Kamis, 19 Mei 2011

Perkembangan Peserta Didik

Perkembangan mengacu pada bagaimana seorang tumbuh, beradaptasi, dan berubah disepanjang perjalanan hidupnya. Orang tumbuh, beradaptasi, dan berubah melalui perkembangan fisik, perkembangan kepribadian, perkembangan sosioemosional (sosial dan emosi), perkembangan kognitif (berpikir), dan perkembangan manusia menurut teori Piaget (kognitif dan moral) serta teori perkembangan kognitif menurut Lev Vygotsky. Setidaknya ada lima faktor yang dapat memengaruhi kinerja peserta didik kita, yaitu lingkungan keluarga, atmosfer persekawanan, sumber daya sekolah, kecerdasan yang berasal dari dalam diri sendiri, dan aksesibilitas pencapaian informasi.
Peserta didik adalah makhluk yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing, mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya.
Didalam pandangan yang lebih modern anak didik tidak hanya dianggap sebagai objek atau sasaran pendidikan, melainkan juga mereka harus diperlukan sebagai subjek pendidikan, diantaranya adalah dengan cara melibatkan peserta didik dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. Berdasarkan pengertian ini, maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.Dasar-dasar kebutuhan anak untuk memperoleh pendidikan, secara kodrati anak membutuhkan dari orang tuanya. Dasar-dasar kpdrati ini dapat dimengerti dari kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimiliki oleh setiap anak dalam kehidupannya, dalam hal ini keharusan untuk mendapatkan pendidikan itu jika diamati lebih jauh sebenarnya mengandung aspek-aspek kepentingan, antara lain :

1.Aspek Paedogogis.
Dalam aspek ini para pendidik mendorang manusia sebagai animal educandum, makhluk yang memerlukan pendidikan. Dalam kenyataannya manusia dapat dikategorikan sebagai animal, artinya binatang yang dapat dididik, sedangkan binatang pada umumnya tidak dapat dididik, melainkan hanya dilatih secara dresser. Adapun manusia dengan potensi yang dimilikinya dapat dididik dan dikembangkan kearah yang diciptakan.


2.Aspek Sosiologi dan Kultural.
Menurut ahli sosiologi, pada perinsipnya manusia adalah moscrus, yaitu makhlik yang berwatak dan berkemampuan dasar untuk hidup bermasyarakat.
3.Aspek Tauhid.
Aspek tauhid ini adalah aspek pandangan yang mengakui bahwa manusia adalah makhluk yang berketuhanan, menurut para ahli disebut homodivinous (makhluk yang percaya adanya tuhan) atau disebut juga homoriligius (makhluk yang beragama).
Sedangkan Karateristik peserta didik meliputi perkembangan fisik, perkembangan sosioemosional, dan perkembangan intelektual/mental. Perkembangan intelektual peserta didik melalui empat tahap yaitu sensorimotor, praoperasi, operasi konkrit, dan operasi formal.
Perkembangan Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam. Peserta didik adalah setiap manusia yang sepanjang hidupnya selalu dalam perkembangan. Kaitannya dengan pendidikan adalah bahwa perkembangan peserta didik itu selalu menuju kedewasaan dimana semuanya itu terjadi karena adanya bantuan dan bimbingan yang diberikan oleh pendidik. Bantuan dan bimbingan yang diberikan oleh pendidik sangat dipengaruhi oleh pandangan pendidik itu sendiri terhadap peserta didik. Dalam hal ini anak ( peserta didik ) merupakan sarana dalam proses pendidikan.
Pertumbuhan dan perkembangannya yang dialami oleh peserta didik sangat dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu faktor pembawaan ( warisan ), faktor lingkungan dan faktor kematangan ( internal ). Dalam proses perkembangan seseorang, ada beberapa aliran yang menjelaskan tentang teori perkembangan, antara lain :
Aliran Nativisme.Dalam aliran ini dijelaskan bahwa perkembangan manusia itu ditentukan oleh pembawaannya, sedangkan pengalaman dan pendidikan tidak berpengaruh apa-apa ( Arthur Sckonenhauer : 1788 – 1860 ). Faktor pembawaan ini bersifat kodrati dari lahir dan tidak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitar. Faktor inilah yang akan membentuk kepribadian manusia.2. Aliran Empirisme Pada aliran ini dijelaskan bahwa perkembangan manusia itu semata-mata tergantung pada lingkngan dengan pengalaman pendidikannya ( John Locke ). 3. Aliran KonvergensiAliran ini adalah gabungan antara aliran empirisme dengan aliran nativisme.

Teori-Teori Belajar

Jika menelaah literatur psikologi, kita akan menemukan banyak teori belajar yang bersumber dari aliran-aliran psikologi. Dalam tautan di bawah ini akan dikemukakan empat jenis teori belajar, yaitu: (A) teori behaviorisme; (B) teori belajar kognitif menurut Piaget; (C) teori pemrosesan informasi dari Gagne, dan (D) teori belajar gestalt.

A.

Teori Behaviorisme

Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :

1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.

Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:

1. Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus - Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
2. Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
3. Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.

2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov

Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :

1. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
2. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.

3. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner

Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :

1. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
2. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.

Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.

4. Social Learning menurut Albert Bandura

Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.

Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.

B.

Teori Belajar Kognitif menurut Piaget

Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational. Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by the process of assimilation”

Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :

1.

Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2.

Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3.

Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4.

Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5.

Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.

C.

Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne

Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.

Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.

D.

Teori Belajar Gestalt

Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :

1.

Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
2.

Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
3.

Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
4.

Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
5.

Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
6.

Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.

Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:

1.

Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.
2.

Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).
3.

Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
4.

Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.

Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :

1.

Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
2.

Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
3.

Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
4.

Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
5.

Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.

Perkembangan Teori Struktural Fungsional

Hingga pertengahan abad, fungsionalisme menjadi teori yang dominan dalam perspektif sosiologi. Teori fungsional menjadi karya Talcott Parsons dan Robert Merton dibawah pengaruh tokoh – tokoh yang telah dibahas diatas. Sebagai ahli teori yang paling mencolok di jamannya, Talcott Parson menimbulkan kontroversi atas pendekatan fungsionalisme yang ia gulirkan. Parson berhasil mempertahankan fungsionalisme hingga lebih dari dua setengah abad sejak ia mempublikasikan The Structure of Social Action pada tahun 1937. Dalam karyanya ini Parson membangun teori sosiologinya melalui “analytical realism”, maksudnya adalah teori sosiologi harus menggunakan konsep-konsep tertentu yang memadai dalam melingkupi dunia luar. Konsep-consep ini tidak bertanggungjawab pada fenomena konkrit, tapi kepada elemen-elemen di dallamnya yang secara analitis dapat dipisahkan dari elemen-elemen lainnya. Oleh karenanya, teori harus melibatkan perkembangan dari konsep-konsep yang diringkas dari kenyataan empiric, tentunya dengan segala keanekaragaman dan kebingungan-kebingungan yang menyertainya. Dengan cara ini, konsep akan mengisolasi fenomena yang melekat erat pada hubungan kompleks yang membangun realita sosial. Keunikan realism analitik Parson ini terletak pada penekanan tentang bagaimana konsep abstrak ini dipakai dalam analisis sosiologi. Sehingga yang di dapat adalah organisasi konsep dalam bentuk sistem analisa yang mencakup persoalan dunia tanpa terganggu oleh detail empiris.

Sistem tindakan diperkenalkan parson dengan skema AGILnya yang terkenal. Parson meyakini bahwa terdapat empat karakteristik terjadinya suatu tindakan, yakni Adaptation, Goal Atainment, Integration, Latency. Sistem tindakan hanya akan bertahan jika memeninuhi empat criteria ini. Dalam karya berikutnya , The Sociasl System, Parson melihat aktor sebagai orientasi pada situasi dalam istilah motivasi dan nilai-nilai. Terdapay berberapa macam motivasi, antara lain kognitif, chatectic, dan evaluative. Terdapat juga nilai-nilai yang bertanggungjawab terhadap sistem sosoial ini, antara lain nilai kognisi, apresiasi, dan moral. Parson sendiri menyebutnya sebagai modes of orientation. Unit tindakan olehkarenaya melibatkan motivasi dan orientasi nilai dan memiliki tujuan umum sebagai konsekuensi kombinasi dari nilai dan motivasi-motivasi tersebut terhadap seorang aktor.

Karya Parson dengan alat konseptual seperti empat sistem tindakan mengarah pada tuduhan tentang teori strukturalnya yang tidak dapat menjelaskan perubahan sosial. Pada tahun 1960, studi tentang evolusi sosial menjadi jawaban atas kebuntuan Parson akan perubahan sosial dalam bangunan teori strukturalnya. Akhir dari analisis ini adalah visi metafisis yang besar oleh dunia yang telah menimpa eksistensi manusia. Analisis parson merepresentasikan suatu usaha untuk mengkategorisasikan dunia kedalam sistem, subsistem, persyaratan-persyaratan system, generalisasi media dan pertukaran menggunakan media tersebut. Analisis ini pada akhirnya lebih filosofis daripada sosiologis, yakni pada lingkup visi meta teori. Pembahasan mengenai fungsionalisme Merton diawali pemahaman bahwa pada awalnya Merton mengkritik beberapa aspek ekstrem dan keteguhan dari structural fungsionalisme, yang mengantarkan Merton sebagai pendorong fungsionalisme kearah marxisme. Hal ini berbeda dari sang guru, Talcott Parson mengemukakan bahwa teorisi structural fungsional sangatlah penting.Parson mendukung terciptanya teori yang besar dan mencakup seluruhnya sedangkan parson lebih terbatas dan menengah.

Seperti penjelasan singkat sebelumnya, Merton mengkritik apa yang dilihatnya sebagai tiga postulat dasar analisis fungsional( hal ini pula seperti yang pernah dikembangkan oleh Malinowski dan Radcliffe brown. Adapun beberapa postulat tersebut antara lain:

* Kesatuan fungsi masyarakat , seluruh kepercayaan dan praktik sosial budaya standard bersifat fungsional bagi masyarakat secara keseluruhan maupun bagi individu dalam masyarakat, hal ini berarti sistem sosial yang ada pasti menunjukan tingginya level integrasi. Dari sini Merton berpendapat bahwa, hal ini tidak hanya berlaku pada masyarakat kecil tetapi generalisasi pada masyarakat yang lebih besar.
* Fungsionalisme universal , seluruh bentuk dan stuktur sosial memiliki fungsi positif. Hal ini di tentang oleh Merton, bahwa dalam dunia nyata tidak seluruh struktur , adat istiadat, gagasan dan keyakinan, serta sebagainya memiliki fungsi positif. Dicontohkan pula dengan stuktur sosial dengan adat istiadat yang mengatur individu bertingkah laku kadang-kadang membuat individu tersebut depresi hingga bunuh diri. Postulat structural fungsional menjadi bertentangan.
* Indispensability, aspek standard masyarakat tidak hany amemiliki fungsi positif namun juga merespresentasikan bagian bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan. Hal ini berarti fungsi secara fungsional diperlukan oleh masyarakat. Dalam hal ini pertentangn Merton pun sama dengan parson bahwaada berbagai alternative structural dan fungsional yang ada di dalam masyarakat yang tidak dapat dihindari.

Argumentasi Merton dijelaskan kembali bahwa seluruh postulat yang dijabarakan tersebut berstandar pada pernyataan non empiris yang didasarakan sistem teoritik. Merton mengungkap bahwa seharusnya postulat yang ada didasarkan empiric bukan teoritika. Sudut pandangan Merton bahwa analsisi structural fungsional memusatkan pada organisasi, kelompok, masyarakat dan kebudayaan, objek-objek yang dibedah dari structural fungsional harsuslah terpola dan berlang, merespresentasikan unsure standard.

Awalnya aliran fungsionalis membatasi dirinya dalam mengkaji makamirakat secara keseluruhan, namun Merton menjelaskan bahwa dapat juga diterapkan pada organisasi, institusi dan kelompok. Dalam penjelasan ini Merton memberikan pemikiran tentang the middle range theory. Merton mengemukakan bahwa para ahli sosiologi harus lebih maju lagi dalam peningkatan kedisiplinan dengan mengembangkan “teori-teori taraf menengah” daripada teori-teori besar. Teori taraf menengah itu didefinisikan oleh Merton sebagai : Teori yang terletak di antara hipotesa kerja yang kecil tetapi perlu, yang berkembang semakin besar selama penelitian dari hari ke hari, dan usaha yang mencakup semuanya mengembangkan uato teori terpadu yang akan menjelaskan semua keseragaman yang diamati dalam perilaku social. Teori taraf menengah pada prinsipnya digunakan dalam sosiologi untuk membimbing penelitian empiris. Dia merupakan jembatan penghubung teori umum mengenai istem social yang terlalu jauh dari kelompok-kelompok perilaku tertentu, organisasi, ddan perubahan untuk mempertanggungjawabkan apa yang diamati, dan gambaran terinci secara teratur mengenai hal-hal tertentu yang tidak di generaliasi sama sekali. Teori sosiologi merupakan kerangka proposisi yang saling terhubung secara logis dimana kesatuan empiris bisa diperoleh.

The middle range theory adalah teori-teori yang terletak pada minor tetapi hipotesis kerja mengembangkan penelitian sehari-hari yang menyeluruh dan keseluruhan upaya sistematis yang inklusif untuk mengembangkan teori yang utuh. The middle range theory Merton ini memiliki berbagai pemahaman bahwa secara prinsip digunakan untuk panduan temuan-temuan empiris, merupakan lanjutan dari teori system social yang terlalu jauh dari penggolongan khusus perilaku social, organisasi, dan perubahan untuk mencatat apa yang di observasi dan di deskripsikan, meliputi abstraksi, tetapi ia cukup jelas dengan data yang terobservasi untuk digabungkan dengan proposisi yang memungkinkan tes empiris dan muncul dari ide yang sangat sederhana. Dalam hal ini Merton seakan melakukan tarik dan menyambung, artinya apa yang dia kritik terhadap fungsionalis merupakan jalan yang dia tempuh untuk menyambung apa yang dia pikirkan. Atau dianalogikan, Merton mengambil bangunan teori kemudian di benturkan setelah itu dia perbaiki lagi dengan konseptual yang menurut kami sangat menarik.

Para stuktural fungsional pada awalnya memustakan pada fungsi dalam struktru dan institusi dalam amsyarakat. Bagi Merton hal ini tidaklah demikian, karrena dalam menganalis hal itu , para fungsionalis awal cenderung mencampur adukna motif subjektif individu dengan fungsi stuktur atau institusi. Analisis fungsi bukan motif individu. Merton sendiri mendefinisikan fungsi sebagai konsekuensi-konsekuensi yang didasari dan yang menciptakan adaptasi atau penyesuian, karena selalu ada konsekuensi positif. Tetapi , Merton menambahkan konsekuensi dalam fakta sosial yang ada tidaklah positif tetapi ada negatifnya. Dari sini Merton mengembangkan gagasan akan disfungsi. Ketika struktur dan fungsi dpat memberikan kontribusi pada terpeliharanya sistem sosial tetapi dapat mengandung konsekuensi negative pada bagian lain.Hal ini dapat dicontohkan, struktur masyarakat patriarki c memberkan kontribusi positif bagi kaum laki-laki untuk memegang wewenang dalam keputusan kemasyarakatan, tetapi hal ini mengandung konsekuensi negative bagi kaum perempuan karena aspirasi mereka dalam keputusan terbatas. Gagasan non fungsi pun , dilontarkan oleh Merton. Merton mengemukakan nonfungsi sebagai konsekuensi tidak relevan bagi sistem tersebut. Dapatkonsekuensi positif dimasa lalu tapi tidak dimasa sekarang.Tidaklah dapat ditentukan manakah yang lebih penting fungsi-fungsi positif atau disfungsi. Untuk itu Merton menambahkan gagasan melalui keseimbangan mapan dan level analisis fungsional.

Dalam penjelasan lebih lanjut , Merton mengemukakan mengenai fungsi manifest dan fungsi laten.Fungsi manifest adalah fungsi yang dikehendaki, laten adalah yang tidak dikehendaki.Maka dalam stuktur yang ada, hal-hal yang tidak relevan juga disfungso laten dipenagruhi secara fungsional dan disfungsional. Merton menunjukan bahwa suatu struktur disfungsional akan selalu ada. Dalam teori ini Merton dikritik oleh Colim Campbell, bahwa pembedaan yang dilakukan Merton dalam fungsi manifest dan laten , menunjukan penjelasan Merton yang begitu kabur dengan berbagari cara. Hal ini Merton tidak secara tepat mengintegrasikan teori tindakan dengan fungsionalisme. Hal ini berimplikasi pada ketidakpasan antara intersionalitas dengan fungsionalisme structural. Kami rasa dalam hal ini pun Merton terlalu naïf dalam mengedepankan idealismenya tentang struktur dan dengan beraninya dia mengemukakan dia beraliran fungsionalis, tapi dia pun mengkritik akar pemikiran yang mendahuluinya. Tetapi, lebih jauh dari itu konsepnya mengenai fungsi manifest dan laten telah membuka kekauan bahwa fungsi selalu berada dalam daftar menu struktur. Merton pun mengungkap bahwa tidak semua struktur sosial tidak dapat diubah oleh sistem sosial. Tetapi beberapa sistem sosial dapat dihapuskan. Dengan mengakui bahwa struktur sosia dapat membuka jalan bagi perubahan sosial.

Analisi Merton tentang hubungan antara kebudayaan, struktur, dan anomi. Budaya didefinisikan sebagai rangkaian nilai normative teratur yang mengendalikan perilaku yang sama untuk seluruh anggota masyarakat. Stuktur sosial didefinisikans ebagai serangkaian hubungan sosial teratur dan memeprnagaruhi anggota masyarakat atau kelompok tertentu dengan cara lain. Anomi terjadi jika ketika terdapat disjungsi ketat antara norma-norma dan tujuan cultural yang terstruktur secara sosial dengan anggota kelompok untuk bertindak menurut norma dan tujuan tersebut. Posisi mereka dalam struktur makamirakat beberapa orang tidak mampu bertindakm menurut norma-norma normative . kebudayaan menghendaki adanya beberapa jenis perilaku yang dicegah oleh struktur sosial. Merton menghubungkan anomi dengan penyimpangan dan dengan demikian disjungsi antara kebudayan dnegan struktur akan melahirkan konsekuensi disfungsional yakni penyimpangan dalam masyarakat. Anomi Merton memang sikap kirits tentang stratifikasi sosial, hal ini mengindikasikan bahwa teori structural fungsionalisme ini aharus lebih kritis dengan stratifikasi sosialnya. Bahwa sturktur makamirakat yangselalu berstratifikasi dan masing-masing memiliki fungsi yang selama ini diyakini para fungsionalis, menurut dapat mengindikasikan disfungsi dan anomi. Dalam hal ini kami setuju dengan Merton,dalam sensory experiences yang pernah kami dapatkan, dimana ada keteraturan maka harus siap deng ketidakteraturan, dalam struktur yang teratur, kedinamisan terus berjalan tidak pada status di dalamnya tapi kaitan dalama peran. Anomi atau disfungsi cenderung hadir dipahami ketika peran dalam struktu berdasarkan status tidak dijalankan akibat berbagai factor. Apapun alasannya anomi dalam struktur apalagi yang kaku akan cenderung lebih besar. Dari sini, Merton tidak berhenti dengan deskripsi tentang struktur , akan tetapi terus membawa kepribadian sebagai produk organisasi struktur tersebut. Pengaruh lembaga atau struktur terhadap perilaku seseorang adalah merupakan tema yang merasuk ke dalam karya Merton, lalu tema ini selalu diilustrasikan oleh Merton yaitu the Self Fullfilling Prophecy serta dalam buku Sosial structure And Anomie. Disini Merton berusaha menunjukkan bagaimana struktur sosial memberikan tekanan yang jelas pada orang-orang tertentu yang ada dalam masyarakat sehingga mereka lebih , menunjukkan kelakuan non konformis ketimbang konformis. Menurut Merton, anomie tidak akan muncul sejauh masyarakkat menyediakan sarana kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuan kultur tersebut.

Dari berbagai penajabaran yang ada Pemahaman Merton membawa pada tantangan untuk mengkonfirmasi segala pemikiran yang telah ada. Hal ini terbukti dengan munculnya fungsionalisme gaya baru yang lebih jauh berbeda dengan apa yang pemikiran Merton. Inilah bukti kedinamisan ilmu pengetahuan, tak pelak dalam struktural fungsionalisme.

Teori Sosiologi Modern

A. Teori Interaksionisme Simbolis
Talcott merupakan seorang tokoh sosiologi modern yang mengembangkan gagasan interaksionisme simbolis menjadi funsionalisme stuktural. Hal ini dapat kita lihat dalam karya pertamanya yang mengenai analisis fungsional “the social system” pada tahun 1951. dalam karya berikutnya parson secara rinci menguraikan funsi sebagai struktur demi mempertahankan sistem sosial. Konsep awal Parsons mengenai sistem sosial berawal pada interaksi tingkat mikro antara ego dan alter-ego yang didefenisikan sebagai bentuk sistem sosial yang paling mendasar.
Interaksionisme adalah sebuah teori tentang individu, tindakan sosial, yang dalam bentuknya yang paling distingtif tidak berusaha untuk juga menjadi suatu teori tentang masyarakat “kesengajaan yang terbentuk oleh kesengajaan”. Pendekatan dalam teori ini lebih tergantung pada tradisi-verbal-informal daripada buku-buku teks yang mapan. Pendekatan ini meenggambarkan tentang pragmatis dari mazhab filsafat Amerika yang unik, mengenai penafsiran sosiologis terhadap ekologi dan tentang metode-metode lapangan yang dikembangkan oleh antropolog. Kemudian dicatat oleh oleh para fungsionalis, pendekatan ini kuat dari segi empiris tetapi lemah dari segi teori.
Sistem-sistem sosial dan struktur-struktur peranan kadang-kadang dilihat sebagai hasil dari tindakan sosial dan kadang-kadang sebaliknya, tetapi semuanya secara mendasar merupakan hal yang sama : suatu teori mengenai pribadi-pribadiditurunkan menjadi sebuah teori mengenai masyarakat.
Interaksionisme simbolik tidak membuat hal ini berganti : ia tetap dengan tindakan sosial dan walaupun secara impilisit dia melihat struktur-struktur sosial sebagai struktur-struktur perandi dalam cara yang sama seperti dilakukan oleh pendekatan-pendekatan lain, dia tidak melibatkan dirinya dengan analisa atas tingkat sistem.
Para penganut teori interaksionisme simbolik menyepakati beberapa hal :
1. Terdapat kesepakatan bahwa manusia merupakan mahluk yang mampu menciptakan dan menggunakan simbol;
2. Bahwa manusia memakai simbol untuk saling berkomunikasi;
3. Manusia berkomunikasi melalui pengambilan peran (role taking);
4. Masyarakat tercipta, bertahan dan berubah berdasarkan kemampuan manusia untuk berpikir, untuk mendefinisikan, untuk melakukan renungan dan untuk melakukan evaluasi.
Dalam teorinya parson memandang sistem sosial sebagai bagian dari tindakan sosial yang terorganisir. Masyarakat merupakan contoh kongrit dari suatu sistem sosial. Sistem ini cenderung bergerak kearah keseimbangan atau stabilitas. Dengan kata lain ketaraturan merupakan norma sosial. Bilamana terjadi kekacauan dalam norma sosial, maka sistem sosial mengadakan penyesesuain terhadap norma yang ada.
Pandangan parsons tentang masyarakat sebagai suatu sistem keseimbangan mengarah pada pendapat Pareto, sedangkan pandangan Parsons tentang integrasi sosial dilatar belakangi oleh Emili Durkheim.
Untuk membantunya dalam mengembangkan teori sistem sosial, parsons mendesain skema AGIL, yaitu :
Adaptations : Sebuah sistem harus mengulangi sistem eksternal yang gawat. Sistem harus menyelsaikan diri dengan lingkungannya dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya.
Goal Attaiment : sebuah sistem harus mendefenisikan dan mencapai tujuan utamanya.
Iategrattions : Sebuah sistem harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelola antar hubungan fungsi penting lainnya.
Latency : sebuah sistem harus memperlengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.

Meskipun parsons berkomitmen untuk melihat sistem sosial sebagai sebuah interaksi, namun ia tak menggunakan interaksi sebagai unit fundamental dalam studi tentang sistem sosial. Ia malah menggunakan status-peran sebagai unit dasar dari sistem.
Sistem sosial terdiri dari sejumlah aktor individu yang saling berinteraksi dalam situasi sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik. Aktor-aktor yang mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecendrungan untuk mengoptimalkan kepuaasan yang hubungannya dengan situasi mereka defenisikan dan di mediasi dalam term sistem simbol bersama yang terstruktur secara kultur ( Parsons, 1951 : 5-6 ).
Walaupun konsep tindakan sosial tetap dipakai sebagai dasar teori, perburuan intelektual parsons secara perlahan ternyata bergeser dari tekanan atas tindakan sosial ke struktur-struktur dan fungsi masyarakat. Maksudnya konsep dasar dari sistem sosial tidak terhenti sampai di sana, perubahan ini di karenakan banyaknya pengaruh dari pemikiran-pemikiran para ahli sebelumnya yang telah dulu mencetuskan teori tindakan sosial.

B. Teori Sosiologis Imaginations
Dengan imajinasi sosiologis seseorang dapat memahami padangan historis yang lebih luas, dari segi pengertiannya terhadap hakekat kehidupan dan kebutuhan kehidupan berbagi individu. Dengan menggunakan itu dia dapat melihat bagaimana individu-individu, dalam keruwetan pengalaman sehari-harinya sering mengisruhkan posisi sosial mereka. ( wills, 1959 : 5).
Keradikalan Mills dalam mengungkap fenomena sosial menjadikannya ia tersingkir dan menjadi ahli pinggiran dalam kancah sosiologi Amerika. Analisis marxian, adalah karya Mill mengenai sosiologi radikal. Pada tahun 1950-an, Mills menulis sebuah buku yang mengkaji masalah revolusi komunis di Kuba dan pada tahun 1962 menerbitkan buku berjudul The Marxists. Bukunya yang terkenal adalah The Sociological Imagination (1959). Isi buku tersebut diantaranya adalah upaya kritik Mills terhadap Talcott Parsons. Tiga komponen yang membentuk imajinasi sosiologis adalah
Sejarah : Bagaimana masyarakat yang akan datang dan bagaimana berubah dan bagaimana sejarah sedang berlangsung di dalamnya.
Biografi : Sifat "sifat manusia" di masyarakat, apa saja yang mendiami orang-orang tertentu masyarakat.
Struktur social : Bagaimana berbagai institusi pesanan beroperasi dalam sebuah masyarakat, yang mana yang dominan, bagaimana mereka diselenggarakan bersama, bagaimana mungkin mereka akan berubah,

Imajinasi sosiologis yang memungkinkan kita untuk pegang sejarah dan biografi dan hubungan antara kedua dalam masyarakat. mereka pasti pertanyaan dibangkitkan oleh pikiran yang memiliki imajinasi sosiologis. Untuk itu imajinasi adalah kemampuan untuk berubah dari satu perspektif lain - dari politik ke psikologis; pemeriksaan dari satu keluarga ke komparatif penilaian dari anggaran nasional dunia; dari teologi ke sekolah militer pendirian; dari pertimbangan dari industri minyak studi ke puisi kontemporer. Ini adalah kemampuan untuk mulai dari yang paling adil dan jauh ke dalam Bahasa Inggris yang paling intim fitur dari manusia sendiri - dan untuk melihat hubungan antara keduanya. Kembali dari penggunaannya selalu ada keinginan untuk mengetahui sejarah dan sosial yang berarti masing-masing di masyarakat dan di masa di mana ia memiliki kualitas dan dia sedang (1959: 6-7)
Menurut teori ini seorang sejarhwan harus menguasai imaginasi sosiologi dalam penelitannya. Dengan menggunakan metode ini para sejarahwan bisa memperkirakan tingkah laku masyarakat pada zaman dahulu. Selain metode ini, sejarahwan ini juga membutuhkn psikologi sosiologi, untuk mengetahui perkembangan watak dan pemikiran para aktos sejarah yang ia teliti.
Karena adanya sebuah imajinasi seorang lebih tertarik akan peristiwa masa lampau. Kertetarikan ini tidak hanya untuk mereka-reka saja, melainkan untuk merekonsrtuksikan kembali kehidupan masyarakat masa lampau kepada masyarakat sekarang ini. Dengan adanya gambaran persitiwa masa lampau tersebut kita bias mengambil pelajaran untuk menempuh masa yang akan datang.

KELAS DAN SEKOLAH SEBAGAI SISTEM SOSIAL

Latar Belakang
Perkembangan peserta didik merupakan suatu aspek pendidikan dimana seorang guru dituntut untuk memahami dan mengawal dalam setiap tahap perkembangan, agar proses pendidikan dapat berhasil sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pendidik dan peserta didik.
Perkembangan itu pun harus dikawal dalam semua lingkungan peserta didik, meliputi: lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Lingkungan-lingkungan itu yang banyak mempengaruhi pola pikir dan dan tingkah laku seorang peserta didik. Dan suasana yang diciptakan dari lingkungan-lingkungan tersebut itu yang akan menjadi budaya bagi peserta didik.
Kebudayaan sekolah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pola perilaku anak didik, terutama dalam proses belajar mengajar. Ternyata apa yang dihayati oleh siswa seperti sikap dalam belajar, sikap terhadap kewibawaan, dan sikap terhadap nilai-nilai tidak berasal dari kurikulum sekolah yang formal, melainkan berasal dari kebudayaan sekolah itu.
Maka dari tu, segala aspek yang menjadi unsur sekolah berpengaruh pada pola pikir peserta didik. Baik berupa lokasi sekolah, tata kelas, sistem sosial yang ada di sekolah, dan lain sebagaimana.

PEMBAHASAN
KELAS DAN SEKOLAH SEBAGAI SISTEM SOSIAL

A. Kelas sebagai Sistem Sosial
Sekolah merupakan institusi sosial yang tidak luput dari pengaruh-pengaruh kebudayaan-kebudayaan. Sebagai institusi, sekolah mempunyai sistem sosial, organisasi yang unik, termasuk pola interaksi sosial diantara para anggotanya, yang selanjutnya disebut dengan kebudayaan sekolah.
Dalam struktur kelas terdapat dalam perspektif sosiologi, kelas merupakan bagian dari mikrososiologi yang menelaah kehidupan kelompok sosial di sekolah dengan keseluruhan dinamika yang terjadi di dalamnya. Di sana terdapat gabungan dari individu-individu yang membentuk suatu kelompok sosial yang teratur dan memiliki fungsi dan peran yang kompleks dalam kacamata pendidikan.
Menurut Emile Durkheim, sebagaimana dikutip oleh Sanapiah Faisal, bahwa kelas dikenal sebagai masyarakat kecil, moralitas yang seimbang dengan besar ukuranya, corak elemen, dan fungsinya. Di pihak lain, masyarakat kelas agak berbeda dengan masyarakat keluarga. Masyarakat kelas lebih banyak mendekati kelas orang dewasa pada umumnya. Dalam kenyataannya, jumlah orang dalam masyarakat kelas relatif lebih besar dibandingkan dengan masyarakat keluarga.
Ruang kelas memenuhi standar definisi kelompok sosial karena sekumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi (Horton dan Hunt, 1984). Hakikat keberadaan kelompok sosial bukan tergantung dari dekatnya jarak fisik, melainkan pada kesadaran untuk berinteraksi, sehingga kelas bersifat permanen dan tidak hanya suatu agregasi atau kolektivitas semata. Pada akhirnya, peran dan fungsi yang diembannya dalam struktur pendidikan lebih terjamin.

1. Struktur Sosial Kelas
Ruang kelas merupakan miniatur dari kelompok yang lebih besar, yaitu masyarakat karena di sana berkumpul person-person dari latar belakang status sosial dan ekonomi yang berbeda-beda, meskipun dengan struktur profesi dan peran yang sama. Beberapa ciri khas struktur kelas yang memiliki kesamaan dengan masyarakat adalah sebagai berikut:
Komposisi Anggota Heterogenitas adalah aspek umum yang hampir selalu ada dikelas manapun. Di sana, selain latar belakang kehidupan yang berbeda-beda, juga terdapat perbedaan jenis kelamin (seksualitas) kecuali di sekolah khusus, keberagaman agama, sampai pada karakteristik individu yang saling berlainan secara fisik maupun psikis yang ditandai dengan perbedaan antar personalnya. Keberagaman komposisi kelas merupakan warna yang biasa, seperti halnya dalam masyarakat karena institusi pendidikan berlaku universal yang memberi kebebasan bagi siapa saja yang memenuhi syarat untuk bergabung.
Struktur Birokratis Berupa Peran dan Status Di dalam kelas yang majemuk itu, terdapat suatu tata aturan kelas yang diikat oleh sekolah dan diperankan oleh wakil-wakil siswa yang disebut pengurus kelas. Lahirlah berbagai “jabatan” yang terbentuk secara hierarkis sesuai dengan tugas dan kewenangan mereka di dalam kelas, baik itu oleh guru yang berperan sebagai wali kelas maupun siswa-siswanya yang terakumulasi dalam jabatan ketua kelas, sekretaris, bendahara, dan seterusnya. Pola imitatif yang dibawa dari lingkup luar masyarakat ini tersusun karena diperlukannya sistem penegakan tata aturan institusi serta pola pengendalian sosial yang ketat mengingat fungsi dunia pendidikan yang sedemikian nyata sehingga memerlukan tindakan konkret untuk pelestarian fungsi institusi dan segenap norma-norma kelas dan sekolah tersebut. Salah satu bentuknya adalah penetapan status birokratis dari unsur-unsur kelas yang merepresentasikan anggota-anggotanya sebagai wujud dari masyarakat kecil.

2. Pola Komunikasi dalam Kelas
Komunikasi menjadi elemen penting dalam segala kegiatan dikelas karena memungkinkan adanya pertukaran interaksi timbal balik antara warga kelas (murid-murid ataupun murid-guru). Selain itu, arti penting komunikasi dalam pencapaian tujuan belajar di kelas adalah untuk mengkomunikasikan dan menyalurkan informasi dan keterampilan.
Konsekuensi logisnya, setiap kelas memerlukan adanya pola alur komunikasi yang berjalansecara lancar dan efektif dari masing-masing pihak. Aktivitas penyampaian informasi dari guru dijelaskan dalam berbagai paparan tentang materi pelajaran beserta penjelasannya yang kadang disertai dengan berbagai tugas dan pertanyaan yang disampaikan kepada murid sebagai bentuk komunikasi dari guru. Sebaliknya siswa bisa merespon dengan bertanya, menjawab, berdiskusi dengan teman sekelas dan sebagainya, manapun dengan aktivitas di luar pelajaran.
Namun, aspek ini tidak sesederhana itu, melainkan dititikberatkan pada peran komunikasi dalam keberlangsungan kelas, sesuai dengan beberapa eksperimen tentang komunikasi kelas oleh beberapa ahli, antara lain oleh Bavelas dan Leavit (dalam Horton dan Hunt, 1999), yang menghasilkan beberapa pola komunikasi yang telah diuji dalam eksperimennya tahun 1958. Hasil eksperimen tersebut mendeskripsikan 4 bentuk komunikasi yang terskema (Horton dan Hunt, 1999).
Hasil kesimpulan dari eksperimen tersebut adalah bahwasanya pola komunikasi mempengaruhi kegiatan, kepuasan, kecepatan dan kecermatan dalam menemukan permasalahan baik pada tingkat individu maupun kelompok. Dua pola keempat (terpusat/setir) di mana dalam pola melingkar terjadi pemerataan peran dan status serta kepemimpinan masing-masing anggotanya, terdapat keaktifan anggota dan seluruh anggotanya puas terhadap kinerja meskipun kelompok masih sedikit melakukan kesalahan dalam memecahkan masalah. Sebaliknya pada tipe yang terpusat, mereka cenderung terorganisasi secara cepat dalam memecahkan masalah dengan kesalahan yang relatif sedikit, kelompok tersebut sangat kuat dan stabil walaupun seluruh kegiatan kelompok itu belum tentu memuaskan semua anggotanya.
Leavit mengatakan bahwasanya pemusatan ini dianggap karena posisi pemimpinnya yang fungsi utamanya menerima, mengorganisasi dan mengirim berita. Dalam hal ini, secara faktor kesemuanya terwujud dalam bentuk kegiatan belajar kelas yang selama ini diterapkan yaitu sentralisasi peran guru yang sangat besar. Selama ini, guru memang menjadi pusat komunikasi kelas dan mendominasi setiap kegiatan penyaluran informasi ini melalui penyampaian materi pelajaran, memberikan pertanyaan, mendeskripsikan penjelasan dan lain sebagainya.
Model komunikasi secara terpusat ini mengandung beberapa implikasi yaitu, pertama, struktur komunikasi kelas dimaksud paling tidak memuaskan seluruh anggota kelompok, kecuali anggota yang paling sentral (dalam hal ini adalah guru). Kedua, tipe kelompok ini dianggap paling produktif dalam menyelesaikan secara tepat tugas-tugas yang jelas strukturnya, akan tetapi hal ini sebenarnya merupakan hasil tindakan orang yang memegang peranan sentral. Pola komunikasi kelompok ini sangat terpusat (highly centralized group) tampak sangat teratur dan efisien dikarenakan tindakan anggotanya yang pasif. Dengan kata lain, komunikasi yang terbentuk hanyalah komunikasi dengan pemimpinnya saja. Dalam sistem ini, pemegang peranan sentral akan banyak bisa belajar dan merasa puas dengan posisi dan kelompoknya akan tetapi efeknya, individu lain tidak banyak memperoleh kesempatan untuk belajar.

3. Iklim Sosial di Kelas
Kelas merupakan perwujudan masyarakat heterogen kecil dimana di dalamnya terdapat variasi komposisi dan hubungan antarpersonal yang melahirkan mekanisme interaksi sosial yang continue. Mekanisme ini terus berlanjut dala lingkup sosialnya (dikelas) dan secara faktual terakumulasi ke dalam bentuk-bentuk hubungan antara individu-individu di dalam suatu kelas ataupun hubungan kelompok. Hal terpenting adalah interelasi yang terjadi antara guru dengan murid yang melambangkan bentuk konkret dari suasana kelas dan membentuk suatu iklim sosial.
Pembentukan iklim sosial kelas sangat bergantung pada variasi hubungan guru-murid serta alur penerimaan informasi dan komunikasi yang kesemuanya dinaungi dalam sebuah koridor gaya kepemimpinan dari seorang guru, baik yang mengikuti kepemimpinan terpusat (sentralistik), demokratis maupun gaya kepemimpinan yang memberi kebebasan penuh (laissez faire) kepada para muridnya. Dari perpaduan itulah terbentuk berbagai macam iklim sosial di kelas yang merefleksikan bentuk hubungan vertikal kelas antara guru- murid dalam kegiatan belajar di dalam kelas yang sangat mempengaruhi keberhasilan siswa dalam kegiatan belajar ataupun bersosialisasi didalamnya.
Menurut Faisal dan Yasik (1985) terdapat enam iklim sosial yang timbul di kelas yaitu sebagai berikut:
Iklim Terbuka
Dalam iklim terbuka ini, tingkah laku guru menggambarkan integrasi antara kepribadian seorang guru sebagai individu dan peranannya sebagai pimpinan di dalam kelas. Dia selain memberikan kritik, juga mau menerima kritikan dari para siswa. Hubungan guru dengan siswa bersifat fleksibel sehingga suasana ini dapat mempertinggi kreativitas siswa karena mereka dapat bekerja sama dan berkreasi tanpa adanya beban mental. Kebijaksanaan yang diambil seorang guru biasanya memberikan kemudahan bagi setiap siswa untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Efeknya, setiap murid biasanya dapat memperoleh kepuasan dalam melaksanakan tugas hubungan ini serta dapat memperlancar jalannya organisasi di kelas maupun organisasi di sekolah yang lebih luas.
b) Iklim mandiri
Dalam bentuk ini, masing-masing mendasarkan pada kemampuan dan tanggung jawab yang mereka miliki. Para siswa mendapatkan kebebasan dari guru untuk mendapatkan kebebasan kebutuhan belajar dan kebutuhan sosial mereka. Mereka tidak terlalu dibebani dengan tugas-tugas yang berat dan menyulitkan mereka. Untuk memperlancar tugas siswa, seorang guru membuat prosedur dan peraturan yang jelas, yang dikomunikasikan di dalam kelas. Yang lebih esensial dalam iklim mandiri ini, antara guru dan siswa bekerja sama dengan baik, penuh tenggang rasa, dan penuh kesungguhan hati. Kepercayaan dan tanggung jawab masing-masing membuat guru memberikan kelongggaran-kelonggaran sehingga kontrol yang ketat tidak diperlukan karena para murid dipercaya memiliki moral yang cukup tinggi.
C) Iklim terkontrol
Dalam iklim terkontrol ini, titik sentral kebijakan seorang guru adalah menekankan pada pencapaian prestasi siswa di kelas, tetapi di sisi lain justru mengorbankan kepuasan kebutuhan sosial siswa. Oleh karena tuntutan ini, para guru menjalankan komando mengajar secara kaku dan keras serta siswa diharuskan menjalankan kegiatan belajar dengan keras. Mereka akhirnya sibuk dengan kesibukannya sendiri-sendiri sehingga tidak bisa mendapat kesempatan untuk membentuk hubungan kerja yang lebih akrab dan sosialitas tinggi. Hubungan pribadi sesama siswa jarang dilaksanakan karena mereka sibuk dengan pekerjaan atau tugas mereka sendiri-sendiri yang dituntut prestasi dan keberhasilan nyata. Fungsi pimpinan sangat dominan karena tidak adanya fleksibilitas dalam organisasi kelas tersebut. Setiap pembelajaran yang telah terjadwal dijalankan secara ketat dan full dan untuk menjaga keberlangsungan belajarnya guru menerangkan aturan yang keras dan disertai sanksi fisik atau nonfisik yang berlaku mulai saat itu juga.
d) Iklim persaudaraan
Pada jenis ini, hubungan yang terjadi antara guru dan siswa sangat erat, baik dalam kegiatan belajar maupun kegiatan di luar itu. Kepuasan terhadap pemenuhan kebutuhan sosial sangat menonjol, tetapi umumnya guru kurang mempunyai kegiatan yang berorientasi pada fase oriented. Para siswa tidak dibebani dengan tugas-tugas yang menyulitkan, sebab guru berusaha agar para siswa dapat bekerja semudah mungkin dan merasa bahagia. Kelas merupakan satu ikatan keluarga sehingga di antara mereka banyak terjalin komunikasi dan saling menasihati. Pendekatan guru terhadap anak didiknya sangat personal walaupun masih memerankan diri mereka sebagai pimpinan. Dalam kelas seperti ini tidak banyak aturan yang digunakan sebagai pedoman sehingga akibatnya tugas belajar kurang diperhatikan. Pengaruh lainnya, prestasi belajar kurang optimal karena tidak pernah mendapatkan kritik.
e) Iklim tertutup
Dalam model ini, seorang guru tidak memberikan kepemimpinan yang memadai kepada para siswa. Ia mengharapkan agar setiap siswa mengembangkan inisiatif masing-masing. Namun ia tidak memberi kebebasan kepada para siswa untuk merealisasikan inisiatif tersebut secara nyata karena tidak adanya keterbukaan dan komunikasi yang efektif. Antara siswa yang satu dengan yang lain kurang dapat bekerja sama dengan baik. Akibatnya, prestasi yang dicapai pun rendah karena seringkali timbul perbedaan persepsi dan pandangan tentang prestasi yang harus ditargetkan. Para guru menerapkan aturan-aturan yang semuanya bersifat sepihak dan kurang memperhatikan kepentingan siswa.

B. Sekolah sebagai Sistem Sosial
1. Sekolah sebagai Organisasi Pendidikan Formal
a. Pengertian Organisasi Formal
Organisasi secara umum dapat diartikan memberi struktur atau susunan yakni dalam penyusunan atau penempatan orang-orang dalam suatu kelompok kerja sama, dengan maksud menempatkan hubungan antara orang dalam kewajiban-kewajiban, hak-hak dan tanggung jawab masing-masing. Penentuan struktur hubungan tugas dan tanggung jawab itu dimaksudkan agar tersusun suatu pola kegiatan untuk menuju ke arah tercapainya tujuan bersama. Dengan kata lain organisasi adalah aktivitas dalam membagi-bagi kerja, menggolong-golongkan jenis pekerjaan, memberi wewenang, menetapkan saluran perintah dan tanggung jawab. Sebagaimana terangkum dalam Liweri (1997) beberapa ahli mengemukakan pengertian tentang organisasi.
Victor A.Thompson, 1969 menyatakan bahwa sebuah organisasi adalah integrasi impersonal dan sangat rasional atas sejumlah spesialis yang bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah disepakati. Chester I. Barnard,1970 mendefinisikan organisasi sebagai sebuah sistem yang memaksakan koordinasi kerja antara dua orang atau lebih. E. Wright Bakke,1967 mengatakan suatu organisasi adalah suatu sistem yang berkelanjutan atas kegiatan manusia yang bermacam-macam dan terkoordinasi berupa pemanfaatan, perubahan dan penyatuan segenap sumber-sumber manusia, materi dan modal, gagasan dan sumber alam untuk memenuhi suatu kebutuhan manusia tertentu dalam interaksinya dengan sistem-sistem kegiatan manusia dan sumber-sumbernya yang lain, dalam suatu lingkungan tertentu.
Masing-masing pendapat di atas berbeda-beda pendekatan definitifnya, sebab hal itu disesuaikan dengan konteks dan perspektif orang yang “mendefinisikannya”. Meskipun begitu dari perspektif yang berbeda-beda dapat kita tarik kesamaan teoritis mengenai organisasi, yaitu sebagai berikut:
1) Mempunyai tujuan tertentu dan merupakan kumpulan berbagai macam manusia;
2) Mempunyai hubungan sekunder (impersonal);
3) Mempunyai tujuan khusus dan terbatas;
4) Mempunyai kegiatan kerja sama pendukung;
5) Terintegrasi dalam sistem sosial yang lebih luas;
6) Menghasilkan barang atau jasa untuk lingkungan, dan sangat terpengaruh dengan setiap perubahan lingkungan.
b. Sekolah sebagai Organisasi
Pada masyarakat modern kehidupan manusia tidak pernah lepas dari pergulatan aktivitasnya dengan organisasi. Secara historis, keberadaan organisasi merupakan cerminan tingkat kemajuan masyarakat yang sudah tinggi. Masyarakat tersebut telah mengembangkan satu bentuk perekat hubungan yang dinamakan solidaritas organik. Jenis solidaritas ini merupakan bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks, masyarakat yang telah mengenal pembagian kerja secara rinci dan dipersatukan oleh rasa ketergantungan antar bagian. Tiap anggota menjalankan peran berbeda dan di antara berbagai peran tersebut menumbuhkan rasa saling tergantung seperti layaknya sistem hubungan antarbagian dalam organisme biologis.
Masyarakat modern memanfaatkan fungsi lembaga-lembaga sosialnya dengan pola hubungan dan orientasi sistem jaringan kerja yang sistematis, termekanisasi dalam pola-pola kegiatan yang formal, impersonal, terstruktur dan rasional. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari kita tidak bisa lepas dari organisasi.
Dalam hal pendidikan masyarakat membutuhkan sekolah, universitas maupun institusi departemen yang mengelola sistem pendidikan negara. Pelayanan kebutuhan konsumsi manusia telah diambil alih oleh produk-produk industri barang dan jasa, distribusi dengan sarana transportasi berteknologi tinggi serta melengkapinya dengan lapangan profesi pekerjaan yang spesifik. Masyarakat membutuhkan rumah sakit untuk melayani penderita, “plaza” untuk perbelanjaan, bank untuk menyimpan dan mengambil uang, hotel untuk menginap, kantor pemerintah untuk melayani urusan pemerintah atau pembangunan dan kemasyarakatan. Tidak mengherankan apabila seluruh masyarakat memusatkan perhatiannya terhadap organisasi, terutama melalui tampilan peran, tugas dan fungsi organisasi.
Untuk dunia pendidikan, kerangka sosiologi sebagai ilmu kemasyarakatan menunjukkan bahwa masyarakat sangat memerlukan kehadiran organisasi pendidikan beserta institusi sosialnya guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Oleh karena itu, keberadaan sekolah sebagai salah satu institusi pendidikan formal merupakan keniscayaan historis dari tingkat perkembangan pranata sosial lembaga pendidikan di zaman modern. Sekolah sebagai inti pranata pendidikan manusia modern sudah seharusnya menggunakan perangkat-perangkat yang dimiliki organisasi modern.
Dari wujudnya, sekolah merupakan organisasi yang memiliki komponen- komponennya dan memenuhi persyaratan sebagai sebuah organisasi formal. Beberapa kriteria organisasi yang diuraikan di bagian atas dapat kita lihat manifestasi spesifik dalam lembaga sekolah. Pertama, seperti halnya organisasi bisnis atau sebuah rumah sakit sekolah memiliki tujuan kelembagaan yang jelas. Kedua, dalam organisasi sekolah juga terdapat pola jaringan kerja dari sejumlah posisi yang saling berkaitan (seperti guru, supervisor dan adminsitrator) dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Analisis organisasional mengetengahkan bahwa sekolah mengemban fungsi sebagai lembaga yang memberi pengetahuan dan keterampilan kepada anak didik, dengan mengkoordinasikan individu-individu yang memiliki tugas dan peran yang berbeda- beda dalam satuan jaringan kerja yang bersifat fungsional.
Guru secara formal bertugas mengajar dan mengelola pembelajaran dengan para siswanya di kelas Supervisor berfungsi mengadakan pembinaan kepada para guru, agar kinerja mereka berlangsung secara efektif dan efisien, sementara tugas administratur sekolah untuk mengkoordinasikan dan memadukan berbagai ragam aktivitas dalam lingkungan sekolah. Sebagai organisasi, sekolahpun memanfaatkan prinsip-prinsip birokrasi dalam melayani kerja dan agenda-agenda aktivitasnya. Organisasi formal (termasuk sekolah) menggunakan sebuah pola hubungan yang bersifat legal rasional untuk menggerakkan roda organisasi. Sistem jabatan ini dinamakan birokrasi (bureaucracy) yang berarti pengaturan atau pemerintahan oleh pejabat. Menurut Reinhard Bendix,1960 (dalam Robinson,1981) organisasi birokrasi mengandung sejumlah prinsip yaitu sebagai berikut:
1) Urusan kedinasan dilaksanakan secara berkesinambungan;
2) Urusan kedinasan didasarkan pada aturan dalam suatu badan administratif;
3) Tanggung jawab dan wewenang tiap pejabat merupakan bagian dari suatu hierarki wewenang;
4) Pejabat dan pegawai administratif tidak memiliki sarana dan prasarana yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas;
5) Para pemangku jabatan tidak dapat memperjualbelikan jabatan; dan
6) Urusan kedinasan dilaksanakan dengan menggunakan dokumentasi tertulis.
Beberapa prinsip birokrasi tersebut diterapkan dalam komposisi peran dan tugas pada masing-masing warga di sekolah. Semuanya disusun menjadi satu susunan struktur kepemimpinan birokratis di mana kepala sekolah menempati pucuk pimpinan formal. Apabila kita amati bersama pusat pelayanan administrasi telah dilimpahkan pada para staf administrasi, para guru dan pejabat struktural lain melaksanakan fungsi tugasnya sesuai status dan wewenangnya. Murid-murid melakukan tertib kegiatan sebagai pelajar dan bahkan sampai petugas kebersihan sekolah sekalipun juga menjadi salah satu bagian penting dari komposisi peran fungsional yang dilembagakan oleh sekolah. Sehingga di lingkungan sekolah tidak ada seorang individupun yang tercecer statusnya dari jangkauan kekuasaan organisasi.
Selain itu posisi kelembagaan sekolah juga tidak bisa lepas dari konstruksi kekuatan sistem pendidikan makro yang menaungi keberadaan sekolah. Baik sekolah negeri maupun swasta selalu menjadi wilayah koordinasi lembaga dinas pendidikan di tingkat kota, provinsi bahkan sampai kepada departemen terkait di lingkup nasional. Meskipun pengaruh susunan kekuatan lembaga tersebut bersifat gradual di mana semakin memuncak maka koordinasi teknis terhadap sekolah semakin menipis namun dari pengertian tersebut dapat ditarik suatu wilayah luas yang memperlihatkan jaringan koordinasi kelembagaan dalam sebuah mekanisme organisasi besar berkapasitas makro dan sekolah merupakan bagian-bagian kecil dari lembaga tersebut.
Terminologi sosiologi juga mengungkapkan bahwa organisasi tidak sekadar dipandang suatu kesatuan yang bersifat statis belaka melainkan merupakan sebuah bentuk kesatuan yang selalu dinamis dan sifatnya tergantung pada makna yang diberikan anggota, masyarakat luar serta para klien yang memanfaatkan jasa organisasi (Miflen, 1985). Sebagaimana penuturan August Comte, 1844 ( dalam Sunarto, 2000) mengungkap bahwa lingkup kajian sosiologi mencakup dua bagian besar yakni statika sosial, yaitu
Suatu kajian terhadap tatanan sosialnya dan dinamika sosial, yaitu suatu kajian terhadap perubahan dan perkembangan sosialnya. Menurut Comte tersebut, kacamata sosiologi melihat organisasi melalui dua aspek pandangan tersebut. Pertama, organisasi dalam koridor statika sosial akan melandasi pembahasan pada aspek struktur, tatanan peran dan fungsi-fungsi formal yang melekat di dalam organisasi. Sedangkan yang kedua yakni segi dinamika sosialnya mengamati dan mempelajari segala bentuk hubungan dinamika para anggota, perubahan-perubahan kontruksi, bermacam interpretasi dan persepsi para anggotanya, ataupun konflik-konflik yang muncul. Sehingga selain memiliki struktur peranan formal, sebuah organisasi akan merangkul pula aneka ragam makna yang ditangkap berbagai macam orang.
Secara sederhana sekurang-kurangnya ada 4 jenis sasaran organisasi sekolah, di mana masing-masing sasaran akan mencakup titik tolak pandangan terhadap organisasi sekolah. Dari empat sasaran tersebut akan kita dapatkan pengertian yang cukup lengkap tentang kompleksitas organisasi sekolah.
Pertama, sasaran formal. Ruang lingkup sasaran ini meliputi tujuan formal dari sebuah organisasi. Wujud dari sasaran ini tercantum dalam aturan-aturan tertulis, konstitusi dan segala ketentuan formal yang melandasi orientasi organisasi. Sekolah sebagai lembaga pendidikan sudah semestinya mempunyai organisasi yang baik agar tujuan pendidikan formal ini tercapai sepenuhnya. Kita mengetahui unsur personal di dalam lingkungan sekolah adalah kepala sekolah, guru, karyawan dan murid. Di samping itu sekolah sebagai lembaga pendidikan formal ada dibawah instansi atasan baik itu kantor dinas atau kantor wilayah departemen yang bersangkutan.
Di negara kita, kepala sekolah adalah jabatan tertinggi di sekolah itu, sehingga ia berperan sebagai pemimpin sekolah dan dalam struktur organisasi sekolah ia didudukkan pada tempat paling atas. Tuntutan formal organisatoris menghendaki agar tugas- tugas dan tanggung jawab dalam menjalankan penyelenggaraan sekolah untuk mencapai tujuan dibagi secara merata dengan baik sesuai dengan kemampuan, fungsi dan wewenang yang telah ditentukan. Melalui struktur organisasi yang ada tersebut, orang akan mengetahui apa tugas dan wewenang kepala sekolah, tugas guru dan karyawan sekolah.
Kedua, sasaran informal. Organisasi pada umumnya tidak sepenuhnya bekerja sesuai ketentuan-ketentuan formal. Dalam banyak hal, mereka dimodifikasi oleh masing-masing anggotanya sesuai dengan kapasitas pemaknaan kesadaran mereka tentang organisasi. Di sekolah, seorang kepala sekolah mungkin mendapat tanggung jawab sebagai pemimpin dan penguasa formal tertinggi. Akan tetapi penerimaan, pola pikir dan tingkah laku kepala sekolah tersebut adalah konstruksi pemahaman subjektifnya dalam melangsungkan hubungan dengan berbagai pihak di lingkungan sekolahnya. Sehingga sasaran informal merupakan interpretasi dan modifikasi sasaran-sasaran formal dari seluruh anggota yang terlibat langsung pada wadah organisasi. Sasaran ini mencakup pula persepsi masing-masing individu dan menjadi tujuan kegiatan pribadi di dalam organisasi. Masing-masing siswa tentunya memiliki tujuan yang bervariasi dalam melangsungkan statusnya sebagai pelajar. Mungkin ada yang berharap mendapat prestasi akademik tinggi atau mengidamkan ijasah dan tidak sedikit pula yang sekadar menjalankan tradisi masyarakat. Seorang guru dapat saja mengajar hanya untuk mencari gaji namun banyak pula yang masih berpegang teguh pada loyalitas pekerjaan sebagai seorang pendidik.
Ketiga, sasaran ideologis. Sebagaimana tersirat di dalam istilah tersebut, sasaran ini menyangkut seperangkat sistem eksternal atau sistem nilai yang diyakini bersama. Dalam hal ini, nuansa budaya pada pengertian sebagai suatu sistem pengetahuan, gagasan dan ide yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat yang berfungsi sebagai landasan pijak dan pedoman bagi masyarakat itu dalam bersikap dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial tempat mereka bernaung (Goodenough, 1971; Spradley, 1972; Geertz, 1973) dalam Sairin (2002) merupakan penjabaran dari dari pengaruh ideologis terhadap organisasi. Sasaran ini menyoroti pengaruh interaktif kultur-ideologis yang dianut oleh sebagian besar manusia dalam menangkap, menyikapi dan merespon eksistensi organisasi. Masyarakat kita memiliki semangat yang tinggi untuk meraih prestasi vertikal, sementara sekolah merupakan wadah yang cukup strategis bagi manusia untuk menopang ambisi mobilitas vertikalnya. Maka bisa diasumsikan hampir sebagian besar warga sekolah maupun masyarakat akan mengarahka keyakinan kultural tersebut dalam memaknai keberadaan sekolah.
Keempat, sasaran-sasaran lain yang kurang begitu kuat. Penekanan sasaran ini akan menonjol pada suatu proses aktivitas organisasi yang tengah mempertahankan eksistensinya dalam situasi di luar kondisi biasa. Berkurangnya pendaftaran disekolah-sekolah dan universitas dapat merubah secara luas peran para guru atau organisasi ruang sekolah, termasuk rasio guru terhadap siswa beserta kelas-kelas yang terspesialisasi. Jika tidak, maka sejumlah besar guru akan terancam menganggur. Keempat sasaran atau pandangan organisasi tersebut mengisyaratkan suatu pola pandangan yang berbeda dari pandangan umum tentang sekolah. Sebagai organisasi, sekolah bukan sekadar tumpukan peran-peran struktural yang kaku, statis serta jalur-jalur kerja yang serba mekanistis belaka. Mekanisme tersebut mengalami dinamika aktualisasi melalui aneka ragam penafsiran para anggota yang melatarbelakangi perilaku manusia dalam mengemban peran dan status yang berbeda-beda di dalam organisasi sekolah.

2. Sekolah Sebagai Sistem Sosial
a. Pengertian Sistem
Banyak pendapat tentang pegertian sistem. Namun secara umum pengertian sistem adalah sekelompok bagian-bagian yang bekerja sama secara keseluruhan berdasarkan suatu tujuan ber- sama. Di dalam sistem masing-masing unsur saling berkaitan, saling bergantung dan saling berinteraksi atau suatu kesatuan usaha yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu dengan yang lainnya, dalam usaha untuk mencapai tujuan dalam lingkungan yang kompleks. Pengertian tersebut selaras dengan pendapat Johnson, Kast dan Rosenwig,1973 sebagaimana dikutip oleh Soenarya (2000) menyatakan bahwa sistem adalah suatu tatanan yang kompleks dan menyeluruh. Dengan kata lain, satu kesatuan dari sesuatu sehingga merupakan kesatuan yang menyeluruh. Sedangkan Middleton dan Wedemeyer,1985 memandang sistem sebagai kumpulan dari berbagai bagian (unsur) yang saling tergantung yang bekerja sama sebagai suatu keseluruhan untuk mencapai suatu tujuan, di mana hasil keseluruhan lebih berarti dari pada hasil sejumlah bagian (Soenarya, 2000: 12).
Bachtiar (1985) mengemukakan bahwa sistem adalah sejumlah satuan yang berhubungan satu dengan lainnya sedemikian rupa sehingga membentuk satu kesatuan yang biasanya berusaha mencapai tujuan tertentu. Pada bagian yang sama, Bachtiar menambahkan bawa sistem adalah seperangkat ide atau gagasan, asas, metode dan prosedur yang disajikan sebagai suatu tatanan yang teratur. Cleland dan King (1988) menyatakan bahwa sistem adalah sekelompok sesuatu yang secara tetap saling berkaitan dan saling bergantungan sehingga membentuk suatu keseluruhan yang terpadu. Adapun menurut Poerwodarminto dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988: 849) menyebutkan bahwa sistem adalah (1) seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, (2) susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas dan sebagainya, dan (3) metode.
Mendasarkan pendapat diatas, sesuatu dapat dinamakan sistem bila terjadi hubungan atau interelasi dan interdependensi baik internal maupun eksternal antar subsistem. Interaksi, interelasi, dan interdependensi itu disebut hubungan internal. Bila interaksi, interelasi, dan interdependensi itu terjadi antarsistem, hubungan itu disebut hubungan eksternal. Bila hubungan antar subsistem atau antarkomponen di mana hubungan itu terjadi dengan sendirinya dan tergantung dari subsistem atau komponen lain, hubungan itu disebut hubungan determenistik. Sebaliknya, bila hubungan itu tidak pasti bahwa sesuatu itu dapat berfungsi, maka suatu komponen tidak perlu bergantung pada suatu komponen yang lain. Bola lampu mempunyai akibat deterministik terhadap penerangan karena tanpa bola lampu dengan berbagai jenis dan bentuknya akan mengakibatkan kegelapan. Namun terang dan gelap lampu tidak ada hubungannnya dengan kipas angin. Hubungan yang demikian itu disebut nondeterministik. Apabila terdapat pengaruh yang menunjang, memperkuat, mempercepat fungsi perubahan atau pertumbuhan suatu sistem atau subsistem, maka hubungan itu menimbulkan pengaruh yang menghambat atau mencegah, maka hubungan itu disebut disfungsional.
Lingkungan merupakan batas antara suatu sistem dengan sistem lainnya. Makin terbuka suatu sistem, makin perilakunya terpengaruh oleh lingkungan. Lingkungan suatu sistem meru- pakan pembeda antara suatu sistem dengan sistem yang lain. Lingkungan dapat merupakan sumber yang memberikan kesempatan kepada suatu sistem untuk berkembang dalam mencapai fungsi dan tujuannya, atau sebaliknya dapat pula merupakan penghambat.

b. Sistem Sosial
Salah satu pendekatan di dalam sosiologi yang menggali konsep sistem sosial adalah pendekatan fungsional struktural. Sudut pendekatan tersebut menganggap bahwa masyarakat, sebagai suatu sistem fungsional yang terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium. Fungsional struktural memandang masyarakat seperti layaknya organisme biologis yang terdiri dari komponen-komponen atomistis dan memelihara hubungan integratif-sistemik agar metabolisme kehidupan masyarakat tetap terjaga. Menurut Nasikun (1984) pendekatan fungsional struktural
sebagaimana telah dikembangkan oleh Parson dan para pengikutnya, dapat dikaji melalui sejumlah asumsi dasar sebagai berikut:
1) Masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem di mana didalamnya terdapat bagian-bagian yang saling berhubungan antara satu sama lain;
2) Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi antar bagian tersebut bersifat ganda dan interaktif;
3) Meskipun integrasi sosial sulit mencapai kesempurnaan, namun secara mendasar sistem sosial cenderung bergerak ke arah equilibrium yang bersifat dinamis; menanggapi perubahan-perubahan yang datang dari luar dengan kecenderungan memelihara agar perubahan yang terjadi di dalam sistem beserta akibatnya dapat diminimalisasi;
4) Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan dan penyimpangan- penyimpangan senantiasa terjadi, namun dalam jangka panjang keadaan tersebut akan berakhir pula melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi. Dengan kata lain, sekalipun integrasi sosial secara sempurna tidak pernah tercapai, akan tetapi setiap sistem sosial akan senantiasa berproses ke arah tersebut;
5) Pada dasarnya, perubahan-perubahan sosial timbul melalui tiga macam kemungkinan yaitu penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial itu terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar (extra system change), pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional, serta penemuan-penemuan baru oleh anggota-anggota masyarakat; dan
6) Faktor penting yang memiliki kekuatan mengintegrasikan sistem sosial adalah konsensus antar anggota masyarakat tentang nilai-nilai tertentu. Setiap masyarakat, menurut pandangan fungsional struktural selalu memiliki tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dasar tertentu yang mendapat keyakinan kuat dari sebagian besar anggota masyarakat dan dipercaya memiliki kebenaran mutlak. Sistem nilai tersebut bukan sekadar sumber kekuatan yang menyebabkan integrasi sosial, namun sekaligus merupakan unsur yang menstabilkan sistem sosial budaya tersebut.
Dari beberapa asumsi di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah sistem sosial merupakan sistem dari tindakan-tindakan manusia. Ia terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi antar berbagai individu, yang tumbuh dan berkembang dalam standar penilaian umum serta mendapat kesepakatan bersama dari para anggota masyarakat. Yang paling penting dari berbagai standar penilaian umum adalah apa yang disebut sebagai norma-norma sosial. Norma-norma sosial itulah yang sesungguhnya membentuk struktur sosial. Pengaturan interaksi sosial antaranggota masyarakat tersebut dapat terjadi karena komitmen mereka terhadap norma-norma sosial menghasilkan daya untuk mengatasi perbedaan pendapat dan kepentingan-kepentingan pribadi mereka, proses ini memungkinkan bagi mereka untuk menemukan keselarasan antarsatu sama lain sehingga pada proses selanjutnya menghasilkan suatu tingkat integrasi sosial. Dalam posisi tersebut, equilibrium terpelihara oleh berbagai proses dan mekanisme sosial. Dua macam mekanisme sosial yang mengendalikan hasrat-hasrat para anggota demi terpeliharanya kontinuitas sistem sosial, adalah mekanisme sosioalisasi dan pengawasan sosial (social control).
Dari anggapan-anggapan di atas itulah para penganut fungsional struktural menganggap bahwa disfungsi, ketegangan-ketegangan, dan penyimpangan- penyimpangan sosial yang mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan masyarakat sehingga memunculkan terjadinya diferensiasi sosial yang semakin komplek, adalah akibat dari pengaruh-pengaruh yang datang dari luar. Namun anggapan-anggapan tersebut memiliki beberapa kelemahan yang melekat. Kelemahan tersebut terletak pada bahwa pendekatan fungsional struktural mengabaikan beberapa kenyataan, antara lain:
1) Setiap struktur sosial selalu mengandung konflik dan kondiksi-kontradiksi yang bersifat internal, lalu pada gilirannya justru menjadi sumber terjadinya perubahan sosial;
2) Reaksi dari suatu sistem sosial terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar (extra systeme change) tidak selalu bersifat adjustive;
3) Sebuah sistem sosial dalam kurun waktu tertentu dapat juga mengalami konflik-konflik sosial yang bersifat visious circle;dan
4) Perubahan sosial tidak selalu terjadi secara gradual melalui penyesuaian-penyesuaian lunak, akan tetapi juga terjadi secara revolusioner (Nasikun, 1984: 15).
Dari beberapa asumsi tersebut telah jelas bahwa pendekatan fungsional struktural terlalu menekankan asumsi dasarnya pada peranan unsur-unsur normatif dalam menelaah tingkah laku sosial, khususnya proses-proses yang paling mikro di tingkat individu. Pandangan tersebut menegaskan bahwa setiap individu merupakan kontributor teknis yang melembagakan tegaknya norma-norma sosial demi menjamin stabilitas sosial. Pendekatan tersebut telah melupakan hakikat dualistis yang selalu terkandung dalam realitas hidup. Salah satunya realitas sosial bahwa selain kemapanan empiris yang mencerminkan tertibnya tatanan hidup ada sisi gelap yang terselubung dan perlahan-lahan menjadi potensi konflik yang bersifat laten. Dalam konteks sosialnya, istilah tersebut dinamakan sub-stratum, yakni disposisi-disposisi yang mengakibatkan timbulnya perbedaan-perbedaan life chances dan kepentingan- kepentingan tertentu.
Oleh karena itulah, maka pendekatan fungsional struktural dipandang kurang lengkap dalam menelaah hakikat sistem sosial. Beberapa ahli yang lalu mengkritisi teori fungsional struktural menambahkan analisisnya untuk memperlengkap kajian sosiologi tentang sistem sosial. Oleh masyarakat pendekatan mereka dinamakan pendekatan konflik. Pendekatan tersebut memperhatikan kekurangan-kekurangan yang melekat di dalam fungsional struktural lalu mencoba menemukan formulasi teoretis yang lebih representatif. Beberapa asumsi yang dimiliki oleh pendekatan konflik tersebut antara lain yaitu:
1) Setiap masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir atau dengan kata lain, perubahan sosial merupakan gejolak yang melekat dalam setiap masyarakat;
2) Setiap masyarakat selalu mengandung konflik-konflik yang terselubung, atau dengan kata lain konflik adalah gejala yang niscaya ada di masyarakat manapun;
3) Setiap unsur dalam suatu masyarakat selalu memberikan sumbangan terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial; dan
4) Setiap masyarakat terintegrasi di bawah kekuatan atau dominasi golongan tertentu yang memiliki kekuasaan terhadap sebagian besar masyarakat (Nasikun, 1984: 16-17).
Perubahan sosial oleh para penganut pendekatan konflik tidak saja dipandang sebagai gejala yang melekat pada kehidupan masyarakat, namun lebih dari itu merupakan sumber yang berasal dari faktor-faktor internal di dalam sebuah masyarakat. Perubahan sosial muncul disebabkan oleh pertentangan unsur-unsur sosial. Kontradiksi internal tersebut bersumber pada tegaknya sistem struktur yang tidak merata dalam level kekuasaan. Kenyataan ini menjadi faktor munculnya dua entitas kepentingan yang senantiasa bertentangan yakni, pengemban otoritas dan mereka-mereka yang dikuasai. Dari pendekatan konflik dapat disadari satu substansi kodrat sosial yang tidak bisa dilupakan, yaitu dengan perbedaan serta diferensiasi sosial bukanlah sekadar menjadi sarana penyokong integrasi maupun fungsionalisasi peran. Perbedaan juga memiliki peran kontroversial yang memicu merebaknya disintegrasi sosial. Kenyataan ini mendorong terciptanya akomodasi kepentingan yang mampu merombak tatanan sosial untuk menjadi lebih representatif dan berdaya guna bagi masyarakat.

c. Sistem Sosial di dalam Sekolah
Sebagai sistem sosial, sekolah merupakan akumulasi komponen-komponen sosial integral yang saling berinteraksi dan memiliki kiprah yang bergantung antara satu sama lain. Zamroni (2001), menyatakan bahwa pendekatan microcosmis melihat sekolah sebagai suatu dunia sendiri, yang di dalamnya memiliki unsur-unsur untuk bisa disebut suatu masyarakat, seperti pemimpin, pemerintahan, warga masyarakat atau aturan dan norma-norma serta kelompok-kelompok sosialnya. Sesuai dengan pendekatan fungsional struktural, lembaga sekolah diibaratkan masyarakat kecil yang memiliki kekuatan organis untuk mengatur dan mengelola komponen-komponennya.
Bagian-bagian tersebut diatur dan terintegrasi dalam naungan sistem kendali sosial berwujud organisasi formal. Pedoman formal merupakan rujukan fundamental dari seluruh latar belakang sikap dan perilaku para pengemban status dan peran di sekolah. Pendekatan fungsional struktural melihat lingkungan sekolah pada hakikatnya merupakan susunan dari peran dan status yang berbeda-beda, dimana masing-masing bagian tersebut terkonsentrasi pada satu kekuatan legal struktural yang menggerakkan daya orientasi demi mencapai tujuan tertentu. Tentu saja sistem sosial tersebut bermuara pada status sekolah sebagai lembaga formal.
Keberadaan guru, siswa, kepala sekolah, psikolog atau konselor sekolah, orang tua, siswa, pengawas, administratur merupakan komponen-komponen fungsional yang berinteraksi secara aktif dan menentukan segala macam perkembangan dinamika kehidupan sekolah sebagai organisasi pendidikan formal. Sehingga disini fungsional strukural melandasi pandangan kita untuk melihat berbagai peran dan status formal di sekolah sebagai satu-satunya
Pedoman mendasar atas segala aktivitas yang dilakukan oleh warganya. Seluruh warga pengemban kedudukan telah tersosialisasi norma-norma sekolah sesuai dengan porsi statusnya sehingga menyokong terbinanya stabilitas sosial dalam sekolah. Manifestasi peran mendasar norma-norma sekolah telah mengikat warganya dalam nuansa integritas kesadaran yang tinggi.
Sementara itu, pendekatan konflik lebih menekankan porspenilaian subjektif para pelaku peran di sekolah dan konsekuensi objektif atas wujud sekolah sebagai lembaga yang memelihara sistem kekuasaan. Pendekatan konflik melihat sisi lain dari tertibnya perilaku masyarakat sekolah dalam mengamalkan hasrat-hasrat individunya yang senantiasa patuh pada kekuatan normatif. Lockwood melihat bahwa setiap situasi sosial selalu mengandung dua hal yakni tata tertib sosial yang bersifat normatif serta sub-stratum yang melahirkan konflik. Tumbuhnya sistem nilainormatif sebagai acuan utama para pelaku peran di sekolah bukan berarti melenyapkan potensi-potensi konflik. Oleh sebab itu, stabilitas sosial yang dicerminkan oleh pengaturan peran dan status seperti guru, kepala sekolah, pejabat struktural sekolah, pengawas sekolah, murid, administratur sekolah, orang tua siswa, petugas kebersihan pada dasarnya mencerminkan bentuk pengaturan manifes atas masing-masing kepentingan yang sebenarnya saling bertentangan.
Secara lebih radikal beberapa penganut pendekatan konflik menegaskan bahwa tatanan sosial yang ada (termasuk di sekolah) merupakan hasil kekuasaan dominan baik itu bersumber dari paksaan secara fisik maupun kekerasan simbolik (symbolic violence). Artinya kelas sosial dominan memiliki simbol-simbol sosial yang menghegomoni kesadaran seluruh anggota agar sejalur dengan sistem nilai objektif yang pada hakikatnya banyak berpihak pada golongan atau kelas yang berkuasa. Di dalam sekolah, seorang kepala sekolah selain memiliki kedudukan formal sebagai pemimpin sekolah ternyata juga mengindikasikan pertentangan kepentingan dan otonomi status lain yang lebih rendah, misalnya para guru, staf-staf administrasi dan sebagainya. Terhadap guru, ketika seorang kepala sekolah menjalankan fungsi formalnya, maka ada titik pertentangan yang menggoyahkan otonomi peran guru dalam mengelola b elajar mengajar. Di satu sisi kepala sekolah breharap agar siswa berhasil dalam belajar dengan proses pengajaran yang efektif, efisien serta mampu mencapai target penguasaan materi yang banyak. Di sisi lain, harapan yang melambangkan kepentingan status kepala sekolah tersebut tentunya membebani peran sekaligus otonomimkedudukan guru dalam mengelola pembelajaran di kelas.
Faisal dan Yasik (1985) menyatakan bahwa dari pendekatan konflik bisa ditarik dua asumsi dasar yang muncul pada lembaga sekolah. Sebuah lembaga yang memiliki tujuan tertentu dan memelihara banyak status yang berbeda serta memiliki peran fungsional. Aneka ragam status tersebut dikelola melalui fungsi-fungsi otoritas legal formal dengan memanfaatkan prinsip-prinsip birokrasi. Dua asumsi tersebut yakni:
1) Potensi konflik dalam mengintegrasikan pemahaman satu tujuan sekolah kepada para pemegang status yang berbeda-beda. Untuk satu tujuan pendidikan, masing-masing pengemban posisi akan memiliki daya tangkap sektoral yang berbeda-beda dalam mengartikan hasil maupun proses pencapaian tujuan.
2) Sulitnya meraih kesamaan persepsi mengenai batas peran dan posisi pendidikan. Sebagai dampaknya, keadaan tersebut memicu konflik internal lintas posisi. Yang dimaksud konflik peranan internal adalah konflik harapan antar pihak dari pemegang posisi peran di sekolah. Para guru dihadapkan dengan harapan yang saling bertentangan dengan kepala sekolahnya, penilik, petugas konseling, administratur pendidikan, orang tua murid dan bahkan dari muridnya sendiri.
Dari dua pendekatan utama di atas (fungsional struktural dan konflik) dapat diambil kesimpulan bahwa sekolah bukanlah sekadar kumpulan yang terdiri dari para pelaksana administrasi, guru dan murid dengan segala sifat dan pembawaan mereka masing-masing (Horton dan Hunt, 1999: 333). Lebih dari itu, sekolah merupakan suatu sistem sosial yang di dalamnya terdapat seperangkat hubungan mapan, interaksi, konfrontasi, konflik, akomodasi, maupun integrasi yang menentukan dinamika para warganya di sekolah. Oleh sebab itu, di dalam sekolah akan selalu mengandung unsur-unsur dan proses-proses sosial yang kompleks seperti halnya dinamika sosial masyarakat umum.
Beberapa unsur tersebut memproduk konsep-konsep sosial didalam sekolah yakni sebagai berikut:
Kedudukan dalam Sekolah Sekolah, seperti sistem sosial lainnya dapat dipelajari berdasarkan kedudukan anggota dalam lingkungannya. Setiap orang didalam sekolah memiliki persepsi dan ekspektasi sosial terhadapkedudukan atau status yang melekat pada diri warga sekolah. Disana kita memiliki pandangan tentang kedudukan kepala sekolah, guru-guru, staf administrasi, pesuruh, murid-murid serta asumsi-asumsi hubungan ideal antarbermacam kedudukan tersebut. Hal ini selaras dengan pendapat Weber (dalam Robinson, 1981) tentang konsep tindakan sosial, dimana setiap orang memiliki ideal type untuk mengukur dan menentukan parameter mendasar tentang sebuah realitas.
Realitas sosial yang tersebar dalam status sosial menjadi titik tolak kesadaran seorang individu untuk menentukan sikap, pandangan dan tindakan dalam lingkup sosial tertentu. Harapan ideal “kepala sekolah” merupakan kesadaran awal yang mempengaruhi sikap individu seorang pejabat kepala sekolah. Meskipun pada proses selanjutnya harus terkombinasi dengan pembawaan individu, prasangka terhadap status lain, hubungan-hubungan antarstatus serta kaitannya dengan konstruksi total dari susunan status di sekolah.
Dalam mempelajari struktur sosial sekolah kita analisis berbagai anggota menurut kedudukannya dalam sistem persekolahan. Beberapa kedudukan di bentuk dan dibangun berdasarkan sistem klasifikasi sosial di antaranya adalah:
a) Kedudukan berdasarkan jenis kelamin, akan mengidentifikasi pelakunya pada perbedaan seks atau kelamin, bu guru, pak guru, murid putri, siswa lelaki, pak kepala sekolah dan lain sebagainya. Secara sosial kedudukan berdasarkan seks merupakan pembedaan ruang orientasi atas dasar perbedaan fisik. Pembedaan tersebut merupakan dampak kultural dari masyarakat yang lebih luas, dimana perbedaan kelamin masih mengkisahkan pembagian kerja, hak, serta ruang gerak yang berbeda pula. Namun secara struktural pembedaan jenis kelamin tidak begitu mempengaruhi kualitas penerapan ketentuan formal sebuah lembaga. Seorang kepala sekolah wanita tetap saja memiliki otoritas atau kewenangan kekuasaan terhadap para guru lelaki maupun wakasek laki-laki.
b) Kedudukan berdasarkan struktur formal di lembaga, misalnya kepala sekolah, guru, staf administrasi, pesuruh, siswa dan lain sebagainya. Kategori kedudukan ini dilandasi oleh ketentuan-ketentuan formal yang melembagakan serangkaian peran dan pemetaan kewenangan struktural berdasarkan pembagian wilayah kekuasaan yang bersifat hierarkis. Sesuai dengan formasi struktur lembaga sekolah maka masing-masing posisi menggambarkan tingkat kekuasaan yang bertingkat-tingkat. Posisi teratas menggambarkan puncak pengakuan otoritas tertinggi lalu secara gradual makin berkurang pada posisi-posisi di bawahnya.
c) Kedudukan berdasarkan usia. Pengakuan terhadap kategori sosial ini didasarkan konstruksi sosial sekolah sebagai lembaga pendidikan. Berangkat dari pengertian tentang pengajaran sebagai sumber dari keberadaan sekolah dan segala aktivitas kelembagaannya. Sementara proses pengajaran tidak lepas dari hubungan antara pengajar dengan yang belajar. Maka bisa ditangkap indikasi kecenderungan dalam lembaga sekolah untuk mengutamakan sistem nilai berdasarkan usia. Mereka yang tua dikontruksikan sebagai pengajar, teladan, sumber nilai kebaikan, pengontrol moral, berkemampuan tinggi dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, pengakuan kedudukan berdasarkan usia sangat kental sekali melekat dalam orientasi warga sekolah.
d) Kedudukan berdasarkan lahan garap di sekolah. Pada dasarnya tiap-tiap status di sekolah akan membentuk wilayah-wilayah sektoral sesuai dengan ruang lingkup pekerjaan. Di kelas jenis status yang paling dominan berperan adalah status guru dan murid. Sementara di wilayah birokrasi akan memperlihatkan kontak sosial antara pengurus administrasi baik itu kepala bagian, sekretaris, bendahara sekolah serta staf-stafnya. Di tingkat pelayanan administrasi akan melibatkan pegawai administrasi dengan para siswa, guru-guru dan lain sebagainya.
2.)Interaksi di sekolah
Menurut Horton dan Hunt (1999) sistem interaksi di sekolah dapat ditinjau dengan menggunakan tiga perspektif yang berbeda, yakni:
a) Hubungan antara warga sekolah dengan masyarakat luar
b) Hubungan di internal sekolah lintas kedudukan dan peranannya.
c) Hubungan antarindividu pengemban status atau kedudukan yang sama.
Dalam kategori pertama, hubungan interaktif antara orang dalam dengan orang luar mencerminkan keberadaan sekolah sebagai bagian masyarakat. Para guru, murid dan seluruh warga di sekolah juga pengemban status-status lain di masyarakat. Sehingga interaksi di sekolah merupakan kombinasi berbagai nilai dari masyarakat yang dibawa oleh para warga sekolah. Para guru, kepala sekolah, murid-murid juga bagian dari masyarakat mereka.
Mereka membawa sikap dan perilaku ke sekolah, sebagai hasil dari hubungan dengan tetangga, teman, gereja, partai politik dan berbagai ragam kelompok kepentingan. Sementara secara formal, sekolah memiliki pihak-pihak yang bertanggung jawab mengadakan hubungan antara masyarakat dengan pihak sekolah. Dalam hal ini, pihak yang paling berkepentingan mengadakan hubungan dengan masyarakat adalah pengawas sekolah. Pengawas sekolah bertanggung jawab menjamin kualitas pelaksanaan pendidikan di sekolah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sementara ditingkat internal pengawas sekolah juga berkewajiban memberikan perlindungan atas orientasi masyarakat sekolah dari tuntutan-tuntutan luar yang kurang masuk akal. Sebagai pengamat atau evaluator pengawas sekolah juga memiliki tugas memelihara keharmonisan hubungan antara kelompok-kelompok yang berbeda di sekolah. Hubungan antar status juga sering kali menimbulkan konflik antar peran.
Di dalam sekolah, tanggung jawab penjaga sekolah menyangkut kebersihan bertentangan dengan keinginan warga sekolah untuk menggunakan fasilitas sekolah semaksimal mungkin. Kebebasan profesional guru juga bertentangan dengan kepentingan pengawas sekolah dalam menciptakan kelancaran pengajaran di tiap-tiap kelas. Keinginan kepala sekolah untuk menerapkan inovasi baru harus berhadapan dengan keengganan guru dan murid untuk menerima perubahan. Salah satu konflik yang cukup krusial saat ini adalah konflik keinginan pengawas sekolah untuk mencapai hasil pengajaran yang terbaik sesuai dengan anggaran biaya yang tersedia berhadapan dengan tuntutan organisasi persatuan guru untuk memperoleh jaminan pekerjaan dan gaji yang memadai.
Namun selain menimbulkan konflik, hubungan antarstatus merupakan bagian dari orientasi lembaga sekolah. Secara fungsional untuk mencapai tujuan yang diharapkan sekolah membutuhkan peran dan kiprah dari berbagai status dan kedudukan. Sehingga kerja timbal balik antar status diprioritaskan untuk melancarkan proses pencapaian tujuan organisasi. Sekolah membutuhkan hubungan yang harmonis antarguru dan murid agar tujuan pengajaran di kelas dapat tercapai secara maksimal. Sekolah membutuhkan kerja sama antarberbagai pihak agar roda organisasi dapat berjalan dengan lancar. Hubungan antarindividu atau kelompok dalam jenis status yang sama juga tidak lepas dari bagian interaksi di sekolah. Para guru selain memiliki persamaan peran sesuai statusnya juga menggambarkan berbagai perilaku guru yang berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan perbedaan karakter, sikap dan pengalaman individu dalam melancarkan aktivitas di sekolah. Kita ketahui bersama untuk status siswa pun juga telah terbentuk aneka ragam karakter dan perilaku individu maupun kelompok yang berbeda-beda.
3.) Klik Antar Siswa Pengelompokan atau pembentukan klik mudah terjadi disekolah. Suatu klik terbentuk bila dua orang atau lebih menjalin persahabatan sehingga dalam keseharian telah terikat pada kehidupan bersama baik di dalam maupun di luar sekolah. Mereka saling merasakan apa yang dialami salah satu anggota kelompoknya dan mampu mengungkap perasaan yang selama ini tersembunyi, seperti hubungan mereka dengan orang tua atau dengan jenis kelamin lain serta kesulitan pribadi-pribadi lainnya. Keanggotaan klik bersifat sukarela dan tak formal. Seorang diterima atau ditolak atas persetujuan bersama. Walaupun klik tidak mempunyai peraturan yang jelas, namun ada nilai-nilai yang dijadikan dasar untuk menerima anggota baru. Anggota klik merasa diri bersatu dan merasa diri kuat, penuh dengan kepercayaan berkat rasa persatuan dan kekompakan. Mereka mengutamakan kepentingan kelompok di atas kepentingan individual dan sikap ini dapat menimbulkan konflik dengan orang tua, sekolah, dan klik-klik lainnya. Bila klik ini mempunyai sikap anti sosial maka klik itu dapat menjadi “geng”. Orang luar, khususnya orang tua dan guru sering tidak dapat memahami makna klik bagi anggota-anggotanya. Akibatnya mereka justru makin kompak dengan kelompoknya sehingga memicu kesadaran bersama untuk sama-sama membebaskan diri dari kekuasaan dan pengawasan orang tua, sekolah dan lembaga-lembaga lainnya. Dari kelompoknya seorang anggota yakin mendapat bantuan penuh namun sebaliknya harus mampu menunjukkan loyalitas yang tinggi pada kelompok. Mereka yang tidak patuh akan mendapat klaim sebagai pengkhianat.
Faktor yang paling penting dalam pembentukan klik adalah usia atau tingkat kelas. Suatu klik jarang beranggotakan anak yang berusia dua tahun lebih. Selain itu klik biasanya beranggotakan murid dari jenis kelamin yang sama. Tidak ada bukti yang menunjukkan pembentukan klik berdasarkan prestasi akademis atau intelegensi. Menurut pengamatan suatu klik merupakan kelompok minat atau kegemaran yang serupa, misalnya musik, olah raga dan sebagainya. Klik juga menggambarkan struktur sosial masyarakatnya. Klik menunjukkan stratifikasi sosial yang terdapat dalam masyarakat tempat sekolah itu berada. Murid-murid pada umumnya memilih teman dari golongan anak yang secara sosial ekonomi memiliki kedudukan sama. Klik-klik yang muncul di sekolah beragam wujudnya, tergantung pada perbedaan murid. Ada kemungkinan terbentuknya kelompok berdasarkan kesukuan dari kalangan siswa satu daerah atau karena mereka merupakan minoritas. Ada kelompok “elite” yang terdiri atas anak-anak orang kaya atau menunjukkan prestasi akademis tinggi dan kepribadian tinggi. Adapula kelompok rendahan, yang berasal dari keluarga tidak berpendidikan.

BAB III
PENUTUP DAN KESIMPULAN

A. Penutup
Sekolah sebagai suatu dunia sendiri, yang di dalamnya memiliki unsur-unsur untuk bisa disebut suatu masyarakat, seperti pemimpin, pemerintahan, warga masyarakat atau aturan dan norma-norma serta kelompok-kelompok sosialnya. Sesuai dengan pendekatan fungsional struktural, lembaga sekolah diibaratkan masyarakat kecil yang memiliki kekuatan organis untuk mengatur dan mengelola komponen- komponennya.
Maka dari itu, fungsi semua kompenen pendidikan itu harus dimaksimalkan, agar dapat memperoleh sinergitas diantara komponen-komponen itu sehingga dapat saling melengkapi satu sama lain.
Demikian makalah ini kami buat, semoga sumbangan karya kecil kami ini dapat mempunyai pengaruh pada rekonstruksi pengetahuan dan menambah keluasan ilmu setiap orang yang membacanya. Dan tak lupa kritik dan saran dari pembaca kami tunggu untuk bahan evaluasi kami ke depan.

Pendidikan Berkarakter

Dalam rangka pembaharuan sistem pendidikan nasional telah ditetapkan visi, misi dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Terkait dengan visi tersebut telah ditetapkan serangkaian prinsip penyelenggaraan pendidikan untuk dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan. Salah satu prinsip tersebut adalah pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Dalam proses tersebut diperlukan guru yang memberikan keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Implikasi dari prinsip ini adalah pergeseran paradigma proses pendidikan, yaitu dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Proses pembelajaran perlu direncanakan, dilaksanakan, dinilai, dan diawasi agar terlaksana secara efektif dan efisien.
Mengingat kebhinekaan budaya, keragaman latar belakang dan karakteristik peserta didik, serta tuntutan untuk menghasilkan lulusan yang bermutu, proses pembelajaran untuk setiap mata pelajaran harus fleksibel, bervariasi, dan memenuhi standar. Proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan dasar dan menengah harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan salah satu standar yang harus dikembangkan adalah standar proses. Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan. Standar proses berisi kriteria minimal proses pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar proses ini berlaku untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah pada jalur formal, baik pada sistem paket maupun pada sistem kredit semester.
Standar proses meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. (PP. No 41 Th 2007)