Rabu, 13 Juli 2011

siAng hRi

Siang yang panjang
Siang yang panas
Siang yang menggersang
Saat langkah semakin berat
Untuk mengejarmu
Terasa kaki kan patah

Kini rasa haus semakin menyengat
Ku berharap kau hadir
Dengan segelas air yang kau janjikan
Sebening air seperti hatimu
Kan menyejukan jiwaku

Puisi harap telah tertulis oleh bunda
Bermohon ku bawa hatimu untuknya
Adakah kau datang berwujud
Bukan terselebung awan
Hingga bunda bisa menyentuhmu

Siang kini jadi saksi
Betapa ku butuh kamu
Senyata lagu indahmu
Saat kau hibur aku dalam khayalku

Masih bisakah aku berharap
Mendapatkan mata cinta
Tuk’ tentramkan jiwaku
Dari bidadari ku nun jauh disana

Senin, 11 Juli 2011

SOSIOLOGI AGAMA, MAX WEBER DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM

Istilah ”Sosiologi” dimunculkan oleh Auguste Comte (1798-1857), salah seorang pendiri disiplin ilmu ini.[1] Secara sederhana ”sosiologi” berarti studi mengenai masyarakat dipandang dari satu segi tertentu. Baik Comte maupun Herbert Spencer (1820-1903), menekankan masyarakat sebagai unit dasar dari analisa sosiologis, sedang beraneka ragam kelembagaan dan interrelasi antar lembaga itu merupakan sub unit dari analisa. Karena itu pusat perhatian sosiologi adalah tingkah laku manusia; namun tidak terkonsentrasi pada tingkah laku individual tetapi juga secara kolektifnya—namun lebih banyak segi kolektifnya dan relasinya dengan masyarakat. Dengan demikian sosiologi merupakan studi mengenai tingkah laku masyarakat dalam konteks sosial.

Berbicara masalah sosiologi, tidak terlepas membicarakan sosiolog besar Max Weber,[2] seorang sosiolog Jerman yang berusaha memberikan pengertian mengenai perilaku manusia dan sekaligus menelaah sebab-sebab terjadinya interaksi sosial.

Pada paparan makalah yang sangat terbatas ini akan diuraikan salah satu dari sekian banyak pemikiran Max Weber[3] yaitu tentang sosiologi agama, bagaimana sebenarnya dan bagaimana pula relevansinya dengan pendidikan Islam?

Max Weber dan Pemikirannya tentang Sosiologi Agama

Max Weber (1864-1930) dilahirkan di Erfurt Jerman pada tanggal 21 April 1864, dari kalangan keluarga kelas menengah. Ayahnya seorang birokrat yang relatif penting dalam posisi politik. Sedangkan ibunya adalah seorang penganut ajaran calvin.[4]

Konsep sosiologi Weber, dapat dipandang sebagai upaya yang menengahi antara dua cara pandang yang bertentangan yang terjadi pada masanya. Cara pandang pertama yang diilhami oleh keberhasilan ilmu alam—metode mereka akan mampu memacu perkembangan studi manusia dan masyarakat. Cara pandang kedua, menekankan bahwa sesuatu yang penting dalam manusia—spirit, pikiran, budaya dan sejarahnya—tidak akan mampu dipahami melalui teknik-teknik ilmu alam.

Menurut Weber, dalam memahami sosio budaya maka diperlukan metode khusus dalam rangka memahami berbagai motif dan arti atau makna tindakan manusia. Dengan pengertian semacam ini, maka sosiologi merupakan suatu ilmu yang melibatkan dirinya dengan suatu penafsiran dan tindakan manusia secara sensitif.[5]

Buku Weber yang terkenal berjudul The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism (1904)[6], mengawali karirnya sebagai sejarawan ekonomi dan ahli sosiologi. Dalam buku ini Weber membahas masalah hubungan antara berbagai kepercayaan keagamaan dan etika praktis, khususnya etika dalam kegiatan ekonomi, di kalangan masyarakat Barat sejak abad ke-16 hingga sekarang. Weber sampai pada kesimpulan bahwa kebangkitan kapitalisme didukung oleh sikap yang ditentukan oleh Protestanisme asetik.[7] Jadi bukan (kekuatan) ekonomi yang menentukan agama, tetapi agamalah yang menentukan arah perkembangan ekonomi.

Weber menyatakan bahwa para pemimpin reformasi protestan tidak bermaksud menegakkan pondasi semangat untuk suatu masyarakat kapitalis dan seringkali mengecam kecenderungan kapitalis di jaman mereka. Namun, revolusi industri dan pertumbuhan bisnis berskala besar jauh lebih cepat berkembang di daerah Protestan daripada di daerah Katolik, dan daerah-daerah yang berbau Protestan jauh lebih giat dalam pengembangan bisnis.

Lebih lanjut Weber mengatakan bahwa bekerja adalah nilai intrinsik, bukan sekedar konsekuensi dari tuntutan hukum atas diri Adam. Saya kira perlu disepakati juga bahwa Calvinisme kata Weber bukan ajaran Katholik atau Lutheran, menekankan kebebasan untuk memilih panggilan, bukan kewajiban untuk menerima ketetapan yang diberikan kepada manusia ketika dilahirkan. Kedua aspek dari doktrin panggilan ini, yakni kesungguhan dalam bekerja dan hak serta tugas individu untuk memilih bidang kegiatannya, jelas akan membantu perkembangan ekonomi bila keduanya tidak hanya diajarkan, tetapi dipraktekkan secara aktual. Weber berkeyakinan bahwa kedua aspek tersebut secara merata dipraktekkan di mana saja doktrin Calvinisme tentang takdir (predestination) dipegangi secara sungguh-sungguh.[8]

Yang menarik dari uraian Weber adalah ketika membicarakan agama dari sudut fungsi. Weber menyebut fungsi manifes dan laten agama. Fungsi agama adalah memperkuat hukum/aturan moral masyarakat baik secara langsung maupun tidak. Definisi fungsional sering menimbulkan kesalahfahaman antara fungsi manifes dan fungsi laten. Robert Merton[9] mengatakan fungsi manifes adalah fungsi yang diakui dan diharapkan untuk mencapai tujuan. Sedangkan fungsi laten adalah akibat yang tidak diharapkan. Salah satu fungsi manifes gereja adalah mempersatukan komunitas dalam semangat persaudaraan; sedangkan fungsi latennya adalah membagi komunitas berdasarkan ras dan kelas. Walaupun mengkhotbahkan ”di hadapan Allah semua orang adalah sama”, namun gereja memamerkan perbedaan kekayaan yang nampak pada para anggota yang berpakaian bagus dan yang sangat sederhana pada hari Minggu.

Bahkan ketika berbicara aspek kelas, ras dan etnis dalam agama, menurut Weber institusi agama dari sebuah masyarakat tercipta dan didominasi oleh golongan penguasa dalam masyarakat tersebut dan fungsi agama memeberi dorongan moral serta jalan keluar secara psikologi dengan tetap mempertahankan struktur kelas. Bahkan meminjam bahasa Karl Max agama adalah ”candu” bagi orang-orang yang tertindas dan teraniaya dalam mempertahnkan hidupnya. Sedangkan Durkheim memandang agama sebagai potensi yang menciptakan pergerakan dan dapat mengubah tatanan sosial. Dengan adanya perbedaan sudut pandang ini tidak mengherankan jika sebagian pekerjaan empiris dalam sosiologi agama berkaitan antara masalah hubungan agama dengan kelas sosial.

Dalam konteks agama Kristen Weber memperkenalkan istilah ”asketisisme dunia bathin” untuk mengimbangi para aktivis puritan dengan pendeta Katholik. Pendeta yang semakin dekat dengan dunia maka semakin kecil pula pengaruhnya; sedangkan bila aktivis Puritan semakin dekat maka dia akan semakin besar pengaruhnya. [10]

Tentang ”rasional” kata Weber tidak sama dengan ”berdasarkan empirik” atau ”ilmiah”, sebab efektifitas sarana untuk mendapatkan keselamatan tidak dapat dinilai dengan bukti empirik. Dalam konteks magi (sihir) dan mistisisme sebagai hal-hal yang irrasional, meskipun dari sudut pandang pelakunya efektif untuk mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan oleh pelaku tersebut.

Persoalan Nabi juga dibahas oleh Weber, para nabi (tokoh agama) kata Weber, menyaingi para pendeta sebagai ”pengemban sistematisasi dan rasionalisasi etika keagamaan”. Nabi itu sama dengan pendeta dalam tugas rasionalisasi yang dilakukannya, tetapi sama dengan ahli sihir dalam hal dia terpanggil untuk terlibat dalam tugasnya berdasarkan sifat-sifat karismatik pribadi. ”Pendeta menyatakan memiliki otoritas karena kebaikan pelayanannya dalam tradisisi yang suci, sedangkan para nabi didasarkan atas wahyu pribadi (yang diterima dari Tuhan) dan karismanya.[11]

Agama Sebagai Sistem Budaya; Kasus Islam

Agama jika dipandang dari sudut sosiologis tidak ditimba dari ”pewahyuan” yang datang dari ”dunia luar”, tetapi diangkat dari eksperiensi, atau pengalaman konkret sekitar agama yang dikumpulkan dari masa lampau maupun kejadian sekarang. Artinya definisi agama menurut sosiologi adalah definisi yang empiris. Sehingga dari sudut fungsionalnya agama dapat didefinisikan sebagai suatu institusi yang lain, yang mengemban tugas (fungsi) agar masyarakat berfungsi dengan baik, di lingkup lokal, regional, nasional maupun mondial.[12] Dengan demikian agama dilihat dari sudut daya guna dan pengaruhnya terhadap masyarakat.

Agama sebagai sistem budaya, merupakan konsep antropologis yang diungkapkan oleh Clifford Geertz. Dalam pandangan antropologi, pengalaman agama dianggap sebagai suatu kreasi manusia untuk menuju jalan hidup yang bervariasi, sesuai latar belakang pengetahuan, kepercayaan, norma dan nilai-nilai yang dianut.[13]Dalam tulisannya yang lain Abdullah Ali mengatakan Weber menggambarkan agama sebagai fenomena yang rumit dan kompleks, yang dapat memenuhi beberapa fungsi sekaligus. Ia menggambarkan dimensi-dimensi agama berdasarkan pendapat Glock dan stark (1)Dimensi kepercayaan atau keyakinan beragama disebut juga sebagai dimensi ideologi, (2)Dimensi ritual berkaitan dengan praktek pelaksanaan agama, (3)Dimensi pengalaman keagamaan, (4)Dimensi pengetahuan dan (5)Dimensi konsekuensi beragama.[14]

Nurchalish Madjid[15] menjelaskan hubungan agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, sedangkan budaya—meskipun berdasarkan agama, dapat berubah. Oleh karena itu agama adalah primer dan budaya adalah sekunder. Dalam Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya Harun Nasution mengutip hasil penelitian Abd al-Wahab Khallaf, yang mengatakan bahwa ayat-ayat al-Quran yang mengatur hidup kemasyarakatan berjumlah 5,8 % dari seluruh ayat al-Quran.[16]

Sosiologi Agama Weber; Analisis berdasarkan Pendidikan Islam

Pendidikan Islam[17] sebagai manifestasi ajaran keislaman harus diacu ke arah pembebasan. Praktek pendidikan Islam tidak mengenal diskriminasi apapun, termasuk di dalamnya hegemoni dan privillese pada kelompok manusia tertentu.[18] Di sana tidak boleh terjadi pengkultusan kebenaran dengan misalnya, adanya superioritas dan inferioritas—dalam bahasa Weber adanya paradoksal antara fungsi agama sebagai manifes dan latennya. Sebaliknya harus dibina terciptanya demokratisasi pendidikan yang disesuaikan dengan kualifikasi profesional pada masing-masing civitas akademika yang ada.

Keikhlasan sejati tidak ada tanpa kemerdekaan dan kebebasan berfikir dan berbuat. Artinya kemerdekaan dan kebebasan merupakan pernyataan asasi yang pertama dan terakhir dari nilai kemanusiaan.[19] Paradigma tauhid dalam konteks pendidikan Islam bukan saja mengajarkan kemerdekaan dan kebebasan, melainkan bagaimana membangunkan manusia dari belenggu-belenggu eksistensial ke arah kesejatian di seluruh situasi dan kondisi di mana ia ”berada”. Manusia adalah sama di hadapan Tuhan, yang membedakan adalah kualitas taqwa (QS. Al-Hujurat [49]: 13)—ini yang digugat oleh Weber ketika melakukan peenelitian di kalangan Gereja.

Pendidikan Islam sebagai instrumen penting orientasi pembebasan diharapkan mampu menyadarkan—conscientization—manusia ke arah eksistensial di atas. Proses pendidikan yang dijalankan bagaimana mampu menciptakan manusia yang kritis, reflektif dan integratif. Manusia kritis adalah manusia cerdas dalam mengidentifikasi dan mencari solusi terbaik bagi problematika kehidupan yang ada. Manusia reflektif adalah manusia cerdas yang mampu membangun keikutsertaan kerja/kinerja yang baik. Manusia integratif adalah manusia cerdas yang mampu membangun relasi dengan seluruh elemen-elemen kehidupan secara menyeluruh, baik dengan sesama maupun dengan lingkungannya.

Pendidikan Islam juga harus mampu merubah situasi keberagamaan yang cenderung legalistis-formalistik. Agama ”harus” dimanifestasikan dalam bentuk ritual-formal, sehingga muncul formalisme keagamaan yang lebih mementingkan ”bentuk” daripada ”isi”. Kondisi seperti itu menyebabkan agama kurang dipahami sebagai seperangkat paradigma moral dan etika yang bertujuan membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan—Tulisan Weber, adanya keterkaitan antara ”aqidah” protestan dengan kebangkitan kapitalisme. Di samping itu, formalisme gejala keagamaan yang cenderung individualistik daripada kesalehan sosial mengakibatkan sikap kontraproduktif seeperti nepotisme, kolusi dan korupsi.

Sampai di sini diperlukan seperangkat kurikulum dalam pendidikan Islam yang mampu ”menciptakan” proses pembelajaran yang mampu ”memanusiakan manusia”. Oleh karena itu kita harus berani melakukan ”pencerahan” terhadap kelemahan yang dihadapi pendidikan Islam, sebagaimana disebutkan Towaf, ”Pendekatan masih cenderung normatif tanpa ilustrasi konteks sosial, kurikulum PAI yang minimum kompetensi, metode PAI yang cenderung monoton dan keterbatasan sarana/prasarana”.[20]

Ikhtitam

Agama harus dipahami secara integratif, keadaan memprihatinkan yang terjadi sekarang ini salah satunya karena ummat Islam tidak mampu menangkap ajarannya yang lebih dinamis dan sekaligus lebih otentik. Oleh karena itu Bung Karno pernah berslogan ”kita harus mampu menangkap api Islam dan meninggalkan abunya”. Proses demikian akan lebih menginternal melalui proses pendidikan. Pendidikan yang tidak dibangun di atas dekrit-kebijakan yang mereproduksi ideologi penguasa kaum borjuis, tetapi harus lahir dari ”rahim” kesadaran pembangunan masyarakat baru secara ”revolusioner” dan ”visioner”—pendidikan yang berbasis kemasyarakatan dan tidak tercerabut dari akar budayanya. Di sini--meminjam analisis Abdullah Ali--paradigma Max weber perlu menjadi ugeran yang mengedepankan pembangunan etos kerja dan etika para peserta didik. Walaupun sebagaimana diuraikan sebelumnya, analisis Weber menggunaka ajaran Protestan, tetapi konsep dan etikanya berdasarkan ajaran agama, bisa menjadi model bagi para pelaksana pendidikan Islam. Islam mempunyai konsep yang universal berkaitan dengan upaya membangun semangat hidup, etos kerja dan etika pergaulan dalam masyarakat. Sayangnya kurikulum pendidikan Islam—sebagaimana dituturkan Abdullah Ali, hanya mengajarkan Islam formal yang tidak inovatif dan cenderung konvensional.

Sosiologi Agama, Sebuah Pengantar Kerangka Pemikiran

Max Weber sangat terkenal dengan sosiologi agama dalam bukunya Sociology Religion maupun yang terdapat dalam karya agungnya The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism. Dalam kedua bukunya itu, Weber banyak mengungkapkan hubungan antara etika Protestan dengan munculnya kapitalisme, dan meskipun agama lain juga dikaji oleh Weber, namun etika protestanlah yang paling menonjol sementara agama-agama lainnya seperti Islam, Budha Hindu dan lain-lain tidak terlalu penting. Jadi apa yang ingin dicapai oleh Weber adalah sebuah pemuasan tanya atau agaknya sebuah interaksionisme gampangan bahwa Kristen sebagai agama yang mendunia di Barat telah melahirkan kapitalisme. Sedang agama yang juga berakar dari cikal bakal yang sama yaitu Ibrahimiah yang menggelora di Timur secara spektakuler mestinya juga bisa melahirkan kapitalisme bagi umatnya. Tetapi apa yang ditemui Weber tidak ada kapitalisme di Timur, tidak ada asketis dalam Islam. Weber hanya menemui kenyataan bahwa dominasi patrimonialisme, misi agama Islam awal yang sudah dipenggal oleh segerombolan prajurit pemangku panji-panji Islam, telah mengugurkan kapitalisme dari kandungan Islam atau membuat Islam sekedar agama yang akomodatif.

Sebagaimana kita ketahui bahwa penelitian Weber tertuju pada dua hal. Pertama, etika Islam awal yaitu Islam pada mula perkembangannya di abad ke-7 dengan segala pirantinya seperti Nabi Muhammad, hukum syariah dan kelengkapan lainnya yang berkaitan dengan Islam (mistisisme dan syeh), Kedua, struktur birokratis yaitu patrimonialisme dalam latar feodalisme Islam yang prebendal beserta segala macam ulahnya dan yang terakhir sekularisme di Turki yaitu hasrat besar Bani Usmaniah menandingi kapitalisme Barat. Akan tetapi sayangnya kedua obyek sosiologinya tidak dapat ia relevansikan dalam satu kesimpulan sosiologis yang jelas karena analisanya yang tak kunjung selesai.

Salah satu sosiolog yang mengkritik Weber tentang agama Islam adalah Bryan S. Turner , seorang mahaguru sosiologi di Universitas Flinders Australia. Dalam bukunya yang berjudul Weber and Islam, a Critical Study, Bryan Turner berhasil manunjukkan keanehan-keanehan Weber dalam menerapkan metode-metode sosiologis.. Umpamanya, Weber tidak mau memasukkan Tuhan sebagai pemberi wahyu kepada Nabi selaku pelaku sosial. Padahal dalain kesempatan lain Ia menyimpulkan pelaku yang tidak tampak sebagai aktor sosial penuh. Ia juga memperlakukan syariat tidak dalam substansi tetapi dalam konteks sosial. Lebih dari itu, Ia berupaya memberikan bentuk yang tetap pada Islam melalui subyektifitasnya sendiri, misalnya anggapan bahwa Islam itu hedonis atau kedudukan wanita yang dianggap rendah dan keberadaan nabi Muhammad yang meragukan dengan syariat yang tidak efektif dan pembaharuan Islam yang tidak lain adalah westernisasi. Dengan kata lain, Weber mengabaikan sosiologi ciptaannya sendiri, terutama metode interpretatif dengan tidak mengacuhkan sama sekali aktualitas yang hidup dikalangan kaum muslimin.

Bryan Turner berpendapat bahwa cara Weber memperlakukan dan menafsirkan Islam secara faktual sangat lemah tidak seperti tesa khususnya calvinisme , yang mula-mula dikembangkan Weber dalam karyanya The Ethic and The Spirit of Capitalism. Pada umumnya pembahasan Weber tentang Islam yang menggunakan istilah-istilah patrimonial dan feodalisme prebendal sejalan dengan sosiologi Marx, walau tidak sama dengan Marxisme. Kalau sifat ini sudah dikonkretkan haruslah diakui kedudukan pandangan Weber mengenai relevansi kepercayaan beragama dan struktur sosial seringkali tidak konsisten atau goyah. Dalam memahami Weber, banyak sosiolog menunjukkan keruwetan alasan-alasan dan uraian-uraiannya, tetapi mereka sependapat bahwa memang ada tema sentral dalam karya Weber yang menyatukan dan mempersatukan pemikiran sosiologisnya. Masalahnya adalah para sosiolog tidak sependapat tentang apa yang menjadi titik pusat dalam karya Weber (Bryan Turner, 1991:4-5).

Sampai suatu tingkat, catatan-catatan Weber tentang Islam kelihatannya sebagai pendamping saja bagi analisa sosiologis etika protestannya. Memang Weber memandang Islam dalam banyak segi, sebagai lawan puritanisme. Bagi Weber Islam bersemangat hedonisme murni yang mengutamakan kesenangan dan kebahagiaan dalam hidup khususnya terhadap wanita, kemewahan dan harta benda. Mengingat kemudahan yang diberikan oleh etika Qur’an tidaklah terdapat pertentangan antara perintah-perintah moral dan duniawi dan hasilnya adalah bahwa tidak mungkin etika asketis yang dominan akan muncul dari dunia Islam. Dengan begitu, kita mungkin akan gampang tergoda menafsirkan pendapat Weber yang menyatakan bahwa asketisme yang tidak ada dalam ajaran Islam selanjutnya dapat dijelaskan dalam kapitalisme rasional yang tidak dapat tumbuh didalam masyarakat yang didominasi olah budaya Islam. Namun kita hanya dapat mengambil posisi ini jika dapat menunjukkan bahwa Weber mempertahankan kondisi-kondisi penting kapitalisme modern sebagai faktor konstan. Kenyataannya, Weber mwnunjukkan bahwa hukum rasional formal, kota swatantra, kalas menengah yang bebas dan stabilitas politik sama sekali tidak terdapat dalam Islam. Weber menandaskan dengan feodalisme prebendal dan birokrasi patrimonial yang menjadi ciri khas kaum Abbasiah, Mamluk dan Usmaniah tidak akan menciptakan kapitalisme yang rasional. Kondisi militer dan ekonomi masyarakat Islam tidak memadai bagi perkembangan kapitalisme. Dengan demikian ada dua pandangan Weber tentang etika Islam. Pertama, analisa etika Islam berdiri sendiri dan terlepas dari analisa mengenai struktur sosio ekonomis masyarakat Islam. Tidak ada upaya Weber sedikitpun untuk mengaitkan apa yang dianggap sebagai etika prajurit dengan dominasi patrimonial para sultan dan khalifah. Jika diperhatikan dengan benar, argumen Weber tentang etika prajurit Islam, maka akan didapati bahwa argumennya tidak identik dengan pandangan seorang idealis sejarah juga bukan analisa afinitas elektik. Tidak ada hubungan alami antara monoteisme Muhammmad dengan prajurit Arab. Yang terjadi adalah kasus dimana masyarakat prajurit dan susku-suku mengambil alih ajaran Muhammad dan menyesuaikannya dengan kehidupan mereka. Weber sendiri secara khusus menolak setiap penafsiran psikologis tentang ajaran Islam. Dapat dilihat bahwa argumentasi Weber tentang Islam tidak dituangkan dalam istilah the religion of individual dan Weber menganggap bahwa agama sebagai faktor yang menentukan struktur negara-negara Islam.

Dogma khususnya syariat Islam merupakan kerangka yang “dingin “ dan berpengaruh secara kausal dimana kegiatan sosial berlangsung. Namun kemudian Weber memperlunak pernyataan ini dengan menerangkan bahwa dominasi patrimonial yang berbuat sekehendak hatinya dan yang tidak dapat diperkirakan dari semula mempunyai hasil memperkuat lingkungan ketaatan terhadap hukum (Bryan Turner,1991:15). Walaupun Weber selalu tergelincir ke dalam posisi kausalitas pluralis dan ketidak pastian kausal, namun wujud keseluruhan pengkajiannya,bahwa masyarakat Islam adalah sebuah masyarakat yang berciri dominasi patrimonial,yang menyebabkan hubungan-hubungan politik,ekonomi dan hukum menjadi tidak stabil dan kacau, tegasnya tidak rasional.Weber berkelanjutan mempertentangkan kondisi sosial feodalis Eropa, yang menjamin hak milik, dengan kondisi feodalisme prebendal dan patrimonialisme dunia timur yang menggunakan cara-cara yang semena-mena.

Dengan demikian paparan yang dikemukakan Weber mengenai etika Islam tidaklah benar dan dengan analisa yang dangkal.

Sosiologi Agama, Sebuah Kajian Memahami Pemikiran Max Weber

Diawali oleh esai etika protestan dan semangat kapitalisme, Weber menyebutkan agama adalah salah satu alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia mengaitkan efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya barat. Tujuannya untuk menemukan alasan mengapa budaya barat dan timur berkembang dengan jalur yang berbeda. Weber kemudian menjelaskan temuanya terhadap dampak pemikiran agama puritan (protestan) memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, namun tentu saja ini ditopang dengan faktor lain diantaranya adalah rasionalitas terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Studi agama menurut Weber semata hanyalah meneliti satu emansipasi dari pengaruh magi, yaitu pembebasan dari pesona. Hal ini menjadi sebuah kesimpulan yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang sangat penting dari budaya yang ada di barat.

Max Weber dengan baik mengaitkan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalis (Die Protestan Ethik Under Giest Des Kapitalis). Tesisnya tentang etika protestan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kapitalis. Ini sangat kontras dengan anggapan bahwa agama tidak dapat menggerakkan semangat kapitalisme. Studi Weber tentang bagaimana kaitan antara doktrin-doktrin agama yang bersifat puritan dengan fakta-fakta sosial terutama dalam perkembangan industri modern telah melahirkan corak dan ragam nilai, dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi perilaku individu.
Karya Weber tentang The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism menunjukkan dengan baik keterkaitan doktrin agama dengan semangat kapitalisme. Etika protestan tumbuh subur di Eropa yang dikembangkan seorang yang bernama Calvin, saat itu muncul ajaran yang menyatakan seorang pada intinya sudah ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka, untuk mengetahui apakah ia masuk surga atau neraka dapat diukur melalui keberhasilan kerjanya di dunia. Jika seseorang berhasil dalam kerjanya (sukses) maka hampir dapat dipastikan bahwa ia ditakdirkan menjadi penghuni surga, namun jika sebaliknya kalau di dunia ini selalu mengalami kegagalan maka dapat diperkirakan seorang itu ditakdirkan untuk masuk neraka.
Doktrin Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber tersebut telah membawa implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas Protestan, etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja keras guna merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia – juga merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi di kalangan pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial ekonominya. Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia – akan menjadi ancaman bagi kehidupan akhirat, artinya sukses hidup didunia akan membawa pada masa depan yang baik di akhirat dengan “jaminan” masuk surga, sebaliknya kegagalan yang tentu berhimpitan dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi “jaminan” pula bagi individu itu masuk neraka.
Upaya untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan “mengumpulkan” harta benda yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin kebahagiaan dunia, tetapi juga sebagai media dalam mengatasi kecemasan. Etika Protestan dimaknai oleh Weber dengan kerja yang luwes, bersemangat, sungguh-sungguh, dan rela melepas imbalan materialnya. Dalam perkembangannya etika Protestan menjadi faktor utama bagi munculnya kapitalisme di Eropa dan ajaran Calvinisme ini menebar ke Amerika Serikat dan berpengaruh sangat kuat disana.
Weber mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan yang sangat mendukung pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi. Semangat seperti itu telah menjadi kodrat manusia-manusia rasional, artinya pengejaran bagi kepentingan-kepentingan pribadi diutamakan daripada memikirkan kepentingan dan kebutuhan kolektif seperti yang dikehendaki oleh Kar Marx. Islam pun sebenarnya berbicara tentang kaitan antara makna-makna doktrin dengan orientasi hidup yang bersifat rasional. Dalam salah satu ayat disebutkan bahwa setelah menyelesaikan ibadah shalat, diperintahkan untuk bertebaran di muka bumi ini dalam rangka mencari karunia Allah SWT. Namun dalam Islam ada mekanisme penyeimbangan yang digunakan untuk membatasi kepemilikan pribadi dengan kewajiban membayar zakat, infaq dan shadaqah.
Menurut Max Weber bahwa suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik memiliki ciri-ciri khusus kapitalisme yang dapat mendominasi yang lainnya merupakan kenyataan yang real ketika masa-masa awal revolusi industri, ketika Weber hidup, kenyataan-kenyataan itu mejadi sesuatu yang benar-benar nyata dipraktekkan oleh manusia. Hidup harus dimulai di suatu tempat dan bukan dari individu yang terisolasi semata melainkan sebagai suatu cara hidup lazim bagi keseluruhan kelompok manusia.
Kita perlu mengkritik mengenai teorinya Weber tentang etika protestan dan semangat kapitalis ini. Dalam penelusuran sejarah, ternyata setelah Weber mempublikasikan tulisannya mengenai etika protestan justru keadaan ekonomi masyarakat protestan semakin menurun dan disisi lain mayoritas katolik justru sedang bangkit. Ini adalah bola api yang bisa berbalik membakar teorinya Weber sendiri, karna etika protestan dan semangat kapitalis yang menjadi teorinya tidak dapat dijadikan ramalan masa depan.
Selain membicarakan tentang kaitan antara Protestan dan Kapitalisme, Weber juga membicarakan tentang agama Tiongkok yakni Konfusionisme dan Taoisme, perhatian Weber pada agama ini tampaknya menunjukkan besarnya perhatian Weber atas kenyataan-kenyataan sosial dalam kehidupan manusia. Dalam tulisan-tulisannya yang lain, Weber juga sempat membicarakan masalah-masalah Islam. Hadirnya tulisan tentang Konfusionisme dan Taoisme dalam karya Weber ini dapat dipandang sebagai perbandingan antara makna agama di Barat dan di Timur. Ia banyak menganalisa tentang masyarakat agama, tentu saja dengan analisa yang rasional dan handal serta sama sekali tidak ada maksud untuk mendiskriminasikan agama tertentu. Agama Tiongkok; Konfusianisme dan Taonisme merupakan karya terbesar kedua dari Weber dalam sosiologi tentang agama.
Weber memusatkan perhatiannya pada unsur-unsur dari masyarakat Tiongkok yang mempunyai perbedaan jauh dengan budaya yang ada di bagian barat bumi (Eropa) yang dikontraskan dengan Puritanisme. Weber berusaha mencari jawaban “mengapa kapitalisme tidak berkembang di Tiongkok?” dalam rangka memperoleh jawaban atas pertanyaan sederhana diatas, Webar melakukan studi pustaka atas eksistensi masyarakat tiongkok. Bagaiman eksistensi itu dipahami Weber dalam rangka menuntaskan apa yang menjadi kegelisahan empiriknya, maka yang dilakukana adalah memahami sejarah kehidupannya,
Dalam berbagai dokumen yang diteliti oleh Weber, bahwa masyarakat Tiongkok memiliki akar yang kuat dengan kehidupan nenek-moyang mereka sejak tahun 200 SM,
Tiongkok pada saat itu merupakan tempat tinggal para pemimpin kekaisaran yang membentuk benteng-benteng di kota-kota Tiongkok, disitu juga merupakan pusat perdagangan, namun sayangnya mereka tidak mendapatkan otonomi politik, ditambah warganya yang tidak mempunyai hak-hak khusus, hal ini disebabkan oleh kekuatan jalinan-jalinan kekerabatan yang muncul akibat keyakinan keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Hal lainnya adalah gilda-gilda yang bersaing merebutkan perkenan kaisar. Sebagai imbasnya warga kota-kota Tiongkok tidak pernah menjadi suatu kelas setatus terpisah. Namun jika kita cermati dinegara beragamakan Taoisme dan Konfucuisme kini mampu berkembang dan banyak kapitalis dimana-mana mungkin hal itu sudah tidak relevan lagi dengan fakta sosial saat ini.
Pada bagian awal buku ini weber menuliskan tentang politik dan kekuasaan, ada berbagai hal yang menarik untuk diulas bagi banyak teoritik sosial. Tentang Negara Weber mendifinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, definisi ini menjadi sangat berharga karna sumbangsihnya dalam studi tentang ilmu politik barat modern. Pada bagian satu buku ini diterangkan tentang adanya tiga justifikasi batiniah yang menjadi legitimasi dasar bagi dominasi. Legitimasi dasar bagi dominasi ini yang pertama ialah otoritas atas masa lalu abadi atau sering disebut sebagai dominasi tradisional, karma disini ada otoritas atas adat istiadat yang dikeramatkan. Otoritas seperti ini dipakai patriach dan penguasa patrimonial dimasa lalu, salah satunya adalah adat yang mengangkat seorang pemimpin atas dasar darah keturunan atau dari suku tertentu. Yang kedua merupakan otoritas kharismatik diantaranya; ketaatan personal absolut dan keyakinan personal pada wahyu, heroisme, atau bisa juga kualitas lain yang istimewa dari kepemimpinan individual. Sebagai contohnya seperti yang diperaktikan seorang Nabi, pangliama perang terpilih, atau pemimpin-pemimpin politik yang memang mempunyai sebuah kharisma. Yang ketiga merupakan dominasi karma legalitas, dominasi ini didasari oleh sebuah hukum yang memang sudah terbentuk. Legalitas ini timbul karena keyakinan pada keabsahan statula legal dan komnpetensi fungsional yang beralas pranata yang dibuat secara rasional. Contohnya pemimpin yang dipilih secara demokratis melalui pemilu yang berdasarkan undang-undang yang berlaku seperti halnya Negara kita dan Negara-negara lain yang demokratis.
Ada yang perlu dikritik dalam karya Weber mengenai perkembangan rasionalisasi hukum, menurutnya perkembangan hukum diawali pewahyuan ala kharismatik, tahapan ini merupakan penciptaan hukum dari ketiadaan hukum sama sekali. Tahapan ini ditandai dengan mode bersifat kharimatik. Tahapan yang kedua menurut Weber adalah penciptaan hukum secara empiris, pengadaan hukum empiris ini tercipta melalui proses teknis yang merupakann kreatifitas manusia itu sendiri, tahapan kedua ini ditandai dengan metodenya yang bersifat empirical. Selanjutnya adalah tahapan imposition atau pembebanan hukum oleh kekuatan-kekuatan sekuler, dan yang terakhir merupakan tahapan profesional, artinya hukum yang dibuat oleh orang-orang yang benar-benar mempunyai kemampuan didalamnya karna mereka mendapatkan pendidikian formal dengan metode ilmiah dan logis formal. Kesimpulanya Weber melihat masyarakat selalu akan berkembang dari kharismatik tradisional menuju tahapan-tahapan yang sudah ditentukan diatas. Tapi jika kita melihat berbagai perkembangan hukum, proses itu tak berjalan linier menaiki tangga secara berurutan, justru perubahannya bisa saja terjadi secara gradual atau acak. Hal ini bisa ditemukan pada kondisi masyarakat yang mengalami revolusi. Ditengah-tengah dunia modern kita masih menemukan fakta banyaknya masyarakat tradisional yang begitu kesulitan dalam menyesuaikan hukum yang mengikatnya oleh hukum formal yang diciptakan negara, ini mengakibatkan kementalan antara kualitas hukum dan kualitas masyarakat, alasannya adanya masyarakat yang tak bisa mencerna hukum sehingga terjadi pemboikotan secara tidak langsung.
Ada kasus yang lebih menarik dikaitkan dengan perkembangan hukum manusia saat ini, contoh beberapa negara yang menggunakan syariat Islam, tentu saja bisa merupakan penolakan mentah-mentah atas teorinya Weber. Apa yang disebut sebagai hukum tuhan yang berpedoman pada wahyu dari teks-teks suatu kitab suci masih berlaku sepanjang zaman yang dijadikan hukum manusia saat ini. Tentu tidak serta merta dapat dikatakan ketinggalan, karna berada pada tahap satu dari perkembangan manusia yang diungkapkan Weber sebelunya, justru kharismatik tradisional mapu melampaui hukum manusia profesiaonal sekalipun.
Buku ini bisa di ibaratkan pohon yang memiliki beberapa tandan buah, beberapa tandan dari buku yang berkafer biru ini diantaranya mengulas tentang agama, kekuasaan, ilmu pengetahuan dan politik. Pada bagian yang kedua dalam buku ini merupakan esai tentang kekuasaan, didalamnya ada banyak sekali pembahasan diantaranya mengenai struktur kekuasaan, mengenai kelas social, status dan partai, juga birokrasi.
Weber selain dari salah satu pendiri ilmu sosiologi juga merupakan pendiri administrasi Negara modern, dalam karyanya weber banyak menulis tentang ekonomi dan pemerintahan. Kaitannya dengan birokrasi weber mengutarakan banyak hal termasuk didalamnya tentang karakteristik sebuah birokrasi. Ada beberapa karakteristik sebuah birokrasi yang merupakan kepiawaian modern yang berfungsi secara spesifik diantaranya : adanya prinsip area yurisdiksional yang sudah ditetapkan dan resmi, adanya prinsip-prinsip hirarki jabatan dan tingkat-tingkat kewenangan, manajemen yang yang didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis juga adanya menejemen yang benar-benar terspesialisai. Pada bagian yang tak kalah pentingnya, Weber mengulas bagaimana pemangkuan jabatan itu merupakan sebuah panggilan. Hingga pada sebuah kesimpulan Weber melihat birokrasi sebagai contoh klasik rasionalisasi.
Cukup banyak yang bisa ditemukan dari ide-ide cemerlang Max Weber mengenai birokrasi, sehingga saya pikir ini adalah PR bagi pembaca untuk dapat menghatamkan tulisan dalam buku yang penuh makna ini. Bagian ini memang merupakan acuan mengapa Weber dikatakan sebagai salah satu pendiri adanya administrasi modern.
Buku ini merupakan jendela melihat masa lalu untuk memahami kerangka teoritik Weber. Ia tak kalahnya dengan hantu tua Karl Marx bahkan ia menjadi salah seorang yang membalikan perspektif teoritik Marx. Diantaranya ketika Weber mengatakan pada suatu kesimpulan bahwa faktor material bukanlah satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi gagasan, namun sebaliknya gagasan itu sendiri mempengaruhi struktur material. Weber juga mencoba melengkapi kekurangan dari marx terbukti didalam karyanya mengenai stratifikasi dimana stratifikasi sosial diperluas hingga mencakup stratifikasi berdasarkan prestis, status atau kekuasaan. Pada dasarnya karya Weber lebih menekankan tentang proses rasionalisasi yang selalu mendasari semua teoritiknya.
Isi buku yang diterbitkan oleh pustaka pelajar ini mempunayai bobot nutrisi kaya teori, namun tingkat kesulitan dalam memahami bagaimana inti permasalahannya menjadi kendala utama dalam menguasai teori dalam buku ini. Masalah seperti ini memang sering kita temui ketika membaca karya-kaya terjemahan asing. Banyak para tokoh yang menjelaskan teori weber ini dalam bahasa yang sangat sderhana sehingga mudah untuk dipahami, Weber merupakan penulis yang paling buruk dibandingkan dengan tokoh sosiologi lain dalam menjelaskan ide gagasannya, makanya banyak kalangan begitu kesulitan menangkap pemikiran Weber sehingga lebih memilih buku yang sudah dianalisa oleh tokoh lain sesudah Weber. Namun dibalik itu semua Weber mempunyai ide yang cemerlang, ia mempunyai pemikiran yang hebat yang bisa ditemukan dalam buku ini. Kerumitan dalam memahami buku sosiologi Max Weber ini dapat diatasi dengan kesungguhan mempelajarinya.
Buku ini seperti sebuah sumur yang dalam, dengan air sebagai gambaran dari teorinya yang tak pernah kering sepanjang masa. Gagasan Max Weber seakan tak pernah surut menghadapi musim silih berganti, ditengah-tengah bayak teoritis baru bermunculan justru ia dapat berjasa dalam perkembangan sosiologi sepanjang zaman.