehingga dia terampil melakukan sesuatu? Atau proses membantu siswa belajar?

1. Pembelajaran sebagai Inkuiri Refleks
Cara kita memandang esensi pembelajaran akan bergantung kepada bagaimana kita memandang pendidikan. Apakah kita memandang pendidikan sebagai suatu hasil atau sebagai proses. Dengan kata lain apakah kita memandang pendidikan sebagai kualitas kata benda atau kualitas kata kerja. Cara kita membedakan kedua hal ini akan mempengaruhi cara mempelajari pendidikan dan perilaku kita sebagai guru. Jika pendidikan dipandang sebagai kata benda, berarti bahwa pendidikan itu adalah sesuatu yang telah diperoleh. Sedangkan jika dipandang sebagai kata kerja, pendidikan adalah proses inkuiri yang berkelanjutan.
Pandangan terakhir adalah pandangan yang memungkinkan. tejadinya proses pembelajaran yang lebih efektif dan mengarah kepada pengembangan profesi guru dan perkembangan siswa secara optimal. Di dalarn kajian ini, proses pembelajaran dipandang sebagai proses membantu peserta didik belajar, membantu peserta didik mengembangkan dan mengubah perilaku (pengetahuan, afektif, dan psikomotor), proses membantu peserta didik merangkai gagasan, sikap, pengetahuan, apresiasi, dan keterampilan.
Di dalam pembelajaran, guru terlibat secara mendalam di dalam berbagai kegiatan seperti menjelaskan, merumuskan, membuktikan, menyimpulkan, dan mengklasifikasi-kan. Guru tidak sekédar bertugas mentransfer pengetahuan, sikap, dan keterainpilan, mereka membantu peserta didik rncnerjemahkan semua aspek itu ke dalain perilaku-perilaku yang berguna dan bermakna.
Sebagai proses inkuiri refloktif pembelajaran mengandung makna sebagai proses sintesis dan analisis. Inkuiri di dalam pembelajaran mengandung makna mempertanyakan, menjelajahi lebih jauh, dan memperluas pemahaman lentang situasi. Sedangkan refleksi mengimplikasikan adanya dugaan, penilaian, dan pertirnbangan faktor-faktor yang signifikan terhadap pencapaian tujuan. Dengan. kata lain proses pembelajaran sebagai inkuiri refleksi sangat menekankan unsur aktivitas dan dinamika proses yang harus dipahami dan dihayati guru. Proses pembelajaran tidak sekedar menjadi wahana belajar bagi peserta didik tetapi juga wahana belajar bagi guru. Di dalain proses pembelajaran terjadi proses menjawab pertanyaan, mempertasiyakan jawaban, dan menipertanyakan pertanyaan. Jelasnya proses peinbelajaran adalah proses yang dinamis, proses yang berkembang terus, dan di dalam proses itu akan tejadi proses belajar. Dalam proses pembelajaran terkandung proses mengajar dan belajar, sebagai dua proses yang saling bergantung; mengajar hanya akan ada jika terjadi proses
Proses pembelajaran sebagai inkuiri reflektif akan menempatkan guru sebagai:
a. individu yang sec.ara terus-menerus aktif belajar, Anda juga berperan sebagai siswa;
seorang guru yang menantang siswanya untuk menjadi pelajar yang reflektif
seorang profesional yang secara terus-menerus merefleksikan keefektifannya sebagai guru; serta
seorang profesional yang selalu meningkatkan kemampuan profesionalnya.


2. Perkembangan sebagai Tujuan Pembelajaran
Tatkala seorang guru ditanya tentang tujuan apa yang ingin dicapai dengan pengajaran Bahasa, IPA, 1PS dan juga bidang studi atau pelajaran lain, mungkin dia menjawab bahwa dia bertujuan mengembangkan manusia terdidik, dan untuk mencapai itu dia mcngajarkan Bahasa, IPA, IPS atau bidang studi lain karena bidang Studi itu merupakan bidang esensial untuk berlangsungnya pendidikan secara mulus.
Bukan hal mustahil bahwa pembelajaran yang ekselen (unggul) dikerjakan oleh guru-guru artistik yang tidak memiliki konsep yang jelas tentang tujuan tetapi mereka secara intuitif niemuliki pemahaman tentang apa proses pembelajaran yang baik, materi. sajian apa yang ;ianggap penting/betinakna, topik apa yang relevan dongan pengembangan peserta didik, bagaimana menyajikan bahan secara efektif, serta lagaimana menilai keberhasilan siswa. Akan tetapi . jika suatu program pendidikan atau pembelajaran dirancang dan diupayakan untuk dilakukan perbaikan secara berkesinambungan, bagaimanapun juga pemahaman akan konsep-konsep tujuan yang hendak dicapai adalah suatu keharusan bagi guru. Tujuan pembelajaran menjadi tolak ukur untuk memilih baban ajar. Merancang isi pembelajaran, mengembangkan prosedur pembelajaran, dan mempersiapkan tes dan ujian. Semua aspek program pembelajaran secara nyata merupakan instrumen untuk mencapai tujuan. Artinya jika mentaati program pembelajaran secara sistematis dan cermat, maka pertama-tama yang harus diyakini adalah tujuan yang hendak dicapai.
Persoalan yang muncul ialah apa yang menjadi tujuan pembelajaran itu? Salah satu hal yang dirisaukan atas praktek pendidikan adalah ketidakseimbangan pengembangan aspek intelektual dan nonintelektual. Sering kali terjadi bahwa proses pembelajaran lebih menekankan pengembangan aspek intelektual sedangkan aspek nonintelektlual kurang tersentuh. Bahkan dalam aspek intekktual pun sering kali hanya menyentuh satu sisi, yaitu kemampuan berpikir logis (corvergent thinking) dan kurang mengembangkan kemampuan kreativitas siswa (divergent thinking).
Kecenderungan proses pembelajaran seperti ini akaii menimbulkan kekurang bermaknaan karena proses pembelajaran hanya merupakan proses intelektualisasi dan bukan proses peronalisasi. Kecenderungan ini juga akan mendorong tumbuhnya kompetensi intelektual yang tajam, sementara kepekaan sosial dan lingkungan menjadi pudar. Titik lemah proses pembelajaran tersebut perlu diperbaiki dengan menekankan kepada konsep perkembangan sebagai tujuan pembelajaran.
Esensi perkembangan secara khusus akan dibahas pada kegiatan belajar lain dan pokok bahasan ini. Pada umumnya diakui bahwa dalam diri manusia ada suatu instrumn penting untuk mengembangkan din yaitu akal pikiran. Hanya saja pengembangan kemotekaran (akal pikirari) melalui proses pembelajaran harus dibarengi dengan pengembangan nilai-nilai dan keterampilan hidup dan menempatkan nilai-nilai dan keterampilan hidup itu sebagai objek dan juga sekaligus sebagai landasan pengembangari akal pikiran. Hal ini diharapkan terjadi di dalam proses pembelajaran sebagai wahana pengembangan pribadi peserta didik.
Dalam kaitan dengan perkembangan peserta didik, proses pembelajaran memiliki fungsi:
a. pengembangan, yakni membantu peserta didik mengembangkan diri sesuai dengan potensi dan keunikannya;
peragaman, yaitu membantu peserta didik memilih arah perkembangan yang tepat sesuai dengan potensi dan peluang yang diperolehnva;
integrasi, yaitu membawa keragaman perkembangan ke arah dan tujuan yang sesuai dengan eksistensi kehidupan manusia.

B. Prosedur Pengembangan Rancangan Pembelajaran
Selanjutnya kita membahas bagaimana suatu rancangan pembelajaran kelas, yang mencakup rancangan jangka pendek yang disebut dengan satuan acara pelajaran dan rancangan jangka panjang yang disebut dengan rencana unit pengajaran dikembangkan. Kegiatan dalam menyusun rancangan-rancangan ini akan mencakup :
1. analisis kurikulum;
penyiapan tujuan instruksional;
kegiatan yang diarahkan untuk mencapai tujuan; dan
perencanaan evaluasi.

1. Analisis Kurikulum

Secara fisik, kurikulum dituangkan dalam suatu dokumen yang pada intinya menggambarkan cakupan bahan ajar yang harus diajarkan dalam tingkatan kelas dan kurun waktu tertentu. Kurikulum dalam bentuk dokumen semacam ini merupakan kurikulum ideal atau kurikulum yang diharapkan (ideal or expected curriculum).
Di dalam praktek seorang guru dituntut untuk mengartikulasikan kurikulum ke dalam ragam dan rentang pengalaman belajar peserta didik. Artikulasi dan implementasi kurikulum yang ideal tadi akan sangat bersifat kontekstual dan bergantung kepada kondisi objektif guru maupun peserta didik. Oleh karena itu, sangat mungkin apa yang dilaksanakan dalam praktek tidak sepenuhnya mewujudkan hal-hal ideal yang terkandung dalam kurikulum tersebut. Dengan kata lain kurikulurn yang terlaksana (implemented curriculum) tidak selalu identik dengan kurikulum ideal.
Persoalan yang muncul ialah bagaimana agar kurikulum yang terlaksana tadi tidak nnenyimpang dan kurikulum yang ideal. Dalam hal inilah seorang guru peran melakukan analisis kurikulum yang dimaksudkan untuk merumuskan rencana dan bahan ajar yang lebih bermakna sesuai dengan perkembangan peserta didik. Ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan analisis kurikulun yaitu sebagai berikut :
a. Total waktu yang Anda miliki untuk menangani topik-topik utama yang harus diajarkan.
Asumsi-asumsi yang Anda gunakan tentang pengetahuan dan keterampilan awal peserta didik untuk menilai mempelajari topik-topik baru.
Tujuan umum belajar yang dirumuskan untuk siswa.
Waktu serta pengetahuan dan keterampilan awal akan dibahas sendiri sedangkan tujuan akan dibahas pada bagian tujuan pembelajaran

a. Waktu
Keseluruhan waktu yang harus Anda rancang untuk pengajaran mencakup waktu untuk mengajarkan seluruh isi pelajaran dan waktu yang diharapkan dimiliki siswa untuk mengajarkan pekerjaan di luar kelas. Anda tidak akan pernah memiliki cukup waktu untuk melakukan segalanya yang ingin Anda lakukan di dalam suatu pelajaran. Oleh karena itu, Anda harus sadar betul akan kejelasan total waktu yang perlu dimilik dan direncanakan.
Rancangan waktu dapat dirumuskan ke dalam waktu tatap muka dengan kelas, dan kegiatan luar kelas. Banyak ragam kegiatan yang bisa dirancang untuk kegiatan di luar kelas yang .pada intinya mengmbangkan tanggung jawab siswa terhadap tugas-tugas yang harus dikerjakan, yang biasanya dinyatakan dalam bentuk pekerjaan rumah. Pekerjaan rumah akan menjadi alat pembelajaran yang amat penting jika dirancang secara tepat.
Pemahaman Anda tentang keseluruhan isi pelajaran yang harus dipelajari siswa dan total waktu yang tersedia untuk pembelajaran, menghendaki perjanjian atau pemahaman:kurjkulum yang berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan siswa pada proses belajar sebelumnya.

b. Pengetahuan dan keterampilan awal
Suatu kurikulum atau lingkup pelajaran dirancang dan disusun atas suatu asumsi tak tertulis tentang pengetahuan dan keterampilan yang menyangkut pengetahuan siswa sebelumnya. Dalam konteks pembelajaran asumsi tak tertulis tadi perlu diklasifikasi dan dieksplisitkan sehingga menjadi titik tolak memulai pembelajaran.
Benyamin Bloom (1976) mengembangkan suatu teori yang menjelaskan mengapa unjuk kerja siswa berbeda atas tugas-tugas pembelajaran (learning tasks) yang diperhadapkan kepadanya. Teori ini mengatakan sebagai berikut.
1) Sampai dengan 50% keragaman prestasi siswa diteutukan oleh kepemilikan keterampilan kognitif awal yang diperlukan untuk memenuhi pembelajaran. Jika suatu tugas pembelajaran melibatkan kemampuan membaca, materi bacaan apa yang tepat untuk siswa itu? Jika tugas pembelajaran itu berkaitan dengan mengajar siswa tentang perkalian dua digit, dapatkah siswa mengalikan dua digit itu dengan satu digit?
Sampai dengan 25% keragaman prestasi ditentukan oleh karakteristik afektif awal. Karakteristik ini berkaitan dengan kemauan dan motivasi siswa untuk belajar.
Sampai dengan 25% keragaman prestasi siswa ditentukan oleh balikan yang efekif dan tepat waktu dan guru dan/atau bahan pembelajaran.

Teori ini tentu berlaku secara kelompok dan tidak secara individual, dan kita tidak bisa mcnbuat penyederhanan atas proses pembelajaran yang dialami oleh setiap siswa. Proses secara individual akan lebih kompleks, karena perilaku manusia mempunyai ragam penyebab dan adalah hal yang berbahaya jika kita melakukan bcrbahaya jika kita melakukan penyederhanaan dalam menjelaskan perilaku siswa.
Bagi seorang guru di sekolah, pemahaman pengetahuan dan kcterampilan awal siswa dapat dilakukan dengan cam menganalisis kurikulum sebelunmya, atau diskusi dengan guru yang pernah rnengajar pada tingkat sebelumnya. Pemahaman tersebut dapat anda padukan dengan pemahaman anda tentang isi pelajaran yang harus dipelajari.

2. Tujuan Pembelajaran
Pemahaman Anda tentang isi pelajaran dan waktu yang tersedia, menjadi landasan bagi pengembangan dan perumusam tujuan pembelajaran. Ada empat tipe tujuan pembelajaran. Pertama, tujuan keperilakuan, rumusan lujuan yang ada dalam bentuk perilaku siswa yang dapat diobservasi, diukur, dan diuji bahwa siswa sudah menguasai dengan baik perilaku yang harus dicapai secara khusus. Kedua, tujuan pemecahan masalah, merumuskan pembelajaran siswa dalam proses untuk menggunakan pikiran melalui pengkajian isu yang tak memiliki pemecahan spesifik.
Contoh:
(1) Diberikan uang mainan sebesar Rp5.000,00 siswa akan. memutuskan bagaimana membeli makanan untuk seliari.
Siswa akan mendiskusikan, seperti apa hidup ini sekiranya tidak ada kendaraan bermotor.
Ada lima hal yang membedakan tujuan pemecahan masalah dan tujuan keperilakuan.
Pertama, pemecahan terhadap masalah tidak dapat dirumuskan sebeluninya dan acap kali pemecahan yang muncul merupakan hal yang tidak/belum pernah terpikirkan sebelunrnya.
Kedua, proses berpikir melalui masalah sama pentingnya dengan pemecahan masalah itu sendiri.
Ketiga, peran guru berubah dan seseorang yang memandu secara eksplisit kepada sesecrang yang mendorong dan pemberi kritik yang bersahabat.
Keempat, perubahan peran guru akan mengi.ibah peran siswa. Arah kerja siswa tidak lagi kepada hasil yang sudah diprediksi.
Kelima, perbedaan antara kedua tujuan mi akän bermuara pada sistem evaluasi.
Ketiga, tujuan ekspresif, merumuskan pembelajaran siswa ke dalam tingkat pengalaman tinggi yang bermakna secara individual apakah sebelumnya sudah diantisipasi atau belum.
Contoh:
(I) Siswa akan mengungkapkan perasaannya pada saat kakaknya menikah.
(2) Siswa akan menyatakan bagaimana perasaan saat ditinggal sendirian.

Keempat, tujuan afektif, ada kesamaan dengan tujuan ekspresif, hanya tujuan afektif lebih terfokus kepada respons-respons emosional terhadap kurikulum dan pengalaran. Dalam tatanan paling rendah perilaku afektif direplikasikan dalam bentuk memperhatikan dan merespons. Dalam kaitannya dengan rumusan tujuan pengajaran untuk memahami perilaku ini biasanya ditambah dengan rumusan “herkemauan untuk”. Rumusan tujuan akan berbunyi misalnya: “Siswa akan menunjukkan kemauannya untuk memperhatikan dengan…“, kemudian diikuti dengan rumusan perilaku yang terarnati yang menjadi indikator dan perhatian siswa terhadap pengajaran.
Contoh: Siswa akan menunjukican respons positif terhadap tugas pengajaran dengan secara sukarela mengerjakan tugas tanpa harus diperingatkan ulang.
3. Rancangan Kegiatan Pembelajaran
Secara operasional kegiatan pembelajaran yang tertuang di dalam satuan pelajaran diartikan sebagai sejumlah waktu yang dirancang untuk mengajari siswa suatu topik sederhana, bisa berupa konsep, keterampilan, proses, diskusi singkat tentang cerita pendek, atau suatu bagian dan novel. Kata sederhana mengandung arti bahwa setiap satuan pelajaran adalah hanya satu dan rangkaian satuan-satuan pelajaran yang saling terkait dan bekerja sama membantu siswa memahami hal-hal yang lebib kompleks.
Sebagai contoh, sebelum siswa menguasai konsep tentang sejarah rakyat Aceh dalam melawan dan mengusir penjajah Belanda, tenlebih dulu perlu tahu dan paham tentang hubungan Aceh dan negara Republik indonesia dan letak Aceh secara geografis.
Setiap kegiatan pembelajaran dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: kegiatan awal, kegiatan inti, dan penutup.

a. Kegiatan awal
Pada saat Anda memperkenailkan topik baru kepada siswa, perlu diingat bahwa siswa harus dibantu memahami topik itu dalam konteks keseluruhan pengajaran. Bagian pengantar dan satuan pelajaran dapat membantu siswa dalam hal-hal berikut.
1) Mengaitkan hal-hal yang sudab dipelajari dengan hal-hal baru. Pengantar satuan pengajaran dapat diisi dengan mengingatkan kembali pengetahuan awal dan mengaitkannya dengan informasi baru sehingga pengetahuan awal itu dapat menjadi alat yang bermakna bagi proses belajarbaru.
Memberi kesempatan path siswa untuk memahami topik secara keseluruhan sebelum mempelajari hal-hal yang terkandung dalam topik secara detail. Pemahaman ini dikembangkan melalui penyiapan penata awal (advance organizer), yaitu suatu cakupan rumusan yang memungkinkan siswa mengetahui informasi apa yang penting sebelum pembelajaran dimulai.
Menumbuhkan hasrat ingin tahu siswa dan merangsang perhatian dan hasrat belajar siswa secara berkelanjutan.
Menyadarkan siswa akan apa yang diharapkan guru dan siswa dalam atau selama pembahasan topik tersebut, di samping menyampaikan tujuan pembelajran.

b. Rancangan untuk kegiatan intipembelajaran
Banyak ragam konsep dan pemikiran tentang bagaimana proses dan kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Ada yang melihat sebagai suatu “Siklus Pelajaran” yang mengorganisasikan kegiatan mengajar ke dalam aspek-aspek rangkaian arah kegiatan guru (Hunter, :1984). Ada yang merumuskan ke dalam langkah-langkah terstrktur misalnya Posenshine dan Stevens (1986). Ada pula yang menekankan kepada model (Joyce dan Weil, 1986) yang tidak sependapat dengan adanya langka.h-langkah sistematis dan standar di dalam poses pembelajaran.
Ini berarti bahwa banyak ragam rancangan yang dilaksanakan dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan yang beraneka ragam pula. Walaupun demikien kegiatan pembelajaran dikehendaki mampu menumbuhkan dan niengembangkan hal-hal benikut mi.
1) Mengantarkan siswa kepada informasi atau keterampilan baru.
Mendorong siswa untuk mengkaji ulang atau menafsirkan ulang informasi atau keterampilan yang sudah dipelajari sebelumnya.
Memungkinkan siswa mampu melihat kekurangan pada proses belajar sebelumnya dan mengisi kekurangan itu.
Mendorong siswa untuk mengembangkan atau mmperkuat prosesproses fisik, kognitif, sosial, maupun afektif.
Mendorong siswa untuk menghasilkan, mengorganisasikan dan menyatakan informasi baru itu dalam cara-cara yang kreatif.
Mendorong siswa untuk memperkii-akan dan memilcirkan gagasan yang belum dikembangkan serta masalah yang belum terpecahkan.
Tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan menjadi pandahuluan bagi Anda dalam memikirkan keseluruhan proses pembelajaran, memutuskan basil yang paling penting yang harus dicapai, mengaitkan tujuan pembelajaran dengan tujuan kürikulum. Kegiatan pembelajaran adalah tugas-tugas akademik yang mendorong siswa berunjuk kerja ke ahali pencapaian tujuan pembelajaran yang dikehendaki. Kegiatan adalah apa yang dilakukan siswa, bukan apa yang dilakukan guru, sebab belajar bergantung kepada apa yang ada dalam pikiran siswa. Guru dapat memberikan kuliah yang cemerlang, melaku.kan simulasi dan demonstrasi, tetapi jika kegiatan guru itu tidak di persepsi siswa sebagai sesuatu yang bermakna, maka sesunggubnya tidak terjadi proses belajar.
Sebagai contoh, jika Anda akan mengajarkan suatu konsep ilmiah tentang “rotasi” kepada siswa Anda, Anda dapat merumuskan untuk menugaskan siswa mencari sepuluh definisi dan penjelasan, membaca definisi rotasi, melakukan gerakan fisik yang menunjukkan rotasi, rnengárnati sesuatu objek yang dirotasikan dan sebagaitya. Dalam semua kemungkinan tersebut kegiatan siswa menjadi hal yang utama,. walaupun Anda sebagai guru tetap memiliki tanggung jawab untuk bicara, nielengkapi dan menyiapkan kegiatan, menata, dan merancang observasi. Memusatkan kegiatan kepada apa yang dilakulcan akan membuat mereka lebih mudah dalam memahami apa yang Anda harapkan dan membuat Anda lebih mudah dalam memonitor respons siswa terhadap pembelajaran yang Anda lakukan.
Cara monitoring yang paling banyakdigunakan ialah bertanya kepada siswa tentang isi dan kegiatan. pembelajaran. Jika Anda menggunakan cara ajukan pertanyaan kepada kelas tetapitentukan siswa mana yang harus menjawab pertanyaan dan sebaiknva tidak menunggu siswa yang sukarela.
Cara ini akan membantu Anda mengetahui siapa-siapa yang memerlukan pembelajaran lebih lanjut. Cara mi juga akan memungkinkan siswa lain melakukan penilaian din terutama bagi siswa yang tidak yakin akan jawabannya.
Strategi monitoring lain yang digunakan ialah mengajukan pertanyaan kepada kelas, dan seluruh siswa memberikan jawaban secara tertulis. Cara lain yang bisa digunakain ialah mengobservasi kegiatan siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Cara ini biasanya menghendaki siswa untuk belajar sendiri atara bersama-sama.
Cara observasi maupun bertanya memungkinkan guru memandu siswa kembali mempelajari tugas sebelumnya jika dipandang perlu, menjawab pertanyaan pada saat mengelilingi kelas, mengidentifikasikan siswa yang mengalami hambatan, memberikan bantuan kepada siswa baik dengan cara rnerujuknya kepada siswa lain maupun Anda lakukan sendiri.
c. Kegiatan penutup
Pada kegiatan penutup, guru membimbing siswa untuk merumuskan ikhtisar yang bertjuan untuk:
1) mengkaji ulang butir-butir penting dan isi dan kegiatan pembelajaran;
memungkinkan siswa merefleksikan pembelajaran dan menggambarkan kumpulan dan pengalaman pembelajaran; serta
memberikan gambaran tentang pembelajaran yang akan datang.

Contoh berikut menggambarkan ikhtisar pembelajaran yang mencakup ketiga tujuan tersebut.
Guru : Indra, dapatkah kamu menyebutkan kembali tiga bagian tubuh serangga yang dibicarakan hari ini?
Indra : Kepala, toraks, dan abdomen
Guru : Dan apa yang kita bicarakan hari mi apa perbedaan utama serangga dengan manusia?
Yuiia : Manusia lebih besar
Anton : Manusia tidak mempunyai sayap
Sari : Manusia memiliki jari dan kaki
Guru : Sekiranya serangga tidak memiliki jari dan kaki bagaimana mereka membangun rumab?
Anda : Apakah serangga membangun rumah?
Guru : Baiklah, dalam pelajaran besok akan kita pelajari di mana serangga hidup dan bagaimana serangga membuat tempat inggal. Di rumah kalian boleh tanya kepada siapa saja yang tahu tentang bagaimana serangga membuat tempat tinggal.
4. Perencanaan Evaluasi
Salah sata komponen penting dan keseluruhan perencanaan pembelajaran adalah perencanaan untuk mengetahui apakah setelah kurun waktu tertentu siswa Anda memperoleh kemajuan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan atau apakah siswa Anda siap mencapai tujuan yang lebih kompleks. Tujuan-tujuan yang sudah dirumuskan baik tujuan keperilakuan pemecahan masalah, maupun tujuan ekspresif menjadi landasan untuk mengetahui dan mengukur tingkat pencapaian tujuan dan kemajuan siswa. Semua kegiatan evaluasi ini disebut evaluasi sumatif yaitu evaluasi yang merangkum seluruh hasil belajar siswa pada jangka waktu tertentu.
Evaluasi lain yang perlu dirancang adalah evaluasi formatif Evaluasi ini maksudkan untuk melihat kemajuan siswa pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung. Kegiatan monitoring yang dilakukan selama kegiatan pembeiaiaran seperti yang didiskusikan di atas merupakan contoh evaluasi yang terjadi selama siswa belajar dan memberikan latihan kepada siswa tentang bagaimana dia tumbuh dan berubah ke arah perbaikan.
Evaluasi formatif maupun sumatif harus dirancang secara konsisten dengan tujuan yang sudah ditetapkan. Sebagai contoh, jika Anda merancang tugas pembelajaran menulis kreatif tentang keadaan sekitar maka tujuan yang paling melekat dengan tugas itu adalah tujuan ekspresif. Anda tugaskan siswa pergi keluar kelas untuk mengganiati dan rnenuliskan keadaan tentang keadaan alam sekitar.
Pada malam harinya Anda membaca tulisan mereka, Jika Anda memutuskan untuk menulis kornentar yang dapat mendorong siswa untuk mengelaborasi frase, meuggunakan kata-kata yang lebib deskriptif, atau memberikan mereka frase-frase lain yang lebih tepat, maka Anda bertindak konsisten dengan tujuan yang Anda tetapkan. Tetapi jika yang Anda lakukan adalah mengoreksi tata babasa dan ejaan, dan kemudia memberi nilai atau angka atas dasarjumlah ejaan dan tata bahasa yang patut dipertanyakan apakah cara seperti itu akan mendorong siswa untuk mengekspresikan perasaan dan kehendaknya pada kegiatan menulis berikutnya?

C. RANCANGAN UNIT PEMBELAJALRAN
Misalkan Anda guru kelas lima dan akan mengajarkan kesusastraan Indonesia dengan tema roman. Anda tentu mempunyai banyak topik yang diajarkan dan dikuasai oleh siswa. Tentunya siswa tidak mungkin rnenguasai seluruli tujuan yang berkaitan dengan topik-topik itu dalam satu jika Anda tidak merancang dengan cermat satuan-satuan pelajaran, unit menjadi bacaan dan tulisan yang kurang bermakna. Dalam kaitan dengan rancangan pembelajaran. Anda perlu rnembedakan tujuan unit dan tujuan satuan pelajaran. Tujuan unit akan mencakup beberapa minggu kegiatan dan satuan pelajaran sebelun siswa dapat menguasai keseluruhannya. Satuan-satuan pelajaran akan terbangun dalam suatu kesatuan yang tertata ke dalarn suatu unit yang kohesif.
Setelah satuan-satuan pelajaran itu ditata, hal penting yang perlu dicek ulang ialah konsistensi antara tujuan, kegiatan dan evaluasi. Panting juga untuk dilakukan pengecekan konsistensi silang antarsatuan pelajaran untuk meyakinkaa bahwa satuan-satuan pelajaran yang sudah dirancang itu rnemungkinkan siswa meneapai tujuan unit.







KEGIATAN BELAJAR 3

PERAN GURU DALAM PELAKSANAAN
PEMBELAJARAN DAN MANAJEMEN KELAS

A. MENGAPA PERLU MANAJEMEN KELAS?

Proses pembelajar adalah proses membantu siswa belajar, yang ditandai dengan perubahan perilaku baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Seorang guru hanya dapat dikatakan telah melakukan kegiatan pembelajaran terjadi perubahan perilaku pada dan peserta didik sebagai akibat dan kegiatan tersebut. Ada hubungan fungsional antara perbuatan guru mengaiar dengan perubahan perilaku peserta didik. Artinya, proses pembelajaran itu memberikan dampak kepada perkembangan pesena didik.
Pikiran itu mengandung arti bahwa dampak itu terjadi karena ada proses interaksi antara guru dan peserta didik, antarapeserta didik dengan peserta didik, antara peserta didik dengan iklim atau suasana belajar yang kembagkan. Setiap kegiatan pembelaiaran bertolak dan dan terarah kepada pencapaian tujuan Di sini, upaya sistematis yang berkaitan dengan pengembagan lingküngan belajar diciptakan agar tujuan pembelajalan tercapai. Ketercapaian tujuan pembelajaran dapat dikatakan sebagai dampak dan proses penibelalaran.
Dampak pembelajaran dapat dibedakan ke dalam dampak langsung atau dampak instruksionial dan dampak tak langsung atau dampak pengiring. Dampak langsung adalah dampak yang ditirnbulkan oleh kegiatan pembelajaran yang telah diprogramkan semula, sedangkan dämpak penginiug muncul sebagai pengaruh darn atau terjadi pengalaman dan lingkungan belajar. Proses penibelaiaran yang mengutamakan disiplin akademik tinggi dapat menimbulkan dampak pengining berupa tunibuhnya sikäp ilmiah yang positif, tetapi mungkin pula tumbuh sikap aroganis (keangkuhan) intelektual. Dampak pengiring adalah sesuatu yang bisa terjadi ke arah positif maupun negatif. Dalam suatu kegiatan pembelaiaran bisa terjadi lebih dan satu dampak pengiring.
Dampak pengiring bisa berwujud dalam bentuk pemahaman apresiasi, sikap, motivasi, kesadaran, keterampilan sosial, dan perilaku sejenis lainnya.
Dampak pengiring pada suatu proses pernbelajaran bisa menjadi dampak instruksional dan proses pembelajaran yang lain. Oleh karena itu, dalam wujud perilaku individu dampak instmksional dan dampak pengiring akan menjadi satu keterpaduan. Kondisi ini merupakan gambaran perilaku efektif dari proses perkembangan peserta didik.
Tampak jelas bahwa. pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang tidak semata-niata memberikan dampak instruksional tetapi juga membenkan dampak pengiring positif. Proses pembelajaran akan selalu berlangsung dalam suatu adegan, di sekolah jelasnya adalah adegan kelas. Adegan itu perlu diciptakan dan dikembangkan menjadi wahana bagi keberlangsungan proses pembelajaran yang efektif. Hal ini berarti diperlukan manajemen tersendiri untuk mengembangkan dan memelihara adegan itu, dan manajemen yang dimaksud adalah manajemen kelas.
Tarnpaknya tidak ada aspek yang dibicarakan sesering manajemen kelas, dan menjadi kepedulian calon guru, guru pemula, atau guru berpengalaman. Alasannya cukup sederhana, ialah bahwa manajemen kelas merupakn perangkat perilaku yang kompleks di mana guru menggunakannya untuk mengembangkan dan memelihara kondisi kelas yang memungkinkan peserta didik mcncapai tujuan pembelajaran secara efisien. Dengan kata lain, manajemen kelas yang efektif menjadi prasyarat utama bagi pembelajaran yang efektif. Manajemen kelas dapat dipandang sebagai tugas guru yang amat fundamental.

B. SEMBILAN PENDEKATAN

Tidak ada satu pendekatan pun yang dianggap sebagai pendekatan terbaik dalam manajemen kelas. Oleh karena itu, seorang guru memang perlu memahami berbagai pendekatan, yang secara ringkas akan dicoba didiskusikan di dalam uraian berikut ini. Walaupun mungkin terkesan terjadi penyederbanaan yang berlebihan, hasil kajian literatur menujukkan ada sembilan definisi, yang sekaligus menggambarkan pendekatan tentang manajemen kelas. Kesembilan pendekatan ini dibedakan karena memang setiap pendekatan menampilkan posisi filosofis dan wujud operasional dan manajemen kelas.
Pendekatan pertama ialah pendekatan otoriter. Pendekatan ini memandang bahwa manajemen kelas adalah proses mengendalikan perilaku peserta didik. Dalam posisi ini. peranan guru adalah mengembangkan dan memelihara aturan atau disiplin di dalam kelas. Tekanan utamanya terletak pada menjaga ketertiban dan memelibara kcndali melalui penanaman disiplin. Di dalam pendekatan ini disiplin adalah sama dengan manajemen kelas.
Terkait erat dengan pendekatan otoriter. pendekatan kedua disebut pendekatan intimidasi. Pendekatan ini juga memandang manajemen kelas .sebagai proses mengendalikan perilaku peserta didik. Lain halnya dengan pendekatan otoriter, pendekatan intimidasi tampak lebih dilandasi oleh asumsi babwa perilaku peserta didik paling baik dikendalikan oleh perilaku guru. Perilaku guru yang dimaksud seperti menyalahkan, mengancam. memaksa dan menolak. Peran guru adalah mengiring peserta didik berperilaku sesuai dengan keinginan guru sehingga mereka merasa takut untuk melanggamya.
Pandangan ketiga, yang bertentangun langsung dengan pendekatan intimidatif, ialah pendekatan permisf. Esensi pendekatan terletak pada peran guru memaksimalkan kebebasan peserta didik, membantu peserta didik nerasa bebas melakukan apa yang mereka mau. Jika hal itu tidak dilakukan maka yang terjadi adalah proses menghambat perkembangan peserta didik.
Tidak seperti pendekatan sebelumnya, pendekatan keempat ini disebut pendekatan buku masak. Pendekatan ini tidak didasarkan atas konsep teoretis atau landasan psikologis tertentu. Pendekatan ini merupakan kombinasi dan berbagai pandangan, merupakan himpunan “resep” bagi guru. Pendekatan ini diajikan dalam bentuk daftar tentang apa yang hendaknya dilakukan dan tidak dilakukan guru di dalam bereaksi atas berhagai situasi bermasalab. Pendekatan ini disebut pendekatan büku masak karena berisi rakitan daftar tahapan yang harus dilakukan guru, peran guru adalah mengikuti resep untuk.
Pendekatan manajemen kelas yang kelima didasarkan kepada suatu keyakinan bahwa perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang cermat (careful) akan mencegah muncul perilaku bermasalah Pendekatan ini menekankan bahwa perilaku guru dalam pembelajaran ialah mencegah atau menghentikan periaku peserta didik yang tdak tepat. Peran guru ialah merencanakan dan melaksanakan pembelajaran dengan baik, yaitu pembelajaran yang sesuai dengan kehutuhan dan minat peserta didik, dan yang memotivasi peserta didik. Pendekatan kelirna ini disehut pendekatan intruksional.
Peridekatan keenam ialah pendekatan modifikasi perilaku. Pendekatan ini memandang manajemen kelas scbagai proses ncmodfikasi perilaku peserta didik. Peran guru adalah mempercepat tercapainya perilaku yang dikehendaki dan mengurangi atau menekan perilaku yang tidak dikehendaki. Dengan kata lain, guru membanti peserta didik mempelajari perilaku yang tepat dengan menggunakan prinsip-prinsip pengkondisian dan penguatan.
Pendekatan ketujuh memandang manajemen kelas sebagai proses menciptakan iklim. sasio-emosional yang positif di dalam kelas. Asumsi dan pendekatan ini ialah bahwa belajar dapat dimaksimalkan di dalam iklim kelas yang positif, dan iklim semacam ini muncul dan hubungan antar pribadi yang positif antara guru peserta didik maupun antara peserta didik peserta didik. Oleh karena itu,:peran guru adalah mengembangkan iklim sosio-emosional kelas yang positif melalui pengembangan hubungan antarpribadi yang sehat. Dalam pendekatan ini juga terkandung peranguru sebagai seorang fasilitator dan motivator bagi peserta didik untuk lebih berkembang dengan optimal.
Pendekatan yang kedelapan meneinpatkan kelas sebagai suatu sistem sosial di mana proses kelompok dalam sistem tersebut menjadi hal penting yang paling utama. Asumsi dasarnya ialah bahwa pembelajaran itu terjadi di dalam kelompok. Oleh karena itu, hakikat dan perilaku kelompok kelas dipandang sebagai faktor yang memiliki pengaruh berarti (signifikan) terhadap belajar, bahkan dalam proses belajar individual sekalipun. Peran guru iaiah mempertcepat perkembangan dan terwujudnya kelompok kelas yang efektif.
Kedelapan posisi yang dikemukakan di atas menggarnbarkan perbedaan dan delapan pcndekatan manajemen kelas, dengan masing-masing keyakinan, akan tetapi tidak ada satu pendekatan pun yang teruji paling baik. Oleh karena itu, Anda sebagai guru didorong untuk menyerap pendekatan-pendekatan tersebut dan tidak hanya bertolak dan satu pendekatan. Anda didorong untuk melihat adanya kejamakan definisi tentang manajemen kelas.
Pendekatan kesembilan bertolak dan kejamakan defmisi. Defmisi jamak akan memperluas ragam pendekatan dan mana kita akan memilih strategi untuk menciptakan dan memelihara kondisi kelas yang mendukung terjadinya pembelajaran yang efektif. Pendekatan jamak atau pendekatan pluralistik (James M. Cooper, ed., 1990) ini tidak mengikat guru kepada strategi manajerial tinggal, melainkan memberi peluang kepada guru untuk mempertimbangkan seluruh strategi yang dapat dan tepat dilakukan.
Definisi manajemen kelas yang marefleksikan kejamakan pendekatan itu kiranya dapat dirumuskan sebagai perangkat kegiatan di mana mengembangkan dan memelihara kondisi kelas yang dapat mendorng terjadinya pembelajaran yang efektif dan efisien. Brophy dan Putnan (Good Ian Brophy, 1990) menyebutnya sebagai pendekatan optimal. yaitu sebagai peroses pengembangan lingkungan belajar yang dikehendaki dan menekankan sekecil mungkin pembatasan-pembatasan.
Jika disimak ulang apa yang diuraikan di atas, dapat diangkat fungsi-fungsi pokok manajemen kelas sebagai berikut:
1. fungsi preventif, mencegah munculnya perilaku bermasalah;
fungsi kuratif, menyembubkan perilaku bermasalah;
fungsi pemeliharaan, memelihara kondisi yang positif
fungsi pengembangan, mengembangkan kondisi yang kondusif
fungsi fasilitator, memfasilitasi kebutuban-kebutuhan untuk berkembang;
fungsi motivator, memberikan dorongan untuk berprestasi dan berkembang.
Fungsi-fungsi ini amat sejalan dengan fungsi bimbingan dan konseling yang akan dibahas pada bagian tersendiri.

C. PEMBELAJARAN DAN MANAJEMEN
Dilihat dan kacamata tugas guru, pembelajaran akan menyangkut dua rangkat kegiatan yaitu: mengajar dan manajemen. Kegiatan mengajar dimaksudkan untuk membantu peserta didik mencapai tujuan-tujuan pcndidikan. Mendiagnosis kebutuban peserta didik, perenoanaan pengajaran, penyajian inforrnasi, mengajukan pertanyaan, dan menilai kemaluan peserta didik adalah berbagai contoh kegiatan mengajar. Sedangkan kegiatan manajerial dimaksudkan untuk menciptakan dan memelihara kondisi yang memungkinkan pembelajaran berlangsung dengan efektif dan efisieri. Pemberiari hukuman dan ganjaran, pengembangan rapport (hubungan akrab) antara guru dan peserta didik, pengembanigan norma kelompok yang produktif merupakan contoh berbagai kegiatan manajerial.
Kedua hal tersebut, yaitu kegiatan mengajar dan manajerial, di dalam praktek sering kali sulit ditarik garis pemisah yang tegas. Akan tetapi seorang guru perlu paham mana persoalan mengajar dan mana persoalan manajerial. Sebagai contoh, perencanaan pengajaran yang baik dan cukup menarik tidak akan dapat memecahkan masalah anak yang menarik diri sebab perilaku menarik diri bisa disebabkan oleh penolakan kawan sekelas anak itu terhadap dirinya. Perencanaan pengajaran adalah persoalan mengajar, sedangkan perilaku penolakan dan menarik diri adalah persoalan manajemen kelas dan menghendaki pemecahan manajerial.
Jika demikian halnya. tampak bahwa manajemen kelas adalah prasyarat dan sekaligus menjadi aspek penting bagi terjadinya proses pembelajaran yang efektif. Berbagai basil penelitian menunjukkan ada hubungan positif antara perilaku manajemen kelas yang dilakukan guru dengan penilaku yang diharapkan dan peserta didik (James M. Cooper, ed. 1990). Beberapa contoh dalam hal apa strategi manajemen kelas yang efektif untuk mengembangkan perilaku peserta didik ialah: (1) strategi otoriter efektif untuk rnengikuti perilaku yang keliru, (2) sategi modifikasi perilaku efektif untuk meningkatkan perilaku yang tepat, (3) srategi iklim sosio-emosional efektif untuk mempercepat hubungan antarpribadi yang positif, dan (4) strategi proses kelompok efektif untuk menumbuhkan noma kelompok kelas.


1. Faktor Keragaman dan Perkembangan di dalam Manajemen Kelas

Keragaman individual dan kelompok di antara peserta didik membawa implikasi terhadap manajemen kelas. Keragaman usia, jender (gender yaitu identitas jenis), etnik kecakapan, dan kesiapan belajar adalah faktor-faktor yang harus dipertimbangkan di dalam manajemen kelas. Sebagai contoh. kemampuan identitas jenis yang tampak pada anak sekolah dasar ialah aktivitas fisik. Anak laki-laki, secara fink, lebih aktif daripada anak perempuan. Implikasi dan kondisi itu ialah hahwa di dalam manajemen kelas sulit dilakukan pembatasan-pembatasan yang ketat bagi aktivitas fisik anak. Penataan kelas yang kaku akan menghambat aktivitas fisik anak dan dapat menjadikan dia frustasi.
Ilustrasi di atas tidak mengandung anti bahwa pembatasan harus ditiadakan, akan tetapi tentu perlu dilakukan penyesuaian. Dalam hal mi guru hendaknya memikirkan dan mencermati: (1) apakab model pembelajaran yang digunakan cocok bagi peserta didik? (2) pembatasan-pembatasan fisik apa yang benar-benar dipeniukar? (3) adakab ragain cam yang bisa ditenipuh untuk rnencapai tujuai, sehingga peserta didik dapat menggunakan berbagai cara yang lebih disukai dan cocok dengan dirinya? Artinya, guru perlu melakukan penyesuaian terhadap kondisi peserta didik. Seorang anak yang menunjukkan dorongan aktivitas fisik yang tinggi perlu diberi peluang di dalam cara-cara yang tidak menimbulkan pertentangan atau konflik dengan tujuan penhelajaran.
Keragaman yang diuraikan di atas terkait erat dengan perkembangan peserta didik. Dalam Kegiatan Belajar 1 telah dibahas berbagai hal tentang perkembang peserta didik, baik perkeinbangan fisik, kognitif, pribadi maupun sosial. Semua aspek perkembangan ini berpengaruh terhadap peran guru dan teknik-teknik manajemen kelas.
Karena sifat dan karakteristik perkembangan peserta didik, kelas-kelas di tingkat sekolah dasar, dapat digolongkan ke dalam kelas awal/rendah (kelas 1-3) dan kelas tinggi (kelas 4-6). Balikan Brophy dan Evertson (Good dan Brophy, 1990) membedakannya ke dalam kelas-kelas awal, tengah, dan tinggi. Penggolongan kelas seperti ini membawa implikasi terhadap peran guru dan teknik manajemen kelas.
Lebih jauh di gambarkan oleh Brophy dan Evertson bagaiinana guru berperan dalam setiap golongan kelas yang dimaksud, seperti berikut ini:
a. Pada tingkat taman kanak-kanak dan kelas awal. Pada tingkat ini anak disosialisasikan ke dalam peran serta didik dan diajari keterampilan dasar. Orang dewasa, jelasnya guru, masib lebih banyak tampil sebagai figur otoritas yang mengajarkari, apa yang harus dan yang tidak boleb dilakukan. Anak Iebih banyak mçmerlukan arahan, dorongan, bantuan, dan perhatian dari guru. Perilaku menyenangkan guru masih tampak dominan pada tingkat ini. Pada saat ini masalah atau gangguan serius belum tampak. Konsekuensinya, fungsi utama guru sebagai pengajar dan pengsosialisasi anak yang mengajar anak tentang apa yang harus dilakukan, daripada membawa anak menyetujui atau menyepakati aturan-aturan yang dikena1nya. Pada tingkat kelas ini, aspek pengajaran dan sosialisasi nienjadi aspek fundamental dan manajemen kelas.
Pada tingkat kelas tengah. Tingkat ini berawal ketika sosialisasi terhadap peran peserta didik dilakukan dan terus dilanjutkan pada tingkat berikutnya. Pada tingkat ini anak sudah lebih mengenal aturan rutin sekolah dan dia relatif menyepekatinya. Jadwal kehadiran di sekolah, tata cara berpakaian merupakan aturan rutin yang dikenal dan “disepakati” anak. Gangguan serius mulai sering muncul, walaupun bukan sebagai hal yang umum. Dalam kondisi ini memelihara lingkungan belajar yang tepat merupakan aspek sentral dan manajemen kelas bagi keberhasilan pembelajaran.
Pada tingkat kelas tinggi. Pada tingkat ini anak mengalihkan orientasi dan menyenangkan guru kepada menyenangkan kelompok sebaya. Guru mulai disesalkan jika bertindak sebagai figur otoritas. Beberapa anak mulai menimbulkan gangguan dan sulit dikendalikan daripada sebelumya. Keadaan ini menjadi unsur penting dari peran guru lain halnya dengan tingkat awal, pada tingkat ini guru lebih berperan dalam memotivasi peserta didik untuk berperilaku sebagaimana seharusnya mereka berbuat dan bukan mengajari mereka bagaimana melakukan itu.
Pada tingkat lanjutan. Pada tingkat ini guru harus memperhatikan anak sebagai individu, artinya guru harus memperhatikan benar siswa dan segi minat, kepribadian, kemampuan. sifat, kebutuhan, masalah, agar pembelajaran dapat terjadi secara optimal Selain ini juga perlu memperhatikan faktor psikologi anak yang mencakup masa peralihan dari anak ke remaja (pubertas) dan dan remaja ke dewasa.

Uraian di atas menunjukkan betapa aspek dalam manajemen kelas harus dipertimbangkan dalam mengambil keputusan-keputusan dalam pembelajaran dalam setiap tingkatan kelas.

2. Tahap-tahap Proses Manajemen Kelas
Di depan telah dikemukakan bahwa pendekatan jamak memandang manajemen kelas sebagai suatu proses, sebagai perangkat kegiatan, di mana guru mengembangkan dan memelihara kondisi untuk terjadinya pembelajaran yang efektif dan efisien. Di dalam pendekatan jamak ini ada empat langkah yang mesti di tempuh guru untuk melaksanakan manajemen kelas (James and Cooper, ed, 1990). Keempat langkah tersebut ialah:
(1) merumuskan kondisi kelas yang dikehendaki, (2) menganalisis kondisi kelas yang ada pada saat ini, (3) memilih dan menggunakan startegi manajerial, serta (4) menilai efektivitas manajerial.

3. Merumuskan spesifikasi Kondisi Kelas yang Dikehendaki
Manaemen kelas adalah proses yang bertujuan, yaitu guru menggunakan brbagai strategi manajerial untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan dan diidentifikasikasi dengan baik. Oleh karena itu, tahap pertama yang harus dilakukan guru ialah merumuskan spesifikasi kondisi kelas yang dikehendaki, sebagai suatu kondisi ideal. Untuk itu seorang guru perlu memiliki konsep yang jelas tentang kondisi. kelas yang diyakininya sebagai kondisi untuk terjadmya pembelajaran yang efektif kondisi yang dimaksud bukanlah kondisi yang beilaku universa1 sepanjang waktu dan dalam berbagai adegan, melainkan kondisi yang harus diuji dan diperbaiki.
Secara konkret kondisi kelas yang dikehendaki dapat dirumuskan dalam bentuk rurnusan perilaku peserta didik yang diharapkan terjadi pada saat proses pernbelajaran. Sebagai contoh apakah perilaku berikut diharapkan terjadi pada peserta didik?
1. Siswa menarnpillcan perilaku berorientasi tugas.
Siswa memahami harapan guru dan berperilaku sesuai dengan harapan kita.
Siswa menampilkan penilaku belajan yang.produktif.
Siswa mengikuti aturan yang ditetapkan.
Siswa berkomunikasiterbuka danjujur, dansebagainya.

Harapan guru terbadap peserta didik sekaligus merupakan peran peserta didik itu. Good danBrophy (1990) merumuskan peran peserta didik .ini ke dalam tiga peran. pokok,::yáitu: (I) penguasaan keterampilan .dasar, (2) pengembangan minat terhadap pengetabuan tentang topik-topik yang turkandung dalam kurikulum, dan (3) partisipasi sehagai anggota kelompok.

4. Menganalisis Kondisi Kelas Aktual
Kondisi kelas aktual adalah kondisi pada saat ini. Analisis kondisi kelas pada saat ini penting di1akukan untuk dibandingkan dengan kondisi ideal yang telah dirumuskan pada tahap satu Analisis semacam ini akan membantu guru untuk mengidentifikasi hal-hal berikut ini.
a. Kesenjangan antara kondisi nyata dangan kondisi ideal, dan menetapkan hal-hal yang segera memerlukan perhatian.
Masalah-masalah potensial yang bisa muncul sekiranya guru tidak behasil mencegahnya.
Kondisi nyta yang perlu dipelihara, ditingkatkan, dan dipertahahkan karena merupakan kondisi yang dikehendaki.
Kegiatan operasionainpada tahap kedua ini ialah merumuskan masalah manajenial dan. masalah pengajaran. Cermatilah ilustrasi berikut agar Anda memahami benar kegiatan ini.
Contoh:
Ilustrasi 1
Ramli seorang siswa kelas enam menunjukkan unjuk kerja akademik rendah. Kemampuan belajarnya kira-kira sama dengan kelas empat. Pak Ato, guru Ramli menggambarkan dia sebagai anak “paling jelek” di kelasnya karena terus-menerus berperilaku tidak sesuai, menolak mengerjakan pekerjaan rumah, dan sering mengganggu temannya di kelas.

Diskusi
Sekalipun selintas tarnpak sebagai masalah manajerial, namun masalah yang dihadapi Ramli lebih merupakan masalali pengajaran. Kemampuan akademik Ramli yang rendah menjadikan dia frustasi dan frustasi yang dialaminya itu menimbulkan perilaku salah suai. Mengharapkan Ramli mampu menampilkan kualitas kerja yang sama dengan temannya adalah hal yang tidak realistik. Yang perlu dilakukan ialah guru memperbaiki pengajaran yang sesuai dengan tingkat kecakapan dan prestasi Ramli slingga dia mcmperoeh kesempatan sukses. Kesempatan sukses ini kiranya dapat mengurangi kebutuhan Ramli untuk menampilkan perilaku salah suai.
ilustrasi 2
Walaupun Suci sudah delapan minggu memasuki sekolah baru, namun dia tetap masih berstatus sebagai “siswa baru”. Din masih belum dapat diterima sepenuhnya oleh teman sekelasnya di kelas empat. Dia tampak malu dan menghindar. Bu Dian, guru Suci mencoba melakukan upaya untuk mengungkap permasalahan Suci. Dia (Bu Dian) membentuk kelompok kecil untuk mengerjakan proyek bidang studi IPS. Dan Suci ditempatkan di dalam kelompok tersebut bersama tiga siswa wanita temannya.
Diskusi
Iustrasi di atas menggambarkan masalah manajerial. Jika Suci datang dengan partisipasi penuh, sebagai anggota yang aktif, gurunya tentu harus membantu dia mempersepsi kelompok sebagai kelompok yang atraktif dan menerima anggotanya. Kegiatan pengajaran tertentu, seperti dilakukan Bu Dian, dapat membantu mempermudah proses, akan tetapi esensi masalahnya terletak pada masalab manajerial. Tujuan manajerial yang dapat diangkat dan kasus ini mencakup: (1) siswa menuniukkan huburigan antarpribadi yang positif, (2) siswa menampilkan kekohesian kelompok, dan (3) siswa tampil sebagai anggota kelompok kelas.
Memilih dan Menggunakan Strategi Manajerial
Setelah mengidentifikasi kesenjangan kondisi aktual dengan kondisi deal, yang dirumuskafl di dalam masalah manajerial, langkah berikut adalah nemilih dan menggunakan strategi yang akan dilakukan untuk menjembatani kusenjangan tersebut atau memecahkan masalah, mencegah timbulnya masalah, dan memelihara kondisi positif yang telab terjadi.
Guru dapat mernilih lebih dan satu pendekatan manajerial di dalam mengembangkan kondisi kelas yang mendukung proses pembelajaran yang efktif.

Menilai Efektivitas Manajerial
Pada tahap keempat ini guru menilai upayanya sendiri. Sampai di mana upaya yang dilakukan itu dalam mengembangkafl dan memelihara kondisi yang dikehendaki, serta sampai di mana upaya itu dapal mempersempit kesenjangan antara kondisi aktual dengan kondisi ideal. Penilaian ini difokuskan kepada dua perangkat perilaku, yaitu perilaku guru dan perlaku peserta didik.
Dalam hal pertama guru menilai sampai di maria perilaku dan strategi manajerial yang digunakan dapat menumbuhkan kondisi yang dikehendaki. Dan dalam hal kedua, guru menilai sarnpai di mana para peserta didik berperilaku sesuai dengan cara-cara yang dikeheridaki. Untuk keperluan penilaian yang dimaksud, data dapat dikumpulkan dan tiga sumber, yaitu guru, peserta didik, dan pengamat luar.
Jika kedua fokus dan ketiga sumber penilaian itu dipasangkan akan dapat diidentifikasikan strategi penilaian efektivitas perilaku manajerial guru. seperti tampak dalam daftar berikut ini.


Sumber Data Perilaku Guru Perilaku Peserta Didik
Guru


Peserta


Pengamat Guru bertanya dan menilai peiilaku sendiri.

Peserta didik bertanya dan menilai perilaku guru

Pengamat bertanya dan
menilal perilaku guru Guru bertanya dan menilai perilaku peserta didik

Peserta didik bertanya dan
menilai perilaku sendiri

Pengamat bertanya dan menilai perilaku peserta didik

Tabel tadi menunjukkan ada sembilan strategi penilaian efektivitas perilaku manajerial. Untuk keperluan pelaksanaan peni1aian dengan menggunakan sirategi di atas perlu dikembangkan Iembar pengamatan tentang perilaku guru dan perilaku peserta didik. Berikut ini disajikan contoh lembar pengamatan, dan untuk selanjutnya dapat dikembangkan sendiri.

Lembar Pengamatan Perilaku Guru

1 Guru mendorong peserta didik berkomunikasi secara terbuka
2 Guru berbicara tentang situasi daripada berbicara tentang kepribadian peserta didik pada saat menangani masalah
3 Guru mengekspresikan perasaan dan sikap yang sebenarnya kepada peserta didik
4 Guru menyatakan harapannya secara jelas dan eksplisit kepada peserta didik
5 dan seterusnya



Lembar Pengamatan Pei-ilaku Pescita Didik

1 Peserta didik mempelajari mata peiajaran
2 Peserta didik bekerja sama dengan balk dalarn kelompok
3 Peserta didik merasa bebas mengekspresikan pikiran dan perasaan
4 Peserta didik memandang gurunya secara objaktif
5 dan seterusnya

4. Penataan Lingkungan Fisik Kelas
Manajemen kelas yang baik terarah kepada upaya pencegahan nunculnya perilaku bermasalah, dan penataan 1ingkingan fisik merupakan unsur penting dalam manajemen kelas. Penataan kelas akan mempengaruhi kcterlibatan dan partisipasi peserta didik, dan penataan secara fisik harus sejalan dengan tujuan pembelajaran. Wahana Iingkungan fisik akan nempengaruhi perilaku peserta didik baik secara 1axtgung maupun melalui perilaku guru, atau melalui tugas-tugas terstruktur diberikan guru kepada peserta didik.
Sebagai contoh, ketika peserta didik dinunta untuk curah gagasan, unjuk kerja mereka lebih baik dalam posisi duduk berlingkar daripada dalam posisi berbanjar. ini menunjukkan bahwa dalam posisi melingkar para peserta didik Iebih mudah berinteraksi dan guru lebih mudah memantau interaksi rnereka.
Dilihat dan sisi ukuran kelas, secara umum, keas kecil lebih mudah dike1o1a daripada kelas besar. Ada beberapa keuntungan bekerja dengan kelas kecil, yang berjumlah antara dua puluh sampai dua puluh lirna orang, yaitu peserta didik (1) lebih banyak dilibatkan di dalam proses kerja. (2) tidak terlalu lama menunggu bantuan guru jika mereka menghadapi masalah, 3) tidak banyak mengalami kevakuman karena tidak ada tugas atau latihan. Tidak ada pergantian kegiatan pembelajaran walaupun guru menghadapi kelas kecil. Yang ada hanyalah bahwa dia menghadapi peserta didik dalam jumlah yang lebib sedikit.
Ukuran kelas di Indonesia sangat beragam. Di kota-kota besar, ukuran biasa relatif besar, antara 30-40 orang, namun di kota-kota kecil dan pedesaan cenderung bcrukuran kecil. Seorang guru tentu tidak dapat langsung mendistribusikan perhatian kepada kelas secara menyeiuruh. Oleh karena itu, salah satu alternatif atau cara yang dapat diakukan, terutarna dalam kelas besar, membagi peserta didik ke dalam kelompok-kelompok
Pengelompokan peserta didik ke dalam kelompok kecil harus dilakukan dengan hati-hati. .Apakah keompok akan dibuat secara homogen atau heterogen. Kelompok homogen adalah kelompok yang terdiri atas peserta didik dengan kemarnpuan dan kebutuhan yang relatif sama. Sedangkan kelompok heterogen adalah kelompok yang terdiri atas peserta didik dengan kemampuan dan kebutuhan yang beragam. Kelompok homogen akan lebih mudah dikelola tetapi sulit memunculkan peran pengambil inisiatif di dalam kelompok. Kelompok heterogen memerlukan keragaman perlakuan tetapi mungkin dapat dimunculkan peran-peran pengambil inisiatif yang dapat meningkatkan dinamika dan produktivitas kelompok.
Pengelompokan peserta didik seperti itu akan bergantung kepada tujuan pembelajaran. Jika pembelajaran itu lebih terarah kepada upaya memberikan pcrlakuan khusus seperti remedial dan pengayaan, kelompok homogen mungkin akan lebih efektif. Akan tetapi jika pembelajaran itu dimaksudkan untuk mempelajari topik-topik tertentu, apalagi sekaligus ingin menyentuh perkemhangan, non -kognitif kelonipok heterogen mungkin aken lebih efektif.
Ada beberapa keuntungan baik bagi peserta didik maupun guru dengan bekerja daam keompok kecil, yaitu: (1) pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan khusus peserta didik dalam kelompok, (2) guru dapat memantau pekerjaan peserta didik secara langsurig dan memberikan balikan sesegera rnungkin, (3) peserta didik yang lamban dan pemalu akan lebih berani bertanya dalam kelempok kecil, (4) peserta didik akan lebih mampu bertahan menghadapi tugas dan berperilaku ajek karena mereka selalu tersentuh olch kendali guru, dan (5) peserta didik merasa lehih bertanggung jawab untuk menyelesaikan tugarnya di dalam kelompok kecil.
Dapat dikatakan bahwa pengelompokan peserta didik seperti ini tidak mengubah tugas guru, dan mengakhkan tanggung jawab kepada peserta didik. Tugas esensial guru tetap dilakukan, bahkan guru harus menjadi lebih toleran terhaclap keragarnan individual peserta didik serta menyiapkan sumber dan media pembelajaran yang dapat rnembantu efektivitas kegiatan kelompok.