Minggu, 22 Mei 2011

DAMPAK PSIKOLOGIS UJIAN NASIONAL

UN DAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
(Kajian Dampak Pskologis)

Pemerintah menilai sangat penting menyelenggarakan UN untuk meningkatkan kualitas pendidikan. UN dipandang sebagai dasar melakukan pemetaan situasi pendidikan, seperti kualitas pendidikan yang di dalamnya tidak terlepas dari sarana dan prasarana, kualitas guru dan sebagainya. Pada tahap selanjutnya secara ideal, sekolah-sekolah yang masih dinilai kurang mampu akan diberikan pembinaan dan bantuan untuk meningkatkan kualitas. Walaupun dalam beberapa tahun pelaksanaan UN ini masih banyak sekolah-sekolah yang masih kurang kualitas pendidikannya, jumlah guru, kualitas guru maupun sarana dan prasarana.
Hasil akhir UN yang akan dipakai sebagai dasar seleksi masuk jenjang pendidikan selanjutnya juga kurang menjamin rasa keadilan bagi siswa. Ada beberapa Perguruan Tinggi Negeri yang membuka jalur masuk khusus bagi siswa-siswa berprestasi yang penilaian prestasinya dimulai sejak siswa berada di kelas 1 SLTA. Dengan sistem UN, mungkin saja ada siswa yang sangat berprestasi selama 3 (tiga) tahun belajar namun tidak lulus. Bagaimana kaitannya dengan penilaian terhadap prestasi siswa tersebut selama ini? Lagi pula untuk masuk perguruan tinggi tertentu, pemerintah telah mempersiapkan jalur seleksi yang lebih fair dan adil untuk seluruh siswa tanpa kecuali.
Selanjutnya, yang patut dicermati adalah hasil UN yang juga dijadikan satu-satunya instrumen untuk menentukan kelulusan. Hal ini adalah satu kekeliruan. Berapa banyak siswa yang tidak lulus UN pada selama tiga tahun adalah siswa yang berprestasi. Ini merupakan ketidakadilan bagi siswa tersebut. Ketidakadilan ini pada tahap akhir akan menimbulkan dampak psikologis yang berat bagi siswa-siswa yang tidak lulus. Penilaian guru dan satuan pendidikan sekolah sama sekali tidak berpengaruh untuk hal tersebut sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 63 di atas.
Sekolah juga pada akhirnya merasa memiliki tanggung jawab untuk menjamin kelulusan siswa terkait dengan kredibilitas sekolah yang lebih baik dengan banyaknya jumlah siswa yang lulus UN. Seringkali sekolah-sekolah dan guru melakukan segala upaya termasuk berbagai kecurangan untuk memastikan siswa-siwa lulus pada UN. Akhirnya pendidikan Indonesia yang memang sudah berada pada model pendidikan yang oleh Paulo Freire dikritik sebagai banking education, yaitu suatu model pendidikan yang tidak kritis karena hanya diarahkan untuk domestifikasi, penjinakan, dan penyesuaian realitas sosial dengan keadaan penindasan, akan semakin berada pada kondisi yang memprihatikan. Siswa hanya menjadi robot, keranjang sampah dan tidak kreatif dengan munculnya satu target baru dalam dunia pendidikan yaitu lulus pada UN. Bentuk soal-soal UN yang diberikan dalam multiple choice juga mematikan kreatifitas dan daya kritis siswa, karena sarat hapalan (teori) dan miskin penalaran.
UN juga akan sangat memberatkan bagi sekolah-sekolah yang berada di daerah terpencil, daerah bencana, daerah konflik, dan daerah miskin yang masih rendah kualitas pendidikannya dibanding dengan sekolah-sekolah di daerah lain. Kurangnya sarana dan prasarana pendidikan, rendahnya mutu pendidikan, kurangnya tenaga dan guru yang berkualitas menyebabkan tingkat kesiapan pendidikan di daerah-daerah untuk menyelenggarakan UN juga rendah. Apalagi, UN yang terkesan diadakan secara tergesa-gesa, sangat tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk menyiapkan diri secara lebih baik. Akibatnya UN cenderung diskriminatif terhadap mereka, jika dibanding dengan siswa dari daerah-daerah yang normal.
Kalaupun UN (terpaksa) harus diselenggarakan, maka pemerintah harus menyusun semacam standar pelayanan minimum pendidikan di daerah-daerah, (walaupun) tetap mengacu pada standar nasional. Berdasarkan penyelenggaraan standar pelayanan minimum inilah UN diselenggarakan. Singkatnya, dengan standar pelayanan minimum ini, UN dilaksanakan dengan bentuk yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi dan kualitas pendidikan di daerah masing-masing. Hal ini tentunya akan lebih adil dan tidak menimbulkan kesan diskriminatif.
Peningkatan mutu pendidikan dan standaridisasi pendidikan sebagaimana yang diharuskan pemerintah pusat bagi pemerintah daerah, tidaklah mudah. Hal ini tentunya karena berbedanya sumber daya dan kemampuan pengelolaan sumber daya di bidang pendidikan di masing-masing daerah, termasuk dalam hal penerapan UN. Seharusnya yang dilakukan oleh pemerintah memikirkan upaya-upaya meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia yang membutuhkan strategi bertahap dan tanpa penyeragaman. Sekolah-sekolah yang kurang berkualitas atau di daerah-daerah terpencil dapat dipacu dahulu dengan berbagai bantuan untuk peningkatan kualitas, baik dari segi prasarana dan tenaga pengajar, sampai akhirnya siap dilakukan standarisasi yang sesungguhnya.
Sebab itu, daripada langsung mengadakan UN, seharusnya pemerintah terlebih dahulu melakukan evaluasi apakah pemenuhan standar pelayanan minimum pendidikan sudah dilaksanakan di sekolah-sekolah, mulai dari program hingga kualitas guru. Sebab bila belum dilaksanakan, maka UN hanyalah akan melakukan diskriminasi terhadap daerah-daerah yang kurang memiliki akses terhadap pendidikan.
Akhirnya, pemerintah harus mencermati kembali penyelenggaraan UN yang setelah adanya keputusan MA, secara legal formal harus segera dilakukan. Dengan mengkaji ulang UN yang terkesan diskriminatif, mendoktrin dan membelenggu kreativitas siswa, kita sangat berharap, dunia pendidikan kita, seperti istilah Paulo Freire, dapat menjadi alat pembebasan yang sanggup menciptakan ruang bagi anak-anak bangsa untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis terhadap berbagai problem sosial, kemanusiaan, dan kebangsaan. Tujuannya? Agar kelak generasi masa depan negeri ini mampu mengartikulasikan proses transformasi sosial secara arif, matang, dan dewasa; terbebas dari perilaku instan, korup, hipokrit, keras kepala, dan mau menang sendiri.