Kamis, 23 Juni 2011

Pendidikan di Era Postmodern

Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.
Sejalan dengan itu, pendidikan pada hakekatnya adalah suatu proses manusia atau peserta didik secara sadar, manusiawi yang terus-menerus agar dapat hidup dan berkembang sebagai manusia yang sadar akan kemanusiannya. Demikian pula kesadaran serta kemampuan melaksanakan tugas dan fungsi kehidupan yang diembannya dengan penuh tanggung jawab.
Pendidikan Islam sebagai salah satu sub sistem pendidikan nasional dari sejak dulu secara telaten dan serius melalui lembaga pendidikan formal, non formal dan informal, telah membina dan mencetak sumber daya insani yang handal dan profesional dibidangnya masing-masing menjadi kader dan pemimpin bangsa. Bahwa kesadaran dan komitmen moral bangsa kita yang mayoritas beragama Islam cukup mendalam, memahami reaktualisasi pendidikan pada umumnya dan pendidikan Islam khususnya sebagai salah satuupaya yang optimal untuk memberdayakan dan meningkatkan taraf kualitas kehidupan mereka dalam berbagai aspek kehidupan pada satu sisi, serta pada sisi yang lain upaya dengan jalur pendidikan tersebut menjadi sarana bagi mereka untuk memberantas penyakit 4 K (kemiskinan, kemelaratan, kebodohan, dan ketakberdayaan) yang mereka alami selama ini. Dengan kata lain, bahwa melalui jalur pendidikan mereka akan terbebas dan tercerahkan dari berbagai macam belenggu kehidupan.
Memasuki abad XXI di millennium ketiga ini yang digambarkan oleh banyak ahli dan pakar untuk jauh ke depan diprediksi sebagai era postmodernisme yang inti pokok alur pemikirannya adalah menentang segala hal yang berbau kemutlakan dan baku, menolak dan menghindari suatu sistematika uraian atau pemecahan masalah yang sederhana dan sistematis, serta memanfaatkan nilai-nilai yang berasal dari berbagai aneka ragam sumber.
Terlepas dari suka ataukah tidak, sadar ataukah tidak, kita semua akan memasuki era dan kancah arus pemikiran spektakuler yang telah merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan manusia di bidang sosial, ekonomi, budaya, politik, dan lain-lain sebagai dampak dan pengaruh globalisasi. Sebagaimana halnya dengan globalisasi tersebut, arus pemikiran postmodernisme juga sekaligus membawa sisi-sisi positif dan negatifnya. Masalahnya sekarang adalah apakah umat Islam akan keciprat dan tenggelam dalam arus negatifnya, menjadi victim atau korban, ataukah sebaliknya akan menjadi pengendali dan pengambil manfaat yang sebesar-besarnya.
Demikian pula halnya dalam konteks term civil society yang mengandung makna sebuah masyarakat madani. Adalah sebuah lontaran pemikiran dari barat yang bersifat setali tiga uang, atau serupa tapi tak sama. Terlepas dari pro dan kontra, penulis tetap memakai ungkapan tersebut, ittiba’ kepada pakar muslim yang cenderung menyamakan makna civil society dengan masyarakat sipil atau masyarakat madani (masyarakat kota yang berperadaban) lawan dari masyarakat nomad dan badwi (masyarakat yang tetap, statis).
Permasalahan pendidikan dalam menggeluti postmodernisme adalah, bahwasanya peran dan tugas pendidikan dalam erapostmodernisme yang bersifat antisipasi, preventif-protectif, dan rehabilitasi terhadap masalah-masalah kompleks yang timbul dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang canggih, misalnya; pola budaya individualistis, hedonistis, konsumeristis, permissive (serba boleh) dan bahkan chauvinistis (menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan).
Di bidang sosial-kemasyarakatan, bermunculan masalah yang bersifat krusialdilematis, seperti semakin berkembangnya jurang pemisah yang semakin dalam antara yang kaya dengan yang miskin, antara kaum terdidik dan yang terbelakang yang bekerja secara profesional dengan kemampuan SDM yang tinggi dengan kelompok kerja, namun masih amatiran dan bahkan dalam jumlah yang besar masih berada dalam taraf pengangguran (unemployment).
Dalam masyarakat yang serba maju tersebut, seiring dengan dampak yang terjadi mengakibatkan banyak orang dan pihak lain tersisih dan terisolir dari pergaulan masyarakat luas, baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga berbagai bentuk kejahatan dan kriminalitas, pelanggaran undang-undang, peraturan serta norma etika agama akan terabaikan dan semakin merajalela. Ormas, parpol, LSM-LSM dan berbagai badan advokasi/pelayanan masyarakat lainnya yang bertugas dan berperan secara maksimal untuk meningkatkan kualitas serta memberdayakan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan tetap dihimbau dan didambakan agar semakin memantapkan peran dan fungsinya, niscaya kompleksitas permasalahan pendidikan menyongsong postmodernitas tersebut mampu direspon dan diselesaikan secara tuntas. Harapan-harapan tersebut ingin dicapai dengan pendidikan dalam menghadapi civil-society, yang pada gilirannya menunjukkan urgensinya pendidikan Islam.
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah, bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang dominan dan bahkan yang paling terdepan dalam rangka proses pembangunan suatu bangsa. Menjadi kunci utama atau titik perhatian utama bagi setiap komponen masyarakat yang berkompoten terhadap pendidikan tersebut. Untuk lebih proaktif melakukan langkah-langkah dan upaya strategis pendidikan di masa depan, baik melalui jalan formal, non-formal maupun in-formal.
Dengan melalui jalur pendidikan tersebut akan tercipta sumber daya manusia (SDM) yang kualifaid dan berwawasan luas, sehingga mereka mampu mengisi setiap lowongan pekerjaan yang tersedia sesuai dengan bidang atau jurusan mereka masin-gmasing. Dalam hal ini, tugas dan peranan pendidikan adalah amat sulit dan kompleks. Walaupun demikian, langkah-langkah tersebut harus ditunaikan dengan secara maksimal. Pada satu sisi, pendidikan harus mampu mempersiapkan sumber daya manusia seperti yang dikriteriakan di atas, yakni memiliki kualifikasi, berwawasan luas dan profesional di bidangnya masing-masing. Namun pada sisi yang lain, pendidikan juga harus mampu membenahi diri secara internal (ke dalam). Misalnya institusi kelembagaan, manajemen modern, kompetensi dan sebagainya.
Hal tersebut di atas, merupakan harapan-harapan yang ingin dicapai dengan pendidikan menghadapi civil society sebagai sebuah gambaran masyarakat yang memiliki tingkat peradaban dan kemajuan yang amat maju di segala bidang. Pada saat yang demikian itu pula, maka pendidikan Islam berada pada posisi terdepan dan amat strategis, yakni memberikan sumbangsih pendidikan yang bermuatan dan bernuansa etik, moral, mental-spritualitas keagamaan bagi bangsa kita. Oleh karena itu pula, maka menurut hemat penulis, penelitian ini amat urgen untuk dilakukan.

Pengembangan SDM Sedini Mungkin di Sekolah Dasar

UMUMNYA para pendidik telah mengenal bahwa fokus pengajaran murid-murid sekolah dasar adalah agar murid menguasai kemampuan dasar yang tercakup dalam rumus 3-R. yaitu Arismetik, reading dan writing. Atau dengan kata lain penguasaan dalam berhitung, membaca dan menulis.
Bagaimana penguasaan murid-murid atas kemampuan dasar ini, orang melihat sesuai dari kaca mata mereka masing-masing. Tidak sedikit orang, yang mengatakan bahwa kemampuan dasar murid dalam berhitung, membaca dan menulis telah mantap begitu mendengar bahwa di sekolah yang bersangkutan ada segelintir murid yang memperoleh NEM yang cukup baik.
Namun secara umum kalau kita perhatikan sertifikat NEM anak-anak Yang mendaftar ke tingkat SLTP banyak menunjukkan angka kemampuan berhitung, Kita sebut saja nilai matematika yang begitu jelek. Dapat kita perkirakan bahwa kemampuan mereka dalam membaca dan menulis juga jelek.
Untuk mencek kemampuan membaca murid pada tingkat SLTP dan SLTA dapat dicek lewat pemanfaatan buku-buku teks mereka. Ka1au kita mengunjungi perpustakaan sekolah tingkat SLTP dan SLTA maka akan kita jumpai tumpukan buku-buku teks yang lumayan banyaknya tanpa ada disentuh atau dimanfaatkan. Meskipun untuk menyediakannya pemerintah telah menghabiskan milyaran rupiah dari proyek penyediaan buku-buku. Begitu pula dengan buku-buku teks yang ada di dalam tas sekolah mereka, terlihat masih utuh sebagai tanda bahwa belum dimanfaatkan walau tidak semua murid yang bersikap demikian). Ini akibat kebiasaan murid yang. gemar menghafal catatan pelajaran mereka, ketimbang menganalisa buku-buku teks pelajaran mereka.
Pada akhir tahun di kelas tiga, tingkat SLTA, siswa musti menyelesaikan sebuah karya tulis sebagai syarat untuk dapat mengikuti EBTA dan EBTANAS. Tetapi mereka seolah-olah mencerminkan ketidakmampuan dalam menulis karya tulis. Dan memang kenyataannya mereka betul-betul banyak yang tidak mampu dalam menulis karya tulis yang begitu sederhana. Sehingga mereka terpaksa menempuh jalan curang, misalnya, dengan memalsukan karya tulis kakak kelas yang telah lulus pada tahun lain.
Dari sebuah dialog ringan dengan mahasiswa KKN tertangkap kesan tentang melemahnva semangat mahasiswa dalam peningkatan SDM. Pergi kuliah hanya asal-asalan saja. Banyak mereka yang enggan datang ke kampus dan suka menitipkan absen. Hari-hari mereka lewati dengan hura-hura. Kemudian pada musim tentamen mereka suka menggunakan jimat, catatan kecil, ala anak SMU atau mencari sopir ujian. Sebab sang dosen tidak mungkin dapat mengenali semua mahasiswanya karena itulah suatu stereotype, atau pandangan umum, bahwa hubungan dosen dan mahasiswa adalah "siapa lu dan siapa gua". Dengan kata lain hubungan mereka adalah sebatas membayar kewajiban saja, yang penuh dengan ketidakacuhan atau ketidakpedulian.
Banyak tudingan bahwa kebodohan murid di sekolah berawal dari kenakalan karena orang tua mereka ada yang "'broken" atau orang tua tidak peduli dengan pendidikan anak. Itu sangat benar. Tetapi ada pula malah orang tua begitu peduli dengan pendidikan anak, dan lingkungan sosial anak begitu sehat. Malah si anak kok begitu sudi mengungkapkan ingin untuk tarik diri dari dunia sekolah karena tidak dapat mengikuti pelajaran demi pelajaran. Kendala yang dialami oleh anak atau murid seperti ini disebabkan karena rendahnya kemampuan membaca mereka. Barangkali penyebabnya adalah karena di dalam keluarga mereka tidak dibiasakan budaya membaca. Buku-buku dan majalah adalah benda langka untuk dijumpai.
Bukan berarti orang tua mereka tergolong tidak mampu. Malah orang tua dapat memenuhi kebutuhan permainan elektronika mungkin karena bersaing dengan anak tetangga. Dan begitu pula orang tua mereka mampu membeli sarana hiburan yang serba mewah meski sebagai prestise dan menunjukkan kepada lingkungan, karena sebagian orang kita bermental suka pamer, bahwa mereka termasuk orang yang cukup "the have".
Dalam zaman global informasi dan komunikasi ini, masih cukup banyak orang tua yang berfikiran mundur. Mereka akan mengatakan. bahwa berlangganan majalah itu percuma sebab tidak akan mengenyangkan perut. "Bukankah uangnya lebih baik untuk dibelikan sama kue", demikian menurut orang tua yang bersikap "stomach oriented". Ada lagi orang tua yang mencela anaknya yang sudah mulai gemar membaca sebagai membuang-buang waktu. Image seperti ini diperoleh dari keluarga pedagang dan tentunya tidak semua pedagang yang begitu, dimana bagi mereka waktu adalah benar-benar uang.
Murid-murid yang melarikan diri dari sekolah bisa jadi karena kejenuhan di dalam kelas karena tidak menguasai pelajaran. Rasa jenuh dapat mendatangkan rasa benci pada pelajaran dan berakhir dengan perseteruan antara guru-guru.
Macetnya komunikasi guru-murid dalam kelas disebabkan kepasifan murid dengan sikap yang suka membisu dalam seribu bahasa. Banyak juga guru yang kesal, begitu ia serius dalam proses belajar mengajar dan bertanya untuk mendapatkan umpan balik. Dan ketika ditanya "apakah kamu sudah paham atau belum mengerti", dijawab oleh murid dengan wajah "no comment"
Kesulitan murid dalam memahami pelajaran dan kepasifan murid dalam berkomunikasi, secara lisan dan tulisan, adalah karena anak atau murid lemah dalam kemampuan membaca. Penyebabnya karena mereka tidak terlatih dengan budaya membaca sejak dini.
Membaca adalah satu bagian dari aspek berbahasa. Dan bahasa adalah sarana untuk mengekspresikan fikiran. Orang yang bahasanya teratur maka fikirannya juga teratur. Sebaliknya dalam bahasa yang macet terdapat pula kemacetan dalam berfikir. Dan rata-rata murid yang macet dalam berfikir. Dan inilah yang harus kita atasi secepatnya.
Syukurlah kalau dalam suatu kelas, terutama di Sekolah Dasar, cukup banyak anak yang berlangganan majalah. Tentu mereka mendapat kemudahan dalam memahami setiap pelajaran. Memang ada korelasi langsung antara anak yang gemar membaca dengan prestasi mereka dalam belajar. Dan idealnya memang setiap anak memang harus gemar membaca. Maka kita patut mengacungkan jempol bagi orang tua murid yang menyokong anak mereka di rumah agar selalu membaca apalagi menyediakan bagi anak mereka dana khusus agar anak mereka dapat berlangganan majalah anak-anak.
Tampaknya hanya segelintir saja orang tua yang mampu baru mendorong anak mereka untuk membudayakan membaca di rumah. Dan cukup terbatas pula jumlah orang tua yang punya kelebihan dan untuk berlangganan majalah anak-anak. Tampaknya masih ada usaha lain yang dapat diterapkan oleh guru-guru untuk mengembangkan kebiasaan anak dalam membaca yaitu pemanfaatan pustaka sekolah.
Pernah suatu ketika seorang guru sekolah dasar mengatakan bahwa murid-muridnya cukup mempunyai minat dalam membaca. Buktinya kalau ada buku bacaan, murid-murid itu berebutan tidak sabar ingin memperolehnya. Tetapi sayang, katanya, sekolah itu tidak mempunyai guru perpustakaan.
Mestikah guru yang demikian tidak bertindak untuk menyalurkan keinginan anak untuk membaca dengan alasan tidak ada tenaga guru perpustakaan? Sementara itu murid yang dihadapinya sebagai guru kelas cuma berjumlah 25 orang, murid saja. Kita rasa dalam jumlah murid yang kecil itu guru kelas mungkin dapat mencari jalan keluarnya. Misalnya saja membawa buku bacaan sebanyak jumlah murid dan meminjamkannya untuk dibaca di rumah. Kemudian bagi yang banyak membaca kita kaitkan dengan nilai bahasa mereka, misalnya.
Pemanfaatan buku-buku bacaan seperti cara diatas cukup bermanfaat dalam pengembangan keterampilan membaca murid. Adapun untuk pengembangan keterampilan menulis adalah dengan membiasakan pemberian "tugas mengarang" kepada murid. Ada seorang penulis yang sangat terkesan akan gurnya ketika ia masih bersekolah di SD. Gurunya mewajibkan setiap murid untuk mengarang setiap minggu dan membacakannya di depan kelas. Inilah titik awal kenapa ia tertarik dalam bidang penulisan setelah dewasa. Cara seperti ini sungguh bermanfaat untuk diterapkan oleh guru-guru sejak sekolah dasar, terus ke tingkat SLTP dan SLTA oleh guru bidang studi bahasa Indonesia. Apabila kebiasaan pemberian mengarang ini dilakukan oleh guru-guru secara kontinyu dan terprogram, maka insya Allah kita tidak melihat lagi siswa-siswi SMU kasak kusuk dalam menulis karya ilmiah sederhana. Dan begitu pula kebiasaan mahasiswa, calon sarjana, tidak akan lagi menciptakan skripsi "aspal" alias asli tapi palsu. Kita yakin kalau kemampuan menulis generasi kita sudah bagus, maka bursa penulisan skripsi liar tidak akan pernah ada lagi.
Masih ada lagi, agaknya, usaha yang kita lakukan untuk peningkatan SDM anak didik sedini mungkin. Misalnya membuat papan tempat berkreasi, semacam majalah dinding ala, siswa SLTA, dimana murid-murid SD dapat menempelkan kreasi-kreasi mereka apakah berupa gambar, puisi, cerpen dan lain-lain pada papan kreasi tersebut. Kita yakin bahwa animo murid-murid SD untuk berkreasi cukup tinggi karena pada dasarnya anak-anak kecil suka memamerkan kebolehannya. Demikianlah renungan kita dalam usaha peningkatan SDM sedini mungkin sejak sekolah dasar.

NILAI AGAMA SEBAGAI ACUAN MEMBANGUN KARAKTER BANGSA

I’TIBAR KEHIDUPAN
1) “Allah membuat perumpamaan sebuah negeri yang dahulunya aman dan tenteram, rezeki datang kepadanya melimpah ruah di semua penjuru, lalu penduduknya mengingkari nikmat Allah, karena itu lalu Allah membiarkan mereka merasakan pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang mereka perbuat” (Q.S. An-Nahl:112).
2) “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik bagaikan pohon yang baik, akarnya kuat menghunjam ke bumi, (ranting) dan dahannya menjulang ke angkasa; pohon itu terus berbuah setiap saat (tiada henti) atas izin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan seperti itu agar manusia memperoleh peringatan” (QS Ibrahim 24-26)
3) Nabi Muhammad saw diperintahkan oleh Tuhan untuk mengisahkan cerita dalam al-Qur’an tentang para rasul, seperti nabi Musa, Harun, Ismail, Nuh bahwa mereka menyungkur bersujud dan menangis bila ditunjukkan ayat-ayat Allah. Selanjutnya Allah memperingatkan:
“Maka datanglah sesudah mereka, generasi yang jelek, menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, mereka itulah yang jelas akan sesat. Kecuali orang yang bertaubat, beriman, dan beramal salih. Maka mereka itu akan masuk surge dan tidak mungkin dianiaya (dirugikan) sedikitpun”. (Q.S. Maryam 59-60)
4) Nabi bersabda: Ketahuilah bahwa dalam diri setiap kalian ada ”mudghoh” (segumpal daging), jika mudghoh itu bersih maka semua yang ditampilkan oleh orang tersebut juga bersih (baik), dan jika mudghoh itu rusak maka yang ditampilkan oleh orang tersebut juga rusak (tidak baik). Ketahuilah bahwa yang disebut mudghoh itu adalah al-qolb (hati). (Al-Hadist)
5) “Sungguh Allah tidak tidak akan merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka memulai melakukan perubahan dari dirinya sendiri” (Q.S. Ar-Ra’d:11)






A. PENDAHULUAN (Latar belakang)
Kondisi Bangsa Dewasa ini (era global)
Tidak bisa dipungkiri bahwa bangsa Indonesia tidak pernah berhenti dalam menyelenggaanrakan program pendidikan dalam keadaan bagaimanapun juga. Namun hingga saat ini keadaan bangsa kita masih mengalami kondisi yang yang tidak kondusif. Bahkan berkembangnya prilaku baru yang sebelum era global tidak banyak muncul, kini cenderung meluas, antara lain: (1) meningkatnya kekerasan di kalangan masyarakat; (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, cenderung tidak menggunakan kata baku; (3) pengaruh peer-group (geng) yang kuat dalam tindak kekerasan; (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas; (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk; (6) menurunnya etos kerja; (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru; (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara; (9) membudaya-nya ketidakjujuran; dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama
Berikut juga fenomena yang tidak dapat dipungkiri, yakni:
(1). Masa balita, pendidikan dan pengasuhan balita diserahkan kepada pembantu yang notabene kurang memiliki cukup kemampuan sebagai pendidik;
(2). Masa remaja, pembinaan remaja di luar rumah atau kelas diserahkan kepada masyarakat, yang ternyata kondisinya tidak kondusif bagi pengembangan karakter.
(3). Masa dewasa, integrasi masyarakat tidak menentu, tidak ada saling mempercayai (trust), kehidupan semu, tidak tulus, ABS, budaya munafik, dll.

B. APA KARAKTER DAN PENDIDIKAN KARAKTER ITU ?

Hakekat Karakter

Menurut Simon Philips dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:235), karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sedangkan Doni Koesoema A (2007:80) memahami bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ”ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya lingkungan keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir.” Hal yang selaras disampaikan dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:233) yang mengartikan karakter bangsa sebagai kondisi watak yang merupakan identitas bangsa.
Sementara Winnie memahami bahwa istilah karakter diambil dari bahasa Yunani yang berarti ‘to mark’ (menandai). Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku. Ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’ (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Sedangkan Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.

Dari pendapat di atas difahami bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau baik, bukan yang negatif atau buruk. Hal ini didukung oleh Peterson dan Seligman (Gedhe Raka, 2007:5) yang mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain, dan bangsanya

Pendidikan Karakter

Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembang-kan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.

Ki Hadjar Dewantara dari Taman Siswa di Yogyakarta bulan Oktober 1949 pernah berkata bahwa "Hidup haruslah diarahkan pada kemajuan, keberadaban, budaya, dan persatuan”. Sedangkan menurut Prof. Wuryadi, manusia pada dasarnya baik secara individu dan kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan ajar. Dasar dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal biologis (genetik) atau hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedangkan ajar adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan atau perubahan yang direncanakan atau diprogram.

Membangun bangsa berkarakter

Karakter bangsa terbangun atau tidak sangat tergantung kepada bangsa itu sendiri. Bila bangsa tersebut memberikan perhatian yang cukup untuk membangun karakter maka akan terciptalah bangsa yang berkarakter. Bila sekolah dapat memberikan pembangunan karakter kepada para muridnya, maka akan tercipta pula murid yang berkarakter. Demikian pula sebaliknya. Kita faham Tuhan tidak merubah keadaan suatu kaum biala mereka tidak berusaha melakukan perubahan itu. (innalloha laa yughoyyiru maa biqoumin hattaa yughoyyiruu maa bi anfusihim).

Lima pilar karakter luhur bangsa Indonesia:

1. Transendensi: Menyadari bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang maha Esa. Dari kesadaran ini akan memunculkan sikap penghambaan semata-mata pada Tuhan yang Esa. Kesadaran ini juga berarti memahami keberadaan diri dan alam sekitar sehingga mampu menjaga dan memakmurkannya. Ketuhanan yang maha Esa;
2. Humanisasi: Setiap manusia pada hakekatnya setara di mata Tuhan kecuali ilmu dan ketakwaan yang membedakannya. Manusia diciptakan sebagai subjek yang memiliki potensi. Kemanusiaan yang adil dan beradap;
3. Kebinekaan: Kesadaran akan adanya sekian banyak perbedaan di dunia. Akan tetapi, mampu mengambil kesamaan untuk menumbuhkan kekuatan, Persatuan Indonesia;
4. Liberasi: Pembebasan atas penindasan sesama manusia. Karenanya, tidak dibenarkan adanya penjajahan manusia oleh manusia. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;
5. Keadilan: Keadilan merupakan kunci kesejahteraan. Adil tidak berarti sama, tetapi proporsional. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dr. Sukamto dalam diskusi yang diselenggarakan Jum’at, 19 Juni 2009 mengemukakan bahwa untuk melakukan pendidikan karakter, perlu adanya powerfull ideas, yang menjadi pintu masuk pendidikan karakter. Powerfull ideas ini meliputi: (1) God, the World & Me (gagasan tentang Tuhan, dunia, dan saya); (2) Knowing Yourself (memahami diri sendiri); (3) Becoming a Moral Person (menjadi manusia bermoral); (4) Understanding & Being Understood Getting Along with Others (memahami dan dipahami); (5) A Sense of Belonging (bekerjasama dengan orang lain); (6) Drawing Strength from the Past (mengambil kekuatan di masa lalu); (7) Dien for All Times & Places; (8) Caring for Allah’s Creation (kepedulian terhadap makhluq); (9) Making a Difference (membuat perbedaan); dan (10) Taking the Lead.
Adapun nilai-nilai luhur yang perlu diajarkan agar menjadi sikap hidup sehari-hari menurut Dr Sukamto, antara lain meliputi: Kejujuran; Loyalitas dan dapat diandalkan; Hormat; Cinta; Ketidak egoisan dan sensitifitas; Baik hati dan pertemanan; Keberanian; Kedamaian; Mandiri dan Potensial; Disiplin diri dan Moderasi; Kesetiaan dan kemurnian; dan Keadilan dan kasih sayang.
Seorang intelektual hendaknya berkarakter kenabian/profetik (berjiwa agama) memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
Karakter manusia “sempurna” sebagaimana ditampilkan oleh para Nabi dalam kehidupan sehari-hari. Bila seseorang memahami akhlak para nabi (sejak Nabi Adam sampai dengan Nabi Muhammad saw) dan turut mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari berarti orang tersebut telah memiliki karakter. Jadi karakter yang harus dibangun adalah karakter yang baik, bila tidak niscaya yang berkembang adalah karakter yang tidak baik. (Fa alhamaha fujuroha wa taqwaha. Qod aflaha man zakkahaa, wa qod khoba man dassaha)
Agar dapat memiliki karakter profetik maka 3 aspek utama dalam diri manusia harus diberikan perhatian secara seimbang, yakni hati, emosi, akal. (Nabi bersabda: Ketahuilah bahwa dalam diri setiap kalian ada ”mudghoh” (segumpal daging), jika mudghoh itu bersih maka semua yang ditampilkan oleh orang tersebut juga bersih (baik), dan jika mudghoh itu rusak maka yang ditampilkan oleh orang tersebut juga rusak (tidak baik). Ketahuilah bahwa yang disebut mudghoh itu adalah al-qolb (hati). (Al-Hadist)

Beberapa factor penting sebagai ciri karakter profetik, antara lain:
1. Sadar sebagai makhluq ciptaan Tuhan: Sadar sebagai makhluq muncul ketika ia mampu memahami keberadaan dirinya, alam sekitar, dan Tuhan YME. Konsepsi ini dibangun dari nilai-nilai transendensi.
2. Cinta Tuhan : Orang yang sadar akan keberadaan Tuhan meyakini bahwa ia tidak dapat melakukan apapun tanpa kehendak Tuhan. Oleh karenanya memunculkan rasa cinta kepada Tuhan. Orang yang cinta Tuhan akan menjalankan apapun perintah dan menjauhi larangan-Nya.
3. Bermoral : Jujur, saling menghormati, tidak sombong, suka membantu, dll merupakan turunan dari manusia yang bermoral.
4. Bijaksana : Karakter ini muncul karena keluasan wawasan seseorang. Dengan keluasan wawasan, ia akan melihat banyaknya perbedaan yang mampu diambil sebagai kekuatan. Karakter bijaksana ini dapat terbentuk dari adanya penanaman nilai-nilai kebinekaan.
5. Pembelajar sejati: Untuk dapat memiliki wawasan yang luas, seseorang harus senantiasa belajar. Seorang pembelajar sejati pada dasarnya dimotivasi oleh adanya pemahaman akan luasnya ilmu Tuhan (nilai transendensi). Selain itu, dengan penanaman nilai-nilai kebinekaan ia akan semakin bersemangat untuk mengambil kekuatan dari sekian banyak perbedaan.
6. Mandiri: Karakter ini muncul dari penanaman nilai-nilai humanisasi dan liberasi. Dengan pemahaman bahwa tiap manusia dan bangsa memiliki potensi dan sama-sama subjek kehidupan maka ia tidak akan membenarkan adanya penindasan sesama manusia. Darinya, memunculkan sikap mandiri sebagai bangsa.
7. Kontributif: Kontributif merupakan cermin seorang pemimpin.

Catatan dalam membangun karakter bangsa sejak dini
1. Sistem pendidikan dini yang kita berlakukan terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Padahal, pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan.
2. Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter pun (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada prakteknya lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar “tahu”). Banyak kita temui murid nilai pelajaran agama tinggi, mungkin 8 atau 9, akan tetapi murid yang bersangkutan tidak mengamalkan ajaran agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pembentukan karakter hendaknya dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, serta melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving, dan acting”. Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang memerlukan “latihan otot-otot akhlak” secara terus-menerus agar menjadi kokoh dan kuat.

3. Pada dasarnya, anak yang kualitas karakternya rendah adalah anak yang tingkat perkembangan emosi-sosialnya rendah, sehingga anak beresiko besar mengalami
kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak mampu mengontrol diri. Mengingat pentingnya penanaman karakter di usia dini dan mengingat usia prasekolah merupakan masa persiapan untuk sekolah yang sesungguhnya, maka penanaman karakter yang baik perlu dimulai sejak anak usia dini/prasekolah.
4. Selanjutnya dalam rangka “Membangun Bangsa Berkarakter Mengacu pada Nilai Agama” perlu melalui pengkajian, dan pengembangan karakter dengan fokus menanamkan 9 pilar nilai-nilai luhur universal : (1). Cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya; (2) Tanggung jawab, Kedisiplinan, dan Kemandirian; (3) Kejujuran; (4) Hormat dan Santun: (5) Kasih Sayang, Kepedulian, dan Kerjasama; (6) Percaya Diri, Kreatif, Kerja Keras, dan Pantang Menyerah; (7) Keadilan dan Kepemimpinan; (8) Baik dan Rendah Hati; dan (9) Toleransi, Cinta Damai dan Persatuan.

C. PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN KARAKTER MURID
Berbagai penelitian empiric menunjukkan bahwa factor guru/dosen memainkan peran yang sangat besar dalam pembentukan karakter murid. Diperoleh data bahwa ada kecenderungan makin tinggi level lembaga pendidikan formal makin rendah peran dan kontribusi guru/pendidik dalam kesuksesan murid, misalnya PAUD/TK sampai >90%, SD/MI sekitar 80-90%, SMP/MTS sekitar 70-80%, SMA/MA/SMK sekitar 60-70%, Mahasiswa S1 sekitar 40-50%, S2 sekitar 20-30%, dan S3 sekitar 10%, atau mungkin bisa kurang.
GURU: Pendidik profesional memiliki tugas utama untuk: (1) mendidik, (2) membimbing, (3) mengarahkan, (4) melatih, (5) menilai, dan (6) mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah

D. PENUTUP
”Pilar akhlak (moral) yang dimiliki (mengejewantah) dalam diri seseorang sehingga ia menjadi orang yang berkarakter baik (good character) adalah jujur, sabar, rendah hati, tanggung jawab dan rasa hormat, yang tercermin dalam kesatuan organisasi/sikap yang harmonis dan dinamis.

Tanpa nilai-nilai moral dasar ini (basic moral values) yang senantiasa mengejewantah dalam diri pribadi kapan dan dimana saja, orang dapat dipertanyakan kadar keimanan dan ketaqwaan. Ciri orang yang kuat imannya, antara lain: (1) secara tulus dia patuh pada Tuhannya; (2) dia tertib dan disiplin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Tuhan, secara mahdhoh/ritual; (3) memahami dan menghargai ajaran agama lain, sehingga tercipta kehidupan yang toleran; (4) memperbanyak kerjasama dalam bidang kehidupan social. Dll.