Jumat, 29 April 2011

puisi untUkmu cy4nk

“Kau Ini Bagaimana Atawa Aku Harus Bagaimana”

15 Mei 2008 oleh yodama

Kau ini bagaimana?
kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya
kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kafir

aku harus bagaimana?
kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai
kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai

kau ini bagaimana?
kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku
kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aq plin plan

aku harus bagaimana?
aku kau suruh maju, aku mau maju kau selimbung kakiku
kau suruh aku bekerja, aku bekerja kau ganggu aku

kau ini bagaimana?
kau suruh aku takwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa
kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya

aku harus bagaimana?
aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya
aku kau suruh berdisiplin, kau mencontohkan yang lain

kau ini bagaimana?
kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilnya dengan pengeras suara tiap saat
kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai

aku harus bagaimana?
aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusakkannya
aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya

kau ini bagaimana?
kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah
kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah

aku harus bagaimana?
aku kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi
aku kau suruh bertanggungjawab, kau sendiri terus berucap wallahu a’lam bissawab

kau ini bagaimana?
kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku
kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku

aku harus bagaimana?
aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah kupilih kau bertindak sendiri semaumu
kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu

kau ini bagaimana?
kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis
kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis

aku harus bagaimana?
kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah
kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja

kau ini bagaimana?
aku bilang terserah kau, kau tidak mau
aku bilang terserah kita, kau tak suka
aku bilang terserah aku, kau memakiku

kau ini bagaimana?
atau aku harus bagaimana?

1987
Mustofa Bisri (Gus Mus)

Rabu, 27 April 2011

Peranan Sosiologi dalam Dunia Pendidikan

Dalam pengertian sederhana, sosiologi pendidikan memuat
analisis-analisis ilmiah tentang proses interaksi sosial yang terkait
dengan aktivitas pendidikan baik dari lingkup keluarga, kehidupan
sosio-kultur masyarakat maupun pada taraf konstelasi di
tingkat nasional. Sehingga dari sini bisa di dapat sebuah gambaran
objektif tentang relasi-relasi sosial yang menyusun konstruksi total
realitas pendidikan di negara kita. Sampai pada pemahaman
tersebut segala bentuk wawasan dan pengetahuan sosiologis guna
membedah tubuh pendidikan kita menjadi perlu untuk dibahas
agar proses-proses pengajaran tidak bias ke arah yang kurang
relevan dengan kebutuhan bangsa.
Di sisi lain, jika perhatian kita tertuju pada lembaran sejarah
perkembangan pendidikan masyarakat Indonesia, produk kemajuan
sosial, meningkatnya taraf hidup rakyat, akselerasi perkembangan
ilmu pengetahuan dan penerapan inovasi teknologi merupakan
bagian dari prestasi gemilang hasil jerih payah lembaga
pendidikan kita dalam upaya memajukan kehidupan bangsa Indonesia.
Meningkatnya jumlah kaum terpelajar telah menjadi bahan
bakar lajunya lokomotif kemajuan dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Akan tetapi, beberapa kendala yang melingkari dunia pendidikan
dalam kaitan dengan menurunnya kualitas output
pendidikan kita menjadi bukti bahwa wajah persekolahan kita
memerlukan banyak perbaikan.
Melihat keberadaan sekolah begitu penting bagi eksistensi
dan keberlangsungan pendidikan di negara kita maka topik ini
akan mengarahkan lingkup kajian sosiologisnya kepada hakikat
peran dan fungsi lembaga sekolah sebagai lembaga pendidikan.
Tiga sub-judul berikutnya akan menindaklanjuti fokus pembahasan
dengan titik tekan yang lebih spesifik. Pada sub-judul pertama,
banyak digali tentang hubungan-hubungan sosial di dunia
pendidikan dalam wadah organisasi formal. Di sini kriteria
sekolah sebagai salah satu wujud organisasi formal ditinjau dari
kaitan unsur-unsur sosial pendukungnya dalam proses mencapai
tujuan pendidikan. Pada sub judul kedua lebih menyoroti konteks
transaksi pendidikan di ruang kelas. Hal ini ditekankan, sebab
ruang kelas merupakan representasi dari proses-proses pendidikan
yang sesungguhnya, karena di dalamnya telah melibatkan
komponen-komponen belajar mengajar secara langsung. Sedangkan
pada sub judul yang ketiga, tinjauannya bertolak dari kenyataan
bahwa sekolah tidak bisa lepas dari hubungan wadah eksternalnya.
Kondisi sosio-kultur masyarakat tidak bisa tidak merupakan
salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap
proses-proses pendidikan di sekolah.
Tiga batasan tinjauan di atas akan dipaparkan sebagai upaya
untuk menyajikan beberapa manfaat analisis sosiologis terhadap
dunia pendidikan.

Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2123419-peranan-sosiologi-terhadap-dunia-pendidikan/#ixzz1KkfZODRV

Max Weber (1864 – 1920)

Maximilian Weber (21 April 1864 – 14 Juni 1920) adalah seorang ahli ekonomi politik dan sosiolog dari Jerman yang dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu sosiologi dan administrasi negara modern. Karya utamanya berhubungan dengan rasionalisasi dalam sosiologi agama dan pemerintahan, meski ia sering pula menulis di bidang ekonomi.

Karyanya yang paling populer adalah esai yang berjudul Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, yang mengawali penelitiannya tentang sosiologi agama. Weber berpendapat bahwa agama adalah salah satu alasan utama bagi perkembangan yang berbeda antara budaya Barat dan Timur.

Dalam karyanya yang terkenal lainnya, Politik sebagai Panggilan, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik Barat modern.

Sosiologi agama
Karya Weber dalam sosiologi agama bermula dari esai Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme dan berlanjut dengan analisis Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme, Agama India: Sosiologi Hindu dan Buddha, dan Yudaisme Kuno. Karyanya tentang agama-agama lain terhenti oleh kematiannya yang mendadak pada 1920, hingga ia tidak dapat melanjutkan penelitiannya tentang Yudaisme Kuno dengan penelitian-penelitian tentang Mazmur, Kitab Yakub, Yahudi Talmudi, Kekristenan dan Islam perdana.


Max Weber

Max Weber

Tiga tema utamanya adalah efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama, dan pembedaan karakteristik budaya Barat. Tujuannya adalah untuk menemukan alasan-alasan mengapa budaya Barat dan Timur berkembang mengikuti jalur yang berbeda. Dalam analisis terhadap temuannya, Weber berpendapat bahwa pemikiran agama Puritan (dan lebih luas lagi, Kristen) memiliki dampak besar dalam perkembangan sistem ekonomi Eropa dan Amerika Serikat, tapi juga mencatat bahwa hal-hal tersebut bukan satu-satunya faktor dalam perkembangan tersebut. Faktor-faktor penting lain yang dicatat oleh Weber termasuk rasionalisme terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Pada akhirnya, studi tentang sosiologi agama, menurut Weber, semata-mata hanyalah meneliti meneliti satu fase emansipasi dari magi, yakni “pembebasan dunia dari pesona” (“disenchanment of the world”) yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang penting dari budaya Barat.

Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme
Esai Weber Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme (Die protestantische Ethik und der Geist des Kapitalismus) adalah karyanya yang paling terkenal. Dikatakan bahwa tulisannya ini tidak boleh dipandang sebagai sebuah penelitian mendetail terhadap Protestanisme, melainkan lebih sebagai perkenalan terhadap karya-karya Weber selanjutnya, terutama penelitiannya tentang interaksi antara berbagai gagasan agama dan perilaku ekonomi.

Dalam Etika Protestan dan Semangant Kapitalisme, Weber mengajukan tesis bahwa etika dan pemikiran Puritan mempengaruhi perkembangan kapitalisme. Bakti keagamaan biasanya disertai dengan penolakan terhadap urusan duniawi, termasuk pengejaran ekonomi. Mengapa hal ini tidak terjadi dalam Protestanisme? Weber menjelaskan paradoks tersebut dalam esainya.

Ia mendefinisikan “semangat kapitalisme” sebagai gagasan dan kebiasaan yang mendukung pengejaran yang rasional terhadap keuntungan ekonomi. Weber menunjukkan bahwa semangat seperti itu tidak terbatas pada budaya Barat, apabila dipertimbangkan sebagai sikap individual, tetapi bahwa individu-individu seperti itu — para wiraswasta yang heroik, begitu Weber menyebut mereka — tidak dapat dengan sendirinya membangun sebuah tatanan ekonomi yang baru (kapitalisme). Di antara kecenderungan-kecenderungan yang diidentifikasikan oleh Weber adalah keserakahan akan keuntungan dengan upaya yang minimum, gagasan bahwa kerja adalah kutuk dan beban yang harus dihindari, khususnya apabila hal itu melampaui apa yang secukupnya dibutuhkan untuk hidup yang sederhana. “Agar suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik dengan ciri-ciri khusus kapitalisme,” demikian Weber menulis, “dapat mendominasi yang lainnya, hidup itu harus dimulai di suatu tempat, dan bukan dalam diri individu yang terisolasi semata, melainkan sebagai suatu cara hidup yang lazim bagi keseluruhan kelompok manusia.”

Setelah mendefinisikan semangat kapitalisme, Weber berpendapat bahwa ada banyak alasan untuk mencari asal-usulnya di dalam gagasan-gagasan keagamaan dari Reformasi. Banyak pengamat seperti William Petty, Montesquieu, Henry Thomas Buckle, John Keats, dan lain-lainnya yang telah berkomentar tentang hubungan yang dekat antara Protestanisme dengan perkembangan semangat perdagangan.

Weber menunjukkan bahwa tipe-tipe Protestanisme tertentu mendukung pengejaran rasional akan keuntungan ekonomi dan aktivitas duniawi yang telah diberikan arti rohani dan moral yang positif. Ini bukanlah tujuan dari ide-ide keagamaan, melainkan lebih merupakan sebuah produk sampingan – logika turunan dari doktrin-doktrin tersebut dan saran yang didasarkan pada pemikiran mereka yang secara langsung dan tidak langsung mendorong perencanaan dan penyangkalan-diri dalam pengejaran keuntungan ekonomi.

Weber menyatakan dia menghentikan riset tentang Protestanisme karena koleganya Ernst Troeltsch, seorang teolog profesional, telah memulai penulisan buku The Social Teachings of the Christian Churches and Sects. Alasan lainnya adalah esai tersebut telah menyediakan perspektif untuk perbandingan yang luas bagi agama dan masyarakat, yang dilanjutkannya kelak dalam karya-karyanya berikutnya.

Frase “etika kerja” yang digunakan dalam komentar modern adalah turunan dari “etika Protestan” yang dibahas oleh Weber. Istilah ini diambil ketika gagasan tentang etika Protestan digeneralisasikan terhadap orang Jepang, orang Yahudi, dan orang-orang non-Kristen.

Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme
Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme adalah karya besar Weber yang kedua dalam sosiologi agama. Weber memusatkan perhatian pada aspek-aspek dari masyarakat Tiongkok yang berbeda dengan masyarakat Eropa Barat dan khususnya dikontraskan dengan Puritanisme. Weber melontarkan pertanyaan, mengapa kapitalisme tidak berkembang di tiongkok. Dalam Seratus Aliran Pemikiran Masa Peperangan Antar-Negara, ia memusatkan pengkajiannya pada tahap awal sejarah Tiongkok. Pada masa itu aliran-aliran pemikiran Tiongkok yang besar (Konfusianisme dan Taoisme) mengemuka.

Pada tahun 200 SM, negara Tiongkok telah berkembang dari suatu federasi yang kendur dari negara-negara feodal menjadi suatu kekaisaran yang bersatu dengan pemerintahan Patrimonial, sebagaimana digambarkan dalam Masa Peperangan Antar-Negara.

Seperti di Eropa, kota-kota di Tiongkok dibangun sebagai benteng atau tempat tinggal para pemimpinnya, dan merupakan pusat perdagangan dan kerajinan. Namun, mereka tidak pernah mendapatkan otonomi politik, dan para warganya tidak mempunyai hak-hak politik khusus. Ini disebabkan oleh kekuatan ikatan-ikatan kekerabatan, yang muncul dari keyakinan keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Selain itu, gilda-gilda saling bersaing memperebutkan perkenan Kaisar, tidak pernah bersatu untuk memperjuangkan lebih banyak haknya. Karenanya, para warga kota-kota di Tiongkok tidak pernah menjadi suatu kelas status terpisah seperti para warga kota Eropa.

Weber membahas pengorganisasian konfederasi awal, sifat-sifat yang unik dari hubungan umat Israel dengan Yahweh, pengaruh agama-agama asing, tipe-tipe ekstasi keagamaan, dan perjuangan para nabi dalam melawan ekstasi dan penyembahan berhala. Ia kemudian menggambarkan masa-masa perpecahan Kerajaan Israel, aspek-aspek sosial dari kenabian di zaman Alkitab, orientasi sosial para nabi, para pemimpin yang sesat dan penganjur perlawanan, ekstasi dan politik, dan etika serta teodisitas (ajaran tentang kebaikan Allah di tengah penderitaan) dari para nabi.

Weber mencatat bahwa Yudaisme tidak hanya melahirkan agama Kristen dan Islam, tetapi juga memainkan peranan penting dalam bangkitnya negara Barat modern, karena pengaruhnya sama pentingnya dengan pengaruh yang diberikan oleh budaya-budaya Helenistik dan Romawi.

Reinhard Bendix, yang meringkas Yudaisme Kuno, menulis bahwa “bebas dari spekulasi magis dan esoterik, diabdikan kepada pengkajian hukum, gigih dalam upaya melakukan apa yang benar di mata Tuhan dalam pengharapan akan masa depan yang lebih baik, para nabi membangun sebuah agama iman yang menempatkan kehidupan sehari-hari manusia di bawah kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh hukum moral yang telah diberikan Tuhan. Dengan cara ini, Yudaisme kuno ikut membentuk rasionalisme moral dari peradaban Barat.”

Herbert Spencer (1820 – 1903)

Herbet Spencer lahir di Derby, Inggris 27 April 1820. Ia tak belajar seni dan humaniora, tetapi di bidang teknik dan bidang- bidang utilitarian. Tahun 1837 ia mulai bekerja sebagai insinyur sipil jalan kereta api, jabatan yang dipegangnya hingga tahun 1846.

Tahun 1853 Herbet Spencer menerima harta warisan yang memungkinkannya berhenti bekerja dan menjalani sisa hidupnya sebagai seorang sarjana bebas. Ia tak pernah memperoleh gelar kesarjanaan universitas atau memangku jabatan akademis.

Karena ia makin menutup diri, dan penyakit fisik dan mentalnya makin parah, produktivitasnya selaku sarjana makin menurun. Akhirnya Spencer mulai mencapai kemasyhuran tak hanya di Inggris tetapi juga reputasi internasional. Richard Hofstadter mengatakan, “Selama tiga dekade sesudah perang saudara, orang tak mungkin aktif berkarya di bidang intelektual apapun tanpa menguasai (perkiraan) Spencer.” (1959:33).

Herbet SpencerGuru yang tercinta… Anda menemuiku tiap hari dalam pikiranku dan terus-menerus muncul pertanyaan “mengapa”, mengapa dia harus berbohong? Mengapa dia harus pergi?…. Dunia tak menyadari keistimewaan pemikirannya… namun suatu hari nanti dunia akan menyadari ajarannya dan akan menghormati Spencer sebagai manusia besar (Carnegie, dikutip dalam Peel, 1971:2). Namun, nasib Spencer ternyata tak seperti itu. Salah satu watak Spencer paling menarik yang menjadi penyebab kerusakan intelektualnya adalah keengganannya membaca buku orang lain. Dalam hal ini ia sama dengan tokoh sosiologi awal Auguste Comte yang juga mengalami gangguan otak. Mengenai keengganannya membaca buku orang lain itu, Spencer berkata : “Aku telah menjadi pemikir sepanjang hidupku, bukan menjadi pembaca, aku sependapat dengan yang dikatakan Hobbes bahwa jika aku membaca sebanyak yang dibaca orang lain, aku hanya akan mengetahui sedikit yang mereka ketahui itu” (Wiltshire, 1978:67).

Temannya pernah meminta pendapatnya buku, dan “jawabannya adalah bila membaca buku ia melihat asumsi fundamental buku itu keliru dan karena itulah ia tak mau membaca buku” (Wiltshire, 1978:67). Seorang pengarang menulis tentang “cara Spencer dalam menyerap pengetahuan melalui kekuatan kulitnya…ia rupanya tak pernah membaca buku” (Wiltshire, 1978:67)

Bila tak pernah membaca karya sarjana lain, lalu darimana gagasan dan pemahaman Spencer berasal. Menurut Spencer, ide-idenya muncul tanpa sengaja dan secara intiutif dari pikirannya. Ia mengatakan bahwa gagasannya muncul “sedikit demi sedikit, secara rendah hati tanpa disengaja atau tanpa upaya yang keras” (Wiltshire, 1978:66). Institusi seperti itu dianggap Spencer jauh lebih efektif ketimbang upaya berpikir dan belajar tekun : “Pemecahan yang dicapai melalui cara yang dilukiskan itu mungkin lebih benar ketimbang yang dicapai pemikiran” (Wiltshire, 1978:66).

Spencer menderita karena enggan membaca secara serius karya orang lain. Sebenarnya, jika ia membaca karya orang lain, itu dilakukannya hanya sekedar untuk menemukan pembenaran pendapatnya sendiri. Ia mengabaikan gagasan orang lain yang tak mengakui gagasannya.

Demikianlah, Charles Darwin, pakar sezamannya, berkata tentang Spencer, “Jika ia mati melatih dirinya untuk mengamati lebih banyak, dengan risiko kehilangan sebagian dari kekuatan berpikirnya sekalipun, tentulah ia telah menjadi seorang manusia yang sangat hebat” (Wiltshire, 1978:70) pengabaian Spencer terhadap aturan ilmu pengetahuan menyebabkan ia membuat serentetan gagasan kasar dan pernyataan yang belum dibuktikan kebenarannya mengenai evolusi kehidupan manusia. Karena itulah sosiolog abad 20 menolak gagasan Spencer dan riset empiris yang tekun. Spencer meninggal 8 Desember 1903.

Membangun Teori Sosiologi

Semua teori sosiologi dibangun berdasarkan asumsi-asumsi dasar tentang hakikat manusia dan masyarakat. Dalam membangun teori, sosiolog berhadapan dengan berbagai macam pilihan. Asumsi-asumsi dasar tersebut akan sangat berguna untuk ‘memudahkan’ seorang ilmuwan untuk membangun teori.

Asumsi-asumsi itu disebut Thomas Kuhn (1970) sebagai paradigma teoritik yaitu, “serangkaian asumsi dasar yang mengarahkan untuk berpikir dan meneliti.”Teori-teori fungsionalisme-struktural, misalnya, dibangun atas asumsi dasar bahwa ‘masyarakat sebagai sistem yang kompleks dimana setiap bagian saling berhubungan satu-sama lain demi sebuah kestabilan’.

Teori-teori konflik, pada sisi lain, dibangun atas asumsi dasar bahwa ‘masyarakat sebagai sistem yang kompleks yang ditandai dengan adanya ketidaksetaraan dan konflik yang mendorong terjadinya perubahan sosial.’ Lain lagi dengan teori interaksionisme simbolik, lain lagi, yang dibangun atas asumsi dasar bahwa ‘masyarakat adalah sebuah produk dari interaksi sehari-hari dari para individu di dalamnya.”

Masalah yang sering kali dihadapi sosiolog adalah ketidakmampuan untuk menyadari asumsi-asumsi yang terkandung dalam perumusan teori-teori mereka. Karena itu muncul perdebatan pula, jika teori sosiologi dibangun atas asumsi maka apakah sosiologi adalah ilmu yang bebas nilai dan, bahkan, netral? Ini adalah pertanyaan etik yang mendasar dalam membangun sebuah teori sosiologi.

Keyakinan terbaru (kita berbicara tentang asumsi lagi) adalah ilmu tidak pernah bebas nilai. Pernyataan sosiologi yang bebas nilai (value free) sudah banyak dipertanyakan. Jawaban yang paling sering keluar adalah ilmu (termasuk) sosiologi tidak pernah bebas nilai. Sebuah catatan penting dilontarkan Jurgen Habermas. Habermas (1990) membagi ilmu pengetahuan dalam tiga kepentingan. Yaitu, (1) kepentingan teknis; (2) kepentingan praktis; dan (3) kepentingan emansipatoris.

Habermas pun menempatkan ilmu sosial (sosiologi) dalam ranah ilmu yang memiliki kepentingan (dan kemampuan) emansipatoris. Rasanya, ini perlu kita jadikan landasan etis bagi kita dalam melihat masyarakat dan kemudian membangun teori-teori sosiologi. Pesan yang dapat ditangkap dari pemikiran Habermas adalah ‘sosiologi kritis tidak hanya berperan dalam menjelaskan dan memaknai masyarakat, tapi juga memperbaiki masyarakat.’ Dewasa ini, semakin banyak sosiolog yang menyadari bahwa berbagai teori tentang masyarakat tidak dapat dengan mudah digabungkan ke dalam suatu teori tunggal. Apalagi dengan berkembangnya pandangan-pandangan mikro yang mengakui pentingnya konsep manusia dan masyarakat di setiap tempat sebagai kerangka acuan (atau asumsi dasar) untuk membangun teori sosiologi.

Konsep memilih jodoh, misalnya, tidak semudah yang kita bayangkan. Upacara perkawinan bukan lagi masalah melegalkan sebuah hubungan seks antara sepasang manusia, melainkan menjadi suatu masalah kompleks tentang masalah status sosial, prestise, kelas sosial, ekonomi, dan masih banyak variabel yang bisa mempengaruhi teori tentang memilih jodoh.

Apa itu teori sosiologi modern?

Teori sosiologi berkembang karena terjadinya perubahan sosial yang sangat pesat dalam masyarakat dan dalam ilmu itu sendiri. Pendekatan-pendekatan tertentu, mulai dari fungsionalisme sampai strukturalisme, telah banyak dikritik karena tidak memperhitungkan perubahan.

Thomas Kuhn mengatakan salah satu perkembangan teori adalah akibat perbedaan paradigma. Kemudian, teori berkembang karena ilmuwan melihat pada objek yang sama dengan cara pandang yang berbeda. Ide Kuhn ini jelas menantang asumsi yang berlaku umum di kalangan ilmuwan mengenai perkembangan ilmu pengetahuan. Secara umum, sebelum Kuhn, ilmuwan berpendirian bahwa perkembangan atau kemajuan ilmu itu terjadi secara kumulatif. Hal ini ditentang oleh Kuhn, yang menyebutkan, perkembangan ilmu pengetahuan sebenarnya terjadi secara revolutif. Yaitu dengan mengubah cara pandang ilmuwan dalam memaknai suatu fakta. Namun, Kuhn tetap meyakini adanya suatu hasil penemuan ilmu pengetahuan yang diterima secara umum, yang biasa disebut exemplar. Dalam bahasa matematika kita sering mendengarnya dengan istilah tautologi.

Contoh yang paling dasar adalah “segitiga” berarti ‘sebuah bangun dengan tiga sisi dan tiga sudut.’ Melihat kecenderungan yang disampaikan oleh Kuhn itu, maka ada kemungkinan bahwa dalam sosiologi terdapat beberapa paradigma. Yang sangat mungkin, satu dengan yang lain, saling bertolakbelakang. Beberapa pandangan tentang pembagian teori sosiologi pun bermunculan. Cotton (1966) membahas sosiologi ‘naturalistis’ dan ‘animistis’. Giddens (1967) membuat pembedaan sosiologi ‘interpretatif’ dan ‘positivistis’. Martindale (1974) membagi sosiologi ‘scientific’ dan ‘humanistis.’

Tentu kita belum saatnya untuk terlibat dalam perdebatan tentang dikotomi teori sosiologi tersebut. Akan tetapi, tidak ada salahnya jika kita mulai mengenal dikotomi dalam sosiologi itu. Kita bisa memulai dengan menggunakan klasifikasi teori sosiologi menurut skalanya. Yaitu, grand theory, middle range theory, micro range theory.

Hubungan teori sosiologi modern dan modernisasi

Teori sosiologi modern sangat erat hubungannya dengan perubahan sosial yang terus terjadi dalam masyarakat. Setidaknya ada tiga variabel perubahan sosial yang bisa dijadikan titik tolak bagi perubahan teori sosiologi itu. Yaitu: (1) bumi yang semakin padat akibat manusia yang terus bertambah. Semakin banyak manusia, semakin kompleks pula interaksi sosial dan masalah sosial yang terjadi; (2) inovasi teknologi yang belum berhenti. Hubungan antara manusia dengan teknologi membutuhkan hal yang cukup kompleks ketika harus berhadapan dengan tingkat ekonomi, pendidikan dan geografis. Inovasi teknologi justru membuat kesenjangan sosial yang tidak bisa disepelekan; (3) perubahan iklim politik ilmu pengetahuan yang menyebabkan semakin tidak jelasnya sekat antar-ilmu.

Teori Sosiologi Masih Eksis di Masyarakat

Masyarakat suatu negara memiliki suatu keunikkan sendiri-sndiri baik dalam kebudayaan, agama, adat istiadat, dan pola hidup yang berbeda antara negara lain. Kehidupan di masyarakat negara kepulauan ini teori sosiologi masih eksis dalam kehidupan masyarakat dapat kita ketahui teori-teori para ahli sosiologi sampai sekarang masih membuktikan pendapat para ahli sosiologi tersebut.

Dapat dibuktikan dengan berbagai macam fenomena sosial yang terjadi di dalam sebuah masyarakat di seluruh indonesia. Teori-teori tersebut sekarang mulai terlihat kebenaran dari berbagai teori yang di kemukakan oleh para ahli sosiologi dari berbagai latar belakang kehidupan dan berbagai latar belakang budaya yang berbeda serta dari keluarga yang memiliki berbagai masalah baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.

Emile DurkheimMenurut Emile Durkheim dalam teorinya mengemukakan tentang fakta-fakta sosial. Beliau berasumsi umum yang paling fundamental yang mendasari pendekatan dia terhadap sosiologi adalah bahwa gejala sosial yang riil dan mempengaruhi individu serta perilaku yang berbeda dari karakteristik psikologi, biologi atau karakteristik individu yang lain. Fakta sosial menurut Durkheim memiliki karakteristik seperti, gejala sosial bersifat eksternal, fakta memaksa individu dan fakta bersifat umum atau menyebar secara luas dalam suatu masyarakat. Dapat di lihat dalam kehidupan masyarakat yang ada di seluruh daerah, seperti anak tumbuh dalam sebuah keluarga, pertama mereka akan memberikan pemikiran utama pada anak tersebut denagn demikian terjadilah bahwa suatu keluarga merupakan suatu lembaga pendidik atau agen dari pembentukan kepribadian pada anak yang merupakan tempat mentransfer ilmu yang paling utama.

Dalam teori Durkheim yang lain antara lain, teori tentang bunuh diri (suicide) dalam suatu masyarakat, menurut beliau bunuh diri ini mempunyai beberapa tipe tentang bunuh diri seperti, bunuh diri egoistis, bunuh diri altruistis, bunuh diri akibat anomi dan bunuh diri fatalistik. Dapat ditemukan pada suatu daerah yaitu fenomena bunuh diri ini terdapat di daerah kabupaten gunung kidul, bunuh diri yang ada di sana yaitu bunuh diri anomi, merupakan bunuh diri disebabkan oleh keadaan moral dimana orang yang bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan, dan norma dalam hidupnya.

Masyarakat setempat tidak mempunyai tujuan lagi untuk hidup dengan demikian mengambil jalan untuk mengakhiri hidup mereka. Karena tidak ada lagi tujuan hidup yang jelas serta di latar belakangi oleh daerah atau lungkungan yang kurang mendukung untuk melakukan berbagai ektivitas untuk melangsungkan kehidupan.

Masih banyak teori sosiologi yang masih eksis dalam kehidupan masyarakat, seperti Auguste Comte dikenal sebagai bapak sosiologi, teorinya tentang pisitivisme dan hukum tiga tahap. Dapat di temukan di dalam kehidupan suatu masyarakat, yang memiliki suatu pengetahuan yang benar yang di dasari pada pengalaman aktual-fisikal dapat ditemukan pada kalangan entelektual yang mempunyai pengetahuan. Yang akan menggunakan data empiris untuk melakukan suatu penelitian dan kajian terhadap suatu fenomena yang ada di masyarakat.

Emile Durkheim teorinya tentang solidaritas, fakta sosial, agama dan fenomena serta bunuh diri sabagai suatu gejala sosial. karena sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang seluruh aspek-aspek kehidupan dalam masyarakat. Herbert Spenscer teorinya tentang teori evolusi masyarakat dan lahirnya darwinisme sosial, terdiri dari hukum evolusi, evolusi masyarakat, darwinisme dan perbedaan masyarakat militer dan industri.

Dalam evolusi masyarakat merupakan organisasi semua gejala soaial diterangkan berdasarkan suatu penentuan oleh hukum alam. Karena setiap masyarakat selalu berkembang ke arah yang lebih maju, mempunyai struktur organisasi, dan menciptakan pembagian atau perbedaan dalam hal pekerjaan dapat dilihat dalam masyarakat industri seperti di kota Jakarta. dengan demikian masih banyak teori sosiologi yang masih eksis dalam kehidupan masyarakat.

Dengan demikian berbagai fenomena yang terjadi di dalam masyarakat dapat di diketahui melalui teori sosiologi klasik yang masih relevan untuk di pelajari dan di kaji dalam kehidupan suatu masyarakat. Dalam suatu masyarakat tersebut memiliki struktur sosial, stratifikasi sosial, deferensiasi, pranata sosial, status dan peran sosial, nilai dan norma. Oleh karena itu teori ini dapat di temukan dalam kehidupan masyarakat sebab suatu teori merupakan hasil pemikiran seorang ahli atau pakar mengenai berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat.