Minggu, 22 Mei 2011

Filsafat Analitika

BAB II
F I L S A F A T
Apabila kita menonton satu pertandingan sepakbola, maka lebih dahulu sekali kita mesti pisahkan si pemain, mana yang masuk klub ini, mana pula yang masuk kumpulan itu. Kalau tidak begitu bingunglah kita. Kita tak bisa tahu siapa yang kalah, siapa yang menang. Mana yang baik permainannya, mana yang tidak.
Begitulah kalau kita masuki pustaka filsafat yang mempunyai ratusan, ya, ribuan buku itu. Kita lebih dahulu mesti pisahkan arah-pikiran para ahli filsafat. Kalau tidak, niscaya bingunglah kita, tak bisa memisahkan siapa yang benar, siapa yang salah. Seperti para pemain sepak bola tadi kacau balau di mata kita, tak tahu apa maksudnya masing-masing, begitulah di mata kita para ahli filsafat berkata semau-maunya saja, kalau tak ada pangkal tak ada ujung.
Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital’’, yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring’’ dan "Ludwig Feurbach’’ sejarah dan ekonomi.
Sebagai co-creator Engels melanjutkan dan mendalamkan paham Dialektis Materialisme dan komunisme, dengan bahasa yang terang, populer, jitu dan merdu. Engels memisahkan para ahli filsafat dari jaman Yunani sampai pada masa hidupnya Marx-Engels dalam dua barisan. Pada satu barisan terdapat kaum Idealis yang bertentangan dengan barisan kedua, kaum materialis. Kaum Idealis "umumnya’’ memihak pada kaum yang berpunya dan berkuasa, sedangkan kaum materialis berpihak pada proletar dan kaum tertindas. Kadang-kadang perlawanan tinggal tersembunyi tetapi kadang-kadang terbuka terus-terang, cocok dengan riwayatnya perjuangan proletar dan kapitalis dalam politik. Kadang-kadang idealis di luarnya itu, materialis di dalamnya, sarinya; Spinoza, kadang-kadang materialis di luarnya, tetapi di dalamnya idealis.
Menurut pemisahan yang diadakan oleh Engels, maka pada barisan idealis, kita dapati penganjur terkemuka sekali seperti Plato, Hume, Berkeley yang berpuncak pada Hegel. Pada barisan materialis, kita dapati Heraklit, Demokrit dan Epikur, di masa Yunani, Diderot, Lamartine di masa revolusi Perancis yang berpuncak pada Marx-Engels. Di antaranya itu didapati banyak ahli filsafat campur aduk scientists, setengah idealis setengah materialis.
Biasanya musuh proletar, menerjemahkan dan menyamarkan "materialisme’’ itu sebagai ilmu yang berdasar atas daya upaya mencari kesenangan hidup tak terbatas; makan sampai muntah, minum sampai mabuk, kawin dan cerai sesukanya saja. Sedangkan idealisme itu diterjemahkan dan dijunjung tinggi sebagai satu ilmu berdasarkan kesucian yang paling tinggi, lebih memperhatikan berpikir dari pada makan, dan kebudayaan yang sampai menjaduhi kaum ibu seperti seorang santri, resi. Dalam keadaan yang benar, dalam kehidupan mereka, kita tidak sekali dua kali berjumpa, dengan seorang yang memangku paham idealis berlaku sebaliknya dari persangkaan itu, sedangkan dalam kalangan materialis banyak kita dapati orang hidup dengan segala sederhana dan seperti suami dan bapak yang setia.
Idealis dan materialis yang dijadikan Engels sebagai ukuran buat memisahkan para ahli filsafat dalam dua barisan, semata-mata berdasarkan atas sikap yang diambil si pemikir, ahli filsafat dalam persoalan yang sudah kita tuliskan lebih dahulu, yakni mana yang pertama, primus, mana yang kedua. Benda atau fikiran, matter atau idea. Yang mengatakan pikiran lebih dahulu, itulah pengikut idealisme, itulah yang idealis. Yang mengikut materialisme, itulah yang materialis. Hidup segala sederhana, atau mau segala lebih dengan tiada memperdulikan kesehatan diri sendiri, dan kebaikan buat masyarakat itu bergantung kepada watak masyarakat, dan didikan masing-masing orang.
Dengan memakai pemisahan yang diadakan oleh Engels, filsafat menjadi persoalan yang mudah bagi kita. Dengan mengambil satu contoh, satu model saja, kita bisa ketahui seluk beluknya perkara yang bersamaan dan bersangkutan. Dengan David Hume sebagai ahli filsafat idealis, kita bisa gambarkan semua ahli filsafat idealis dari Plato sampai Hegel.
"If I go into myself’’, "kalau saya masuki diri saya sendiri’’, kata Hume, maka saya jumpai "bundles of conceptions’’, bergulung-gulung pengertian, bermacam-macam gambaran dari pada benda.
 
Kalau Hume hendak mengetahui apakah benda yang bernama buah jeruk itu umpamanya, maka yang ia insyafi cuma rasanya yang manis itu, kulitnya yang licin itu, beratnya yang 1/2 atau ¼ kilo itu, warnanya yang hijau atau kuning itu, bunyinya yang nyaring atau lembek itu. Bunyi itu ada di telinga, dalam badan Hume, bukan pada jeruk, beratnya di tangan Hume, bukan pada jeruk, rupanya pada mata, rasanya di lidah atau di ujung jari Hume. Semuanya bunyi, rupa dan rasa itu dengan perantaraan saraf, nerve, berjalan ke pusat ke centre, ke otak.
Otak mencatat bunyi, rupa dan rasa tadi menjadi pengertian, conception, seperti pengertian merdu, kuning, berat, lezat dan licin. Semua pengertian ini " dalam’’ saya, kata Hume, bukan di luar saya. Jeruk itu sebagai benda, tak ada bagi saya. Yang ada Cuma "ide’’, pikiran, pengertian, tentang benda itu dalam otak saya. Otak saya penuh dengan pengertian "bundles of conceptions’’ kata Hume. Jeruk sebagai benda, lembu sebagai benda, tak ada buat saya. Yang ada cuma ide, pikiran, pengertian, gambaran dari jeruk, lembu, bumi, bintang dan engkau. "Engkau’’ kata Hume, cuma "ide’’ buat saya.
Tetapi Engkau buat Hume adalah saya buat tuan Smith umpamanya, dan saya buat Hume, adalah engkau buat Smith. Jadi engkau cuma ide, cuma gambaran buat Hume itu mestinya juga gambaran buat Smith. Hume yang dipandang dari pihak Smith ialah engkau mestinya satu gambaran, satu ide saja. Tak ada Hume itu buat Smith sebagai orang, sebagai ahli filsafat. Yang ada cuma gambaran dalam otak Smith.
Dengan begitu Hume yang membatalkan benda dan mengaku ide saja, membatalkan adanya dirinya sendiri, mengakui bahwa sebetulnya dia sendiri tak ada. Beginilah akibatnya yang konsekwen dari Idealisme, dengan membatalkan adanya benda, ia membatalkan dirinya sendiri.Demikianlah David Hume dengan memisahkan ide dari benda, abstraction dan menganggap ide yang pertama, dalam menentang benda sebagai dasar yang pertama, tewas dalam tentangannya membatalkan adanya diri sendiri. Dengan begitu ia sebetulnya membatalkan filsafat idealisme itu.Sesudah Hume, boleh dibilang filsafat idealisme sudah mati. Tetapi barang yang mati itu acapkali menjelma hidup kembali dengan memakai bentuk baru, seperti Pharao Rah dan Ptah tadi, sekarangpun masih ada bentuknya.Emmanuel Kant ahli filsafat Jerman kesohor itu, mengangkat naik kembali bendera Hume, tetapi tidak dengan konsekwensi Hume. Kant tidak berjalan terus jujur seperti Hume, tetapi maju mundur. Seperti kata Lenin, filsafat Kant tidak boleh dipakai buat berkelahi, bukan filsafat berkelahi. Menurut Kant, kita bisa ketahui dengan pancaindera kita sesuatu benda, tetapi "Ding an Sich” benda sendirinya, kita tidak bisa ketahui."Kalau sudah kita ketahui sesuatu barang dengan pancaindera apa juga lagi yang mesti kita ketahui tentang barang itu“ begitulah kaum materialis bertanya. Buat kaum materialis hal itu sudah cukup. Tetapi buat Kant itu belum cukup. Ia tak sepenuhnya memihak pada Hume dan bilang terus terang, bahwa benda itu buat dia tak ada, yang ada cuma gambaran dalam otaknya. Tetapi ia cari rumput buat sembunyi dengan memakai "Ding an Sich” benda itu sendiri.
Jawab Engles dalam hal ini, pendek dan jitu. Kata Engels: dari hari ke sehari "Ding an Sich” itu, sudah menjadi "Ding an Furuns”. Benda yang sendirinya itu tidak diketahui, dari sehari ke sehari sudah menjadi "benda kita”. Keterangan Engels tentang "Ding Fur Uns” itu dulu banyak saya cari tapi tak berjumpa. Tetapi menurut pikiran saya, jawab Engels yang pendek ini mesti diterjemahkan sebagai berikut:"Air” umpamanya, yang dahulu kala dianggap oleh nenek moyang kita seperti suatu barang yang ajaib, sekarang kita sudah ketahui "zat asalnya”, ialah Hydrogen dan oxygen. Sudah diketahui, menurut undang mana dia berpadu, ialah menurut Undang Dalton. Apa rasanya air itu kalau diraba atau diminum. Berapa beratnya 1 L. Apa gunanya buat kita, buat tumbuhan dan hewan. Bagaimana sifatnya, dsb. Apa juga lagi yang mesti di "Ding an Sich”kan tentang air, nenek moyang kita cuma mengetahui 4 zat saja di alam ini ialah :tanah, air, api, udara. Sekarang sudah diketahui 92 zat asli, elementen. Yang diketahui sudah boleh kita periksa dengan pancaindera kita, dengan perkakas yang kita bikin, seperti microoskop, telescoop dan teropong, perkakas yang bisa membesarkan kuman, beratus ribu kali dan mendekatkan bintang beratus ribu kali. Perkakas yang dari tahun ke tahun, dari abad ke abad, bisa ditambah kepastiannya dan kejituannya. Semua zat yang kita ketahui itu boleh kita pada satu sama lainnya, kita buat makanan dan kesehatan kita, kita pakai kodratnya buat kehidupan dan kesenangan kita. Kaum penakluk memakai buat menerpedo dan membom. Yang belum kita ketahui, sedang kita cari dengan giat dan dengan lebih besar pengharapan mendapatkannya karena teori, cara berpikir dan perkakas kita makin banyak, makin baik.
Dimana lagi "Ding an Sich” itu tempatnya, pada zaman, di mana alam yang dahulu kala, dianggap gaib itu, sebagian besar sudah diketahui dan dikontrole, dikemudikan dipakai menjadi "Sing fur Uns”, yakni benda kita, seperti kata Engels tadi. Idealis yang lebih licin, karena ia memakai Dialektika dan Logika dengan cara dan bahasa yang tiada ada bandingnya selama ini, ialah Hegel. Lama Marx, walaupun ia sudah Marxis, sesudah meninggalkan gurunya, Hegel, dilekati Hegelisme.
 
Dengan dua sayap thesis di kanan, anti thesis di kiri dan badan synthesis di tengah, Hegel terbang makin lama makin tinggi sampai silau mata si pemandang.
Buat Hegel "absolute Idee” ialah, yang membikin benda "Realitat”. "Die absolute Idee macht die Gesichte” absolute idee yang membikin sejarah, histori, dan membayang pada filsafat. Bukan filsafat yang membikin sejarah, katanya, melainkan Absolute Idee "deren nachdrucklichen Ausdruck, die Philosophie ist” yang tergambar nyata pada filsafat. Jadi menurut Hegel, sejarah ialah sejarah dunia dan masyarakat dibikin Absolute Idee, dan hal ini tergambar pada filsafat. Pada lain tempat Hegel mengatakan, bahwa Negara dan Saat ialah "verwieklichung” penjelmaan, absolute idee itu. Absolute Idee itu sama dengan Metaphysik, Idee sendirinya, idee yang tak dibikin, yang tunggal tak jatuh pada undang sebab dan akibat, hidup dan mati, tak melahirkan atau dilahirkan, tak takluk pada tempo dan tempat, melainkan tunggal, terkuasa dan sempurna. Absolute Idee itu tergambar jitu dan pasti pada filsafat. Absolute Idee akhirnya sama dengan metaphysik, yakni gaib di luar Ilmu Alam, rohani, Ammon kata Egypte purbakala, Dewa Rah.
Rohani inilah yang dicari oleh mystikus, murid tarekat Hindu, kalau ia memandang puncak hidungnya saja, menyebut omm, omm, omm, lepas dari semua yang lahir, pikiran pada perempuan, pada badannya sendiri, lepas dari makanan, ya, lepas dari suaranya sendiri, omm, omm, omm tadi. Kalau beruntung seperti Gautama Budha, maka leburlah Rohani, Jiwanya dengan Rohani yang mengisi Alam ini.
Feurbach, materialis besar, yang dianggap jembatan antara Hegel dan Marx, mula-mula memakai Dialektika juga. Buah pikirannya ketika itu banyak memberi alat pelajaran pada Marx dan Engles. Tetapi setelah Feurbach melemparkan Dialektika sebagian besar disebabkan hidup terpencil, seolah-olah terbuang dari pergaulan, maka hasil pemeriksaannya jauh terbelakang dari Hegel. Hegel dianggap oleh kaum materialis sebagai ujung filsafat yang negatif, yakni ujung yang membatalkan, ujung yang buntu. Feurbach dianggap sebagai ujung yang positif, yakni pembuka jalan yang baru ke jalan Dialektis Materialistis. Kaum Marxis sepenuh-penuhnya mengakui kemanjuran senjata Dialektika, tetapi membuang Idealisme Hegel.
 
Marx, sesudah beberapa lama dikagumi dan dipengaruhi Hegel, (sebagai pelajar ia bisa hapalkan pasal-pasal yang penting dari Hegelisme), akhirnya memasang Hegelisme di atas kakinya. Hegelisme yang selama ini dianggap berkepala di kaki dan berkaki di kepala, dibalikkan sebagai mana mestinya. Bukan pikiran yang menentukan pergaulan, melainkan pergaulan yang menentukan pikiran.
 
" Negara kata”, kata Marx "ialah satu akuan dan hasil dari perjuangan klas”. Perjuangan klaslah yang menjadi "Motive-Force”, kodrat pergerakan sejarah masyarakat, kodrat mengubah bentuk Negara, jadi bukanlah "Absolute Idee”, seperti kata Hegel. Zaman berbudak bertukar menjadi Zaman Feodal, Zaman Ningrat. Zaman Feodal itu sesudah Revolusi Perancis pada tahun 1789 bertukar menjadi Zaman-Kuno dalam pandangan sekarang. Dialektika, yakni pertentangan yang berlaku pada zaman Berbudak, ialah pertentangan budak dan tuan. Pada zaman feodal, pertentangan Ningrat dan Tani, pertentangan pemimpin gilde dengan anggota gilde. Pada zaman Kapitalisme sekarang pertentangan buruh dan kaum modal. Pertentangan klas yang berdasar atas pertentangan ekonomi itulah yang menjadi kodrat buat menumpu masyarakat pada satu bentuk ke bentuk yang lain, dari satu tingkat ke tingkat yang lain. Dari masyarakat berdasarkan perbudakan ke masyarakat berdasar keningratan, ke masyarakat berdasar kemodalan. Jadi pertentangan itu bukan pertentangan ide saja, seperti menurut paham Hegel – nanti akan diteruskan – tetapi pertentangan barang yang nyata, pertentangan antara dua klas besar yang berjuang, yang sekarang terus berjuang.
Pertentangan klas, ialah klas manusia, ialah barang yang nyata itu, berdasar atas pertentangan ekonomi yang dipertajam oleh kemajuan tehnik. Tehnik yakni perkakas yang dipakai dalam pergaulan, perkakas yang pada zaman ini dimiliki oleh kaum berkuasa dan kaum berpunya, menjadi alat adanya perjuangan klas itu. Semua perkakas dan klas manusia, yang menjalankan peranan dalam sejarah kita manusia ini adalah barang yang nyata semuanya. Peranan sejarah itu, tiadalah dibikin dan dikemudikan oleh Absolute Idee itu, sebagaimana juga sejarah tumbuhan-hewan-manusia, bumi dan binatang tidak dikemudikan oleh Dewa  Rah, Rohani, Ahimsa dsb.
Sebagaimana bumi dan bintang berjalan, bersejarah, menurut undang tarik menarik yang didapat oleh Newton, sebagaimana tumbuhan-hewan dan manusia bersejarah menurut undang-evolusinya Darwin, beginilah sejarahnya masyarakat manusia bersejarah menurut undangnya Historisch-Materialisme (Sejarah Materialisme), yang juga dinamai Dialektika Materialisme.Dengan lahirnya Marxisme, maka Hegelisme berbelah dua: Dialektika Idealistis dan Dialektika Materialistis. Yang pertama dipegang oleh kaum yang bermodal dan berkuasa dengan pengikutnya, yang kedua, oleh kaum proletar yang revolusioner. Di antara dua filsafat bertentangan tadi, sudah tentu ada bermacam-macam filsafat bukan buat bertarung. Hegelisme yang memang revolusioner terhadap kaum Ningrat Jerman, tetapi kontra revolusioner terhadap kaum Proletar, sudah tentu baik buat tempat berlindungnya kaum reaksioner seperti kata Marx: "Dalam bentuknya yang reaksioner, Hegelisme menjadi adat, sebab bentuk ini menerjemahkan keadaan yang ada”.
Idealisme tak akan mati selama masih ada perjuangan klas ini, selama ada kaum yang menghisap dan menindas. Kaum hartawan yang berkuasa pada satu pihak, mengemukakan ide, intelek, pikiran, terhadap kaum terhisap dan tertindas, pada lain pihak ia memakai kemegahan, majiat rohani buat meninabobokan kaum pekerja, supaya nanti mendapat nikmat, bidadari, yang matanya seperti mata burung merpati dan kesenangan kekal akhirat.
Demikianlah sesuai dengan perjuangan kelas, idealisme atau tak berdialektika, membentuk dirinya supaya cocok dengan keadaan klas yang memegangnya. Dimana Kapitalisme masih muda, kokoh karena sedang naik seperti Amerika, maka lahirlah idealisme berupa "pragmatisme” yang dikemukakan oleh John Dewey. Filsafat pemikir dari negara yang mempunyai "the biggest of all”, semuanya paling jempol, ini katanya berdasarkan "objective truth”, hakekat yang obyektif, yang tenang, tetapi kalau diperiksa lebih dalam, maka nyatalah bahwa "objective truth”, tadi bergantung pada paham, cita-cita dan perasaan borjuasi Amerika "the country of the free”, negara merdeka ialah buat borjuasi amerika. John Dewey mengambil masyarkat borjuis dan paham borjuis sebagai titik permulaan berpikir, ketika Amerika dalam kaya raya. Sekarang, sampai sebelum perang ini kemakmuran Amerika, yang disangka akan tinggal kekal tadi, sudah menyusuli kawannya di Eropa Barat. Krisis sudah bersimaharajalela dan tetap.
Sekarang buat 11.000.000 buruh, jadi buat kira-kira 33.000.000 buruh dengan anak bininya, "obyective truth” tadi, tidaklah begitu "obyective”, tidaklah begitu tenang. Semua barang yang memberi ketenangan buat borjuis seperti harta benda, justisi, polisi dan hak milik turun menurun, adalah benda yang mengacaukan paham, perasaan dan penghidupan kaum proletar Amerika sekarang.
Dimana pergerakan buruh berpengaruh sekali seperti di Jerman sebelum perang 1914-1918, maka dalam kalangan proletar sendiri idealisme itu tiadalah berani keluar terang-terangan. Dalam kalangan kaum proletar sendiri masuk bermacam-macam isme, yang diluarnya berupa materialisme, tetapi pada dasarnya terdapat idealisme. Lenin dalam bukunya: "Empiris-Critism” dengan terang dan jitu mengemukakan, pemisahan kaum ahli filsafat atas dua partai, seperti pertama kali dikemukakan oleh Engels, ialah partai ahli filsafat idealis dan partai materialis. Dengan sempurnanya Lenin membuka kedok yang dipakai oleh Empiris-Critism, Machinisme Neo Vitalisme, dll. Dan memperlihatkan idealisme yang sebetulnya jadi dasar filsafat mereka.
Di Rusia usahanya Lenin dan Plechanoff, (yang dalam kalangan Marxisten di Rusia sendiri sering saya dengar bahwa Plechanoff lebih besar dalam ilmu filsafat dari pada Lenin), usahanya dua ahli filsafat Materialis ini akhirnya menjatuhkan kekuasaan filsafat Idealisme di Rusia dan memaksa dia bekerja diam-diam. Dialektis Materialisme ialah Ilmu Pemandangan Dunia, “Weltanschauung” yang resmi, opisil di Sovyet Rusia.
Di sebelah Barat Eropa, idealisme masih sangat berkuasa dan pada masa ini idealisme-lah yang resmi. Idealisme Barat mendapat bentuk baru, dan pakaian baru, ialah anarchisme palsu, dari ahli filsafat Bergson dan syndikalisme dari Serel. Anachisme Bergson bukanlah anarchisme beraksi, seperti ilmu yang dipeluk oleh anarchis besar, ialah Bakunin. Bergson, Spengler dan Nietsche (yang belakang ini ialah satu filosoof krachtpatser, siapa kuat, siapa raja, Ubermensch) inilah yang dipeluk oleh Adolf Hitler dan Nazi. Filsafat Fasisme dianjurkan oleh pemikir Geovani Gentile.
"Facisme”, kata pemikir ini "bukanlah New System, tata filsafat yang baru, melainkan aksi-baru dan paham-baru”. "Manusia” katanya pada hakekatnya beragama. Manusia dan Tuhan selalu dalam "ewige Bewegung der Selbstverwirklichung”, pergerakan kekal buat berpaduan.Sedikit kita selidiki, filsafat partai fasis, yang sebetulnya pertama sekali menaikkan bendera reaksi di Eropa Barat, apabila partai Bojuis liberal kacau, partai Sosialis maju-mundur dan partai Komunis sebagian tak berpengalaman, tetapi terutama juga "sangsi” sebab negara Italia, kalau dikomuniskan gampang dikepung dan dijauhkan oleh Kapitalisme Eropa Barat dan Amerika.
Fasisme kata Geovani Gentile, bukan tata filsafat baru memang tidak, kalau dipandang dari kaca-mata idealisme. "aksi-baru dan paham-baru” katanya pula. Aksi kaum tengah dan paham kaum tengah terhadap proletar dengan pertolongan kapitalis, memang baru dalam perjuangan proletar – kapitalis model baru. Tetapi kalau kita baca Marx dalam buku "18th Brumaire of Louise Bonaparte”, tentang aksi dan paham Louise Bonaparte di Perancis, maka aksi dan paham Facisme Italia tadi cuma bentuk baru dari aksi dan paham tua. Mussolini, bapak fasisme juga amat tertarik oleh Napoleon Besar "ommpya” dari Louse Bonaparte sampai ia mentonilkan Napoleon, yang katanya orang Italia itu.
Bahwa manusia dalam batinnya beragama, ini dibatalkan oleh beberapa penyelidikan yang tenang, yang membuktikan beberapa bangsa di dunia tak mengetahui agama. Akhirnya kalau kita baca "pergerakan kekal buat perpaduan manusia dan Tuhan” menurut filsafat fasis itu, kita ditarik lagi ke negara Kapilawastu, ke kaki gunung Himalaya; mengagumkan percobaan Gautama Budha, mempersatukan rohnya dengan roh Alam buat masuk ke Nirwana. Cuma Gautama Budha tak seperti Mussolini memakai tongkat dan "kastor-olie” buat mematahkan semangat dan paham musuhnya Mateotti, pemimpin sosialis Italia, musuh besar Mussolini yang hilang lenyap selama-lamanya buat melakukan "paduan dengan Tuhan itu” dengan lekas.
Perjuangan klas tertutup dan terbuka. Inilah arti filsafat yang sebenarnya dari arti Dialektika yang sebetulnya. Ia boleh melayang tinggi seperti Hegelis dan tinggal di tanah, di perut, seperti dialektis materialisme (orang mesti makan dahulu sebelum berpikir, kata Engels), tetapi filsafat itu adalah bayangan masyarakat yang bertentangan, bukan bayangan Absolute Idee seperti kata Hegel.
Pada permulaan, filsafat itu timbul pokok, yang jadi persoalan, ialah "semua ini”. Ahli filsafat bertanya: "semuanya ini, bumi, langit dan pikiran itu sendiri, apakah artinya?” Lama-lama persoalan "semua ini” cerai-berai. Bumi dan langit sudah jatuh menjadi ilmu Bintang, yang sesudah Galilei, Copernicus, Newton, Einsten dll. Mendapat undang yang sementara boleh dikatakan sempurna.
Bumi kita ini jatuh kepada Ilmu Bumi, Geography dan Ilmu Tanah, Geology, yang sendirinya mempunyai daerah dan mempunyai undang pula. Perkara yang berhubungan dengan Zat dan Kodrat, jatuh pada Ilmu Alam. Perkara yang berhubungan dengan berpaduan beberapa zat, sehingga mendapatkan sifat baru, termasuk pada Ilmu Kimia. Ilmu Alam yang mulanya memeluk Ilmu Kimia, sekarang menceraikan dirinya dari Ilmu Listrik, yang sekarang karena besar daerahnya dan dalam artinya mesti dipelajari sendirinya.
Pemeriksaan atas tumbuhan jatuh pada Ilmu Tumbuhan, dan pemeriksaan atas hewan dan manusia jatuh pada Ilmu Hewan dan Ilmu Manusia. Ilmu Hidupnya asal dan penjelmaannya Tumbuhan, Hewan dan Manusia, jatuh pula pada Biology, satu Ilmu yang boleh dikatakan muda, dan banyak sekali mengandung arti buat kita. Umpamanya perkara evolusi atau pertumbuhan otak dan Pikiran dari otak binatang sampai ke otak manusia.Sudahlah tentu satu Ilmu dengan yang lain, ada seluk beluk dan perhubungannya, Ilmu Alam dan Ilmu Kimia, mesti diketahui ahli yang mempelajari Ilmu Kedokteran. Begitu pula agriculture, Ilmu Pertanian tak bisa berpisah dari Ilmu Alam dan Ilmu Kimia tadi. Demikianlah pula seorang Insinyur, jatuh dan berdiri dengan Ilmu Alam dan Matematika.
Syahdan, maka masing-masing Ilmu di atas tadi, disebabkan kemajuan pergaulan kita, kemajuan industri, perniagaan dan pesawat terpaksa dipecah-pecah lagi, terpaksa di-"specialiceer” lagi, terpaksa dipencilkan dan diistimewakan lagi. Dengan begitu perkara yang tiada berkenaan bisa disingkirkan dan waktu itu boleh dipakai buat memeriksa dan memperdalam perkara yang diistimewakan itu. Ilmu Kedokteran sudah pecah menjadi kedokteran umum, perkara gigi, telinga, mata, kanak-kanak dsb. Adalah bahaya buat Science, kalau pecah-pecahan itu (pada Ilmu yang sudah banyak itu) akan pecah terus, dengan tidak lagi mengetahui perhubungan satu Ilmu dengan Ilmu yang lain.
Bahaya itu kebetulan sudah diketahui dan amat dipelajari muslihat buat menjauhkannya. Kalau saya tak salah, maka perkataan filsafat sekarang diterjemahkan juga buat menggambarkan daya upaya mempersatukan Ilmu bermacam-macam itu, jadi buat memeriksa seluk beluk dan perhubungannya. Dengan begitu, maka si Scientist, si Ahli mungkin kehilangan hutan, karena sangat memperhatikan pohon-pohon saja.
Lupa garis besar, karena senantiasa memperhatikan garis yang kecil-kecil saja. Daya upaya semacam inilah sekarang yang sering diartikan oleh perkataan filsafat. Bukan lagi sikap yang diambil oleh ahli filsafat purbakala, yang dengan memangku tangan dan tafakur, bertanyakan: "Apakah artinya Alam dan apakah artinya pikiran itu?” Demikianlah kalau kita peramati kemajuan Ilmu Filsafat tadi, maka kita lihat pada Zaman Tengah tahun 478-1492 si pencari Hakekat dilekati oleh Ketuhanan. Kaum Scolastic, namanya di Eropa Barat tak bisa mencari hakekat itu, kalau persoalan itu tiada digarami, dilimaui (dijeruki) dan dimasak dengan God dan agama ialah agama Nasrani. Sesudah itu, pada zaman borjuis filsafat tadi sudah susut pada persoalan "Jasmani dan Rohani”, badan dan pikiran. Sudah lama pula filsafat ini jatuh ke tangan psychology, Ilmu jiwa, Ilmu yang memeriksa "the working of the mind” kerjanya otak. Ilmu ini tidak lagi direnungkan oleh si pemikir di atas kursi malas dalam otaknya saja, melainkan sudah dimasukkan ke laboratorium. Disinilah otak binatang dan manusia dipisah, diperiksa, diexperimentkan, diperalamkan. Disinilah instinct, yakni pikiran hewan, perasaan, kemauan hewan dan kecakapan hewan dalam belajar, diperiksa, diperalamkan, diuji dan dibandingkan dengan akal, perasaan dan kemauan manusia. Experimentalis William James dan Thorndyke di Amerika, Pavlov di Rusia dan experimentalis yang lain, banyak mengumpulkan pengalaman yang berharga dan masih banyak persoalan yang mesti diperalamkan dan diuji oleh Ilmu yang muda tetapi sangat menarik hati. "Ketahuilah dirimu sendiri “. Inilah sari persoalan dari seorang ahli filsafat Yunani yang terkenal ialah Socrates.
Sekarang persoalan ini sudah menjelma menjadi pemeriksaan atas "the working of the mind”, kerjanya otak, yang sudah dimasukkan ke laboratorium bersama dengan Ilmu lain-lain yang berdasarkan experiment, pengalaman.Filsafat bertukar, artinya bertukar rupanya dan pecah belah menjadi beberapa ilmu yang berdasarkan experiment. Engels sudah mendapat kesimpulan, bahwa sisanya filsafat ialah Dialektika dan Logika. Semua cabangnya yang lain jatuh pada bermacam-macam Ilmu Alam dan sejarah, ialah sejarah masyarakat Indonesia.Marx memandang dari sudut pertarungan klas, berkata dalam 11 thesis : Die Phylosophen haben die Welt nur verschienden interpretiert. Es komt aber daraufan die Welt zu veraendern. Para ahli filsafat sudah memberi bermacam-macam pemandangan tentang dunia itu. Yang perlu ialah menukar (merubah) dunia itu! 
1. FILSAFAT
Seperti soal agama, maka soal filsafat juga banyak tergantung kepada sudut pandangnya. Tetapi bagi kami sudut pandang yang bisa berhasil memuaskan dan yang tepat, yang bisa memberi penyelesaian ialah soal yang sudah dimajukan oleh Fredrich Engels pada abad lampau. Menurut Engels, ahli filsafat bisa dibagi dua golongan, yakni golongan materialis dan golongan idealis. Di antara dua golongan besar yang merupakan dua-kutub yang saling bertentangan itu terdapatlah pelbagai golongan, yang kalau dikupas lebih dalam sebenarnya termasuk ke dalam salah satu golongan, materialis atau idealis. Ahli-ahli filsafat itu terpecah dua sebagai akibat pertentangan jawaban yang diberikan oleh mereka atas soal filsafat, yang berbunyi: “Manakah yang asal (primus) dan manakah yang turunan (derivative) diantara benda (matter) dan paham (idea)? Di alam raya terdapat soal benda dan kodrat yang menggerakkan benda itu. Di dalam jenis hewan soal itu berubah menjadi soal badan dan jiwa (nyawa-naluri). Di dalam jenis manusia, soal itu berubah-bertukar menjadi soal jasmani dan ronahi-pikiran. Ahli filsafat bertanya, manakah yang asal, benda atau kodrat, badan atau jiwa, dan jasmani atau rohani?
2. KAUM MATERIALIS DAN IDEALIS
Kaum materialis menjawab bahwa benda dan jasmani itulah yang asal, yang pokok: “Tak ada kodrat zonder benda. Manusia haruslah dapat makan, supaya dapat berpikir”. Syahdan sebelum manusia itu ada di bumi ini, maka bumi dan binatang itu sudah ada, kata kaum filsafat materialis.
Menurut kaum idealis, maka ide, kodrat atau rohani itulah yang asal (primus) dan benda jasmani itulah yang turunan (derivative). Kata idealis ekstrem, maka yang ada di alam raya ini cuma ide saja, yakni ide yang ada dalam otaknya ahli filsafat itu sendiri. Memang paham ini ada hubungannya dengan kekuasaan mahadewa Rah, yang mengisi dunia-kosong pada awal dunia ini dengan binatang, bumi, langit, sungai, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia dalam sekejap mata setelah kata “Ptah” difirmankan (lihat Madilog).
Bagaimanapun juga perbedaan paham itu, teranglah sudah bahwa ejekan yang ditujukan oleh kaum idealis kepada kaum materialis, bahwa kaum materialis cuma memikirkan makan-minum serta kesenangan hidup saja, tidaklah pada tempatnya sama sekali.
3. AHLI FILSAFAT YUNANI
Bahwasanya setelah para ahli pikir Yunani mulai melepaskan diri dari tali pusat kepercayaan yang brander kepada dogma semata-mata, dan mulai kritis menghadapi alam raya kita ini, kita mengenal juga jawab yang diberikan oleh mereka itu. Mereka sampai kepada empat anasir asli, yakni tanah, air, udara dan api. Terkurung dalam rohaninya sendiri sebagai penyelidik alam raya ini serta terganggu oleh benda dan gerakan benda di luar pikirannya sendiri, maka Zeno, idealis Yunani, mengambil kesimpulan bahwa: “Gerakan (benda) itu cuma bayangan panca indera manusia saja (illusion of the sense).
Pemikir ulung masyhur dari bangsa Yunani juga, yakni Plato setelah memakai cara berpikir yang memisahkan benda dengan kodrat, serta memisahkan jasmani dengan rohani, mendapat kesimpulan bahwa yang asal itu ialah ide-mutlak (absolute idea). Dengan cara berpikir yang abstrak, pilah-memilah (analisis), dia sampai kepada Dunia Logos, Dunia Roh. Banyak persamaan Logos Plato itu dengan Atma-nya Hindu.
Sebaliknya, seorang pemikir tandingannya yang dengan dua kakinya bersandar atas benda yang nyata, serta gerakan benda, yakni Heraklitos, mengucapkan kesimpulan yang sampai sekarang masih besar artinya bagi kita, yaitu: ”Sesuatu itu ada dan tak ada karena semua itu cair, luntur, senantiasa berubah, selalu timbul dan lenyap”. Heraklitos mengakui adanya benda, bahkan memajukan hipotesis molekul, yang lebih dari dua ribu tahun kemudian baru dibenarkan oleh ilmu pengetahuan empirik. Lagi pula dalam pertentangannya dengan Zeno, Heraklitos mengemukakan bahwa gerakan, sebagai sifat benda dan yang menyebabkan benda, senantiasa mengalami perubahan (Nich ist, alles wird) menurut hukum gerakan, yakni Hukum Dialektika.
Di antara kaum di samping kedua golongan ahli filsafat tersebut hidup raksasa pemikir Yunani, yakni Aristoteles. Sebagai seorang tabib yang senantiasa mengenal adanya benda dan jiwa, sebagai bapak dari beberapa ilmu, terutama ilmu hayat (biologi), maka Aristoteles memusatkan perhatiannya kepada suatu susunan, suatu sistem. Aristoteles lebih daripada Zeno dan Plato dalam memperhatikan benda. Tetapi hukum berpikir yang diutamakannya ialah hukum logika dan hukum dialektika yang dikemukakannya tidak sama dengan hukum dialektika yang dipakai oleh Heraklitos dan Demokritos.
4. AHLI FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN
Besar sekali pengaruh para ahli filsafat Yunani pada umumnya, serta pengaruh Aristoteles dan Plato khususnya terhadap masyarakat di zaman pertengahan, yakni masyarakat Islam dan Nasrani. Dunia filsafat Barat memuncakkan pujiannya pada Ibnu Rusyd, yang terkenal sebagai Averoes, atau Aristoteles-nya bangsa Arab. Dan memang bendera filsafat Aristoteles yang sudah terbenam ratusan tahun itu diangkat kembali oleh Ibnu Rusyd, diperbarui dan diserahkannya sebagai warisan masyarakat Yunani. Plato pun banyak mendapat penghargaan di masyarakat Islam dan Nasrani di zaman pertengahan. Pada kedua masyarakat itu kita kurang mendengar nama Heraklitos dan Demokritos. Tetapi mungkin pengaruhnya juga cukup besar atau lebih besar daripada keterangan sejarah yang diwariskan kepada kita.
Masyarakat Islam di Abad Pertengahan mengenal satu golongan pemikir yang dinamai Mu’tazilah. Mereka terdapat di kota-kota besar kerajaan Islam dan dianggap ilegal sebagai pemberontak, sebagai anarkis dan ateis. Keterangan lebih lanjut tentang paham dan kehidupan mereka tidaklah sampai kepada kita, selain daripada bahwa mereka itu dianggap murtad oleh agama resmi. Ibnu Rusyd sendiri, kalau saya tidak salah adalah seorang Mu’tazilah dan kebebasan pahamnya itu sangat ditakuti oleh para pendeta di Eropa, sehingga para murid Eropa (Nasrani) yang kembali dari Spanyol Islam ke Eropa itu sangat diawasi gerak-geriknya. Tetapi tidak mengherankan kalau mereka kaum Mu’tazilah adalah Murba-Kota yang berpaham revolusioner dan penganut materialisme dialektis walaupun masih serba sederhana (rudimentary).
Tidaklah mengherankan kalau di Eropa Barat di zaman pertengahan itu, kita sedikit sekali mendengar nama Heraklitos dan lebih banyak mendengar nama Plato dan Aristoteles.
Hidup amat sukar sekali bagi kaum budak-serf di zaman pertengahan Eropa Barat itu. Hawa yang dingin, kabut yang tebal, alat yang serba sederhana, ringkasnya kesengsaraan hidup lantaran pemerasan dan tindasan yang kejam atas budak-serf oleh kaum ningrat dan pendeta, tidaklah memberikan kesempatan mereka memikirkan soal filsafat. Soal ini diserahkan kepada para pendeta yang tinggal di pekarangan gereja yang besar, dikelilingi oleh pohon dan dilayani oleh rakyat budak disekitarnya. Terpisah dari masyarakat pekerja seperti Logosnya Plato, terpisah dari benda yang kasar fana itu, maka para rahib dan pendeta mendapat kesempatan penuh untuk menguji filsafat Plato dan Aristoteles. Logos dan rohani mutlak Plato cocok benar dengan sifatnya God (Tuhan) yang berada lepas dari segala-galanya dan berada di atas segala itu. Paham mereka, para rahib dan pendeta, merupakan pelaksanaan Logos dan God itu di duniawi ini.
Klasifikasi Aristoteles, tentang tumbuhan, hewan dan lain-lain yang terpisah dari tumbuhan dan hewan yan sesungguhnya sangat digemari oleh schoolmen, scholasticus, ahli buku, di Abad Pertengahan. Karena ahli buku yang memang hidup terpisah dari Murba itu, memisahkan diri pula dari hewan dan tumbuhan yang sesungguhnya! Demikianlah pengetahuan buku ahli filsafat di Abad Pertengahan itu tergantung di awang-awang saja, seperti hidupnya sendiri terpisah dari rakyat Murba yang sesungguhnya, yang menghasilkan semua kebutuhan hidup para ahli filsafat di Abad Pertengahan itu.
Dari tahun 500 SM sampai tahun 1500 M, maka filsafat masih bersandar kepada agama dan ilmu pengetahuan empirik yang sederhana. Kaum idealis masih memakai kepercayaan agama sebagai premis (bukti-dasar) dalam pembentukan sistem (karangannya). Tetapi kaum materialis tidak lagi memakai anasir kepercayaan agama itu sebagai premis. Mereka ini memakai bukti yang nyata saja sebagai premis.
Keduanya, idealis dan materialis mempergunakan matematika, ilmu alam dan ilmu hayat yang sederhana sekali dalam penjelasannya. Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan empirik, maka kian ditinggalkan penjelasan yang berdasarkan kepercayaan yang tak dapat dibuktikan itu (petitio principi).
5. AHLI FILSFAT DI SEKITAR REVOLUSI PERANCIS
Di sekitar zaman Revolusi Perancis, maka ilmu pengetahuan empirik sudah jauh sekali mendapat kemajuan, kalau dibandingkan dengan zaman Plato, Heraklitos dan Aristoteles. Di Perancis kita mengenal raksasa matematika dan ilmu-ilmu alam (physic) serta mekanika seperti Maupertuis, Clairut, D’Alembert, Lagrage, Laplace, Fourier, Carnot, Pascal dan lain-lain. Di Inggris bangkit seorang raksasa matematika ilmu alam dan fisika, yakni Isaac Newton. Dalam dunia ilmu Kimia hadirlah seorang berkebangsaan Perancis bernama Lavoiser yang menyusun secara sistematis ilmu kimia, yang merupakan pengembangan lebih lanjut dari pemikiran Ibnu Sina, ahli kimia Arab!
Sedangkan Cuvier mengembangkan pemikiran Aristoteles. Perbandingan Phytagoras dilanjutkan oleh Newton, begitu juga pemikiran Archimedes oleh Pascal. Masih banyak yang bisa disebut, namun itu semua ibarat memperbandingkan anak bayi dengan orang dewasa.
Tidaklah mengherankan kalau kemajuan ilmu pengetahuan empirik, yang telah membikin jarak zaman kuno dan Abad Pertengahan seolah-olah puluhan ribu tahun lamanya itu memberikan bahan yang tidak ternilai pada ahli filsafat. Tetapi para ahli filsafat tetap terpecah dua, yakni golongan idealis dan materialis. Bahkan masing-masing golongan itu mempergunakan kemajuan ilmu pengetahuan empirik itu sebagai penjelasan (proof) kebenaran masing-masing teori mereka.
Di Inggris muncul dua ahli filsafat yang terkemuka, yakni pendeta Berkeley dan David Hume. Berdasarkan atas kerohanian si pemandang, maka David Hume dengan tekad konsekuensi seorang ahli filsafat berkata bahwa setelah final analysis (kupasan terakhir) maka segala yang ada dalam alam raya ini tidak lain hanyalah a bundle of conceptions (gabungan paham) tentang alam raya itu. Bahkan Hume mengatakan bahwa “kamu-pun” buat dia (Hume) hanyalah satu “gambaran” dalam otak Hume semata-mata. Sesungguhnya dengan begitu maka Hume meniadakan dirinya sendiri. Karena kalau Hume mengatakan bahwa orang lain, buat dia cuma satu “gambaran” dalam otak Hume saja, maka orang lain itu pun bisa berkata bahwa Hume sendiri tidak akan ada bagi orang lain itu saja, selain daripada satu gambaran dalam otak orang lain itu saja. “Kamu” buat Hume adalah “saya” buat orang lain itu. Sebalinya “saya” buat Hume adalah “kamu” buat orang lain itu.
Immanuel Kant ahli filsafat Jerman yang banyak dipengaruhi oleh David Hume tidak berani menarik kesimpulan nekat layaknya David Hume itu. Kant berdiri ditengah-tengah! Dia tidak bisa meniadakan yang ada di alam raya ini. Tetapi selain mengakui yang ada itu, dia lari pula kepada “Ding An Sich”, “benda pada dirinya sendiri”, yang belum diketahuinya. Dengan hadirnya Immanuel Kant di Jerman, maka timbul-tumbuhlah juga filsafat idealisme yang kemudian diteruksan oleh para ahli seperti Fichte dan Hegel.
Berkeley dan Hume, kedua ahli filsafat idealis Inggris di sekitar revolusi borjuis itu mendapat kritikan yang keras sekali dari ahli filsafat materialis Perancis yang termasyhur seperti Diderot dan Lamartine. Bersandarkan matematika, ilmu alam dan fisika yang maju pesat pada masa itu, maka mereka meniadakan kemahakuasaan kerohanian di alam raya ini. Tenggelam pada paham sebaliknya, maka mereka mengakui kemahakuasaan kerohanian di alam raya ini. Tenggelam pada paham sebaliknya, maka mereka mengakui kemahakuasaan Matter in move, benda bergerak. Seolah-olah manusia tak memiliki daya berhadapan dengan benda dan hukum gerakan benda di alam raya ini. Manusia itu adalah mesin yang pasif, menerima saja. Kalau ada kodrat penggerak bergeraklah dia, kalau tidak berhentilah dia. Jadi seperti mesin yang pasif, penerima itu, demikianlah pula manusia itu takluk tanpa syarat apa-apa kepada alam disekitarnya. Materialisme yang semacam ini kami namai Mechanical-matterialism, yakni materialisme yang menganggap manusia itu seperti mesin yang menerima nasibnya dari kodrat yang ada di luar dirinya saja. Seolah-olah manusia itu tidak berdaya untuk mengubah suasana dan keadaan alam di sekitarnya. Rupanya masih ada sisa semangat lama yang melekat pada semangat kaum materialisme mekanis itu. Seperti manusia sederhana merasa tak berdaya terhadap takdir Tuhan, demikian pula kaum materialis di masa Revolusi Perancis merasa tidak berdaya terhadap kebendaan itu (mechanism of matter).
6. MATERIALISME DIALEKTIS
Suara ahli filsafat materialisme, seperti juga suara ahli filsafat idealisme bisa diterima dengan baik di kalangan pemikir Jerman. Ludwig Feurbach, seorang profesor Jerman, mengadopsi filsafat materialisme dari Perancis, tetapi terutama yang menyangkut pada apa yang dinamakan menschalische taotigkeit (perbuatan manusia). Marx dalam 11 tesis bantahan terhadap Feurbach, menyatakan bahwa pemikiran Feurbach itu menyangkut “Perbuatan manusia itu pada idealisme”, sedangkan bagi Marx “Perbuatan manusia masuk ke dalam golongan kebendaan”. Setelah Feurbach dipecat oleh kaum borjuis dari pekerjaannya sebagai mahaguru lantaran dianggap terlampau radikal, maka Feurbach terpaksa hidup terpisah di desa Jerman dan kian hari kian luntur dalam pandangan revolusioner dan dalam cara berpikir menurut cara dialektika materialistis.
Pemikiran yang bersandar kepada dialektika dilanjutkan oleh Marx dan teman sezamannya, yakni Frederich Engels. Di samping pujangga, kedua orang ini adalah ahli dan penggemar matematika yang kerap mempergunakan utopis sosialisme Perancis dan Inggris. Mereka juga memanfaatkan teori Evolusi dari Charles Darwin, serta teori ekonomi Adam Smith dan David Ricardo dalam pembentukan teori mereka. Dengan mendapatkan cause atau lebih tepat condition (keadaan), yakni sebab kemajuan masyarakat itu, maka sosialisme, yang berdasarkan impian (utopia) seperti dicetak oleh Thomas Moore, Saint Simon, Fourier, dan Robert Owen, berubah menjadi scientific socialism, yakni sosialisme ilmiah. Adapun yang dianggap menjadi sebab (cause) perubahan, termasuk perubahan masyarakat, dari tingkat ke tingkat itu ialah perubahan sistem peroduksi ilmu sejarah yang didasarkan pada benda yang nyata dinamai historical materialism (materialisme sejarah), yakni teori materialisme tentang sejarah. Pandangan hidupnya yang berkenan dengan kebendaan yang bergerak itu dinamai juga Materialisme Dialektis.
Disebut materialisme karena matter, bendalah yang dianggap primus, pokok, asal di alam raya ini. Disebut pula dialektis karena cara menghampiri soal benda serta kejadian di alam raya ialah dalam keadaan bertentangan dan bergerak, yakni dalam keadaan timbul, tumbuh, dan tumbang.
Setelah Marx dan Engels mendapatkan cause atau condition, sebabnya dari perubahan dan pertukaran sesuatu masyarakat manusia itu, maka berubah-bertukarlah pula sejarah manusia, dari satu kebetulan, dari satu nasib yang tiada bersebab dan tiada pula mengakibatkan sesuatu yang nyata, menjadi sesuatu peristiwa yang berpangkal, berujung, bersebab dan berakibat. Dengan begitu, maka berpindahlah pula ilmu sejarah itu dari dunia-gaib ke dunia nyata. Demikianlah asal dan tujuan, serta lakonnya suatu masyarakat itu mulai dapat diselami oleh akal. Setelah segala kebendaan dan semua gerakannya dalam alam raya ini dipecah-pecah, dikupas, diselidiki, dan dipastikan hukumnya semenjak ahli filsafat Yunani, maka berubah bertukarlah pula filsafat, yang berbunyi what does this all mean (apakah arti semuanya ini), menjadi soal kaum ahli ilmu pengetahuan empirik yang mengupas, menyelidiki serta membentuk pelbagai ilmu pengetahuan empirik.