Rabu, 20 Juli 2011

Substansi Sosialisme: Mutiara dan Semangat Semua Ajaran Agama

Sosialisme di awal abad ke-19 hingga awal abad ke-20, digunakan dalam berbagai konteks yang berbeda-beda oleh berbagai kelompok, tetapi hampir semua sepakat bahwa istilah ini berawal dari pergolakan kaum buruh industri dan buruh tani berdasarkan prinsip solidaritas dan memperjuangkan masyarakat egalitarian dengan system ekonomi menurut mereka dapat melayani masyarakat banyak dari pada hanya segelintir elite.

Banyak pemikiran yang berkembang dari semngat sosialisme tersebut yang akhirnya menjadi sebuah ideologi (misalkan : Marxisme, Sosialisme libertarian, Anarko-Sindikalisme, Marhaenisme, Sindikalisme, Sosialisme Utopia, Sosialisme International, dll) dan Sosialisme sebagai dasar sebuah tatanan Negara dengan berbagai variansinya (Misalkan : Rusia, Eropa Timur, Kuba, Korea Utara, RRC, dll); bahkan Negara-negara yang menyatakan diri sebagai paham kapitalis, juga mengadobsi semangat sosialisme, yakni konsepnya yang popular dengan istilah “welfare state” (Eropa barat, AS, Jepang, dll). Apakah Indonesia sendiri bukan Negara sosialis?

Kalau kita renungkan, jauh sebelum abad 19, yakni hakekat dari semangat ajaran/teologi agama diturunkan, apakah bukan semangat sosialisme?

Seperti Sistem Zakat “Islam” dan Program Cinta Kasih “Kristen”, termasuk program-program sejenisnya dari agama lain , yang diciptakan dalam rangka untuk mengurangi sejauh mungkin kesenjangan di masyarakat. Bahkan tidak sekedar mengurangi kesenjangan dari sisi materi, tetapi yang lebih mendasar dari sekedar materi yakni memuliakan kebutuhan yang bersifat batiniah “ruh” atau “jiwa” manusia, agar kehidupannya lebih humanis, toleran, beradab, berkeadilan sosial, dll.

Sosialisme dan Kapitalisme Tidak Sejajar
Berkaitan dengan hal diatas, proporsionalkah sosialisme dan kapitalisme itu disejajarkan?Lalu apa arti yang terkandung dari keadilan yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sosialisme? Keadilan, dalam penjelasan yang praktis adalah kesenjangan yang dinikmati oleh komunitas dari berbagai hal, tidak boleh besar. Kenapa tidak sepadan membandingkan sosialime dengan kapitaslisme?

Mari mengurai pengertian kapitalisme dari kacamata manajemen. Seringkali di mata orang awam, yang disebut kapitalisme, adalah penghargaan yang berlebih atau untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya kepada pihak yang bermodal, dan kecenderungannya yang disebut modal adalah uang.

Apa betul yang disebut modal hanya uang semata? Dalam kaca mata manajemen, ada yang disebut unsur manajemen, yang paling mendasar terdiri dari Manusia, Mesin & peralatan, Metoda, Material, dan Uang (Money), tetapi sekarang sudah ditambah lagi informasi, Hak Cipta & Paten, dll.

Unsur Manajemen sendiri merupakan sumber daya yang berperan dalam menghasilkan sebuah output atau produk dari suatu organisasi atau perusahaan. Dari output atau produk inilah perusahaan atau organisasi akan dihargai, baik berupa materi maupun non-materi, dan dari sinilah perusahaan atau organisasi seberapa jauh akan menghargai unsure-unsur manajemen tersebut.

Dikarenakan sistem permainan dalam menghargai output atau produk organisasi atau perusahaan adalah berdasarkan hukum persaingan, maka organisasi atau perusahaan pun dalam menghargai unsur-unsur manajemen mempunyai kecenderungan yang sama yakni dengan hukum persaingan (supply – demand).

Dengan demikian penghargaan akan diberikan kepada pihak-pihak yang mempunyai nilai tawar tinggi dan sebaliknya akan diberikan rendah kepada pihak-pihak yang mempunyai nilai tawar rendah.

Sehingga sudah menjadi konsekuensi dari penerapan hukum persaingan (supply-demand), maka otomatis akan melahirkan kesenjangan, semakin kuat penerapannya, maka semakin besar pula kesenjangan yang dihasilkan.

Akar permasalahan dari permsalahan diatas, tidak sekedar hanya disebabkan oleh modal (uang), tetapi lebih mendasar adalah dari sesuatu yang ingin dihargai tinggi relatif dari yang lainnya, yang pada akhirnya menyebabkan kesenjangan. Kesenjangan inilah yang menjadi pokok permasalahan dari sebuah sosialisme, yakni mengatasi kesenjangan, yang pada akhirnya tercipta sebuah keadilan “sosial”.

Dalam mewujudkan sebuah mimpi keadilan, bisa diselesaikan dari berbagai sisi, bisa dari sistem & prosesnya, atau mengeliminir dari sisi outputnya.

Pertama, sistem dan proses, contoh yang paling ektrims, adalah tata sosial pada masyarakat tradisional misalkan pada “masyarakat baduy” Banten. Kalau kita perhatikan, hubungan diantara mereka tidak didasari hitung-hitungan dagang yang semakin hari semakin rumit, tetapi atas dasar semangat kebersamaan, silih asah asih asuh, sehingga kehidupan antara pemimpin “kepala adat” dan rakyatnya tidak terlalu jauh berbeda. Dengan demikian prosesnya sendiri sudah menghasilkan sebuah tatatanan sosial yang cenderung adil.

Kedua, mengiliminir output, kalau dari prosesnya tidak didesain dalam mekanisme sosial, maka sudah otomatis dari model persaingan “perdagangan” akan menghasilkan sebuah kesenjangan yang cenderung besar; maka untuk mengantisipasi ini perlu diciptakan mekanisme sosial yang diharapkan untuk mengurangi kesenjangan, yakni dengan menarik pajak, yang digunakan sebagian untuk membiayai birokrasi, fasilitas-fasilitas umum, termasuk program-program sosial lainnya, yang populer dengan istiliah “welfare state”. Bukannya Sistem Zakat “Islam” dan Program Cinta Kasih “Kristen”, termasuk program-program sejenisnya dari agama lain adalah diciptakan dalam rangka untuk mengurangi kesenjangan? Dan kesenjangan ini dapat disebabkan oleh sangat banyak hal, tidak hanya sekedar disebabkan oleh modal, sebagai contoh, gaji dan fasilititas pihak-pihak tertentu yang sangat tinggi relatif dengan kebanyakan, hak-hak istemewa tertentu, dll, adalah juga penyebab kesenjangan.

Kita dihadapkan pada dua pilihan:

Model pertama, ideal, tetapi rasanya dengan perkembangan yang sudah seperti ini, sangatlah sulit menerapkan model ini; karena membutuhkan nilai sosial masyarakat harus tinggi atau bagus, maka yang menjaga system adalah nilai manusianya, bukan hukum “positip” yang cenderung kaku.

Model kedua, seperti yang telah diuraikan di atas, maka semakin hukum persaingan dibuat liberal, maka mekanisme sosial harus semakin kuat dan konsisten, kalau tidak maka system dalam sebuah komunitas “Negara” akan hancur. Berbeda dengan model pertama, maka dalam model ini, yang menjaga sebuah system adalah hukum yang ketat dan diterapkan secara ketat pula.

Sudah jelaslah bahwa sosialisme adalah sangat proporsional dipasangkan berlawanan terhadap kesenjangan atau ketidak-adilan, bukan terhadap kapitalisme, dan bahkan lebih dari itu, sosialisme adalah inti mutiara dari semua ajaran agama.

Sosialisme Untuk Kemakmuran, dan Kemakmuran Jiwa

Makmur, itu binatang apa? Banyak konsep yang telah kita ketahui tetapi ternyata yang kita ikuti adalah konsep hedonisme. Kenapa ini bisa terjadi? Ternyata, pendidikan yang kita terima sampai di perguruan tinggi, adalah diturunkan dari nilai-nilai semangat hedonisme, semangat duniawi, baik itu strategi pembangunan ekonomi, manajemen perusahaan, pemasaran, konsep kesejahteraan, dll..

Penjelasannya, bisa sangat panjang, tetapi ringkasnya sebagai contoh dalam strategi ekonomi, konsumsi didorong naik, agar perusahaan ada pasarnya. Dengan pasar naik maka perusahaan produksinya naik sehingga kesempatan kerja naik. Dengan demikian ada daya beli. Dengan daya beli naik maka konsumsi naik. Apa lama-lama daya dukung alam, masih mampu memenuhi keinginan manusia tersebut, yang makin lama, makin meningkat, akibatnya alam berontak.

Berarti, konsepnya salah. Kenapa salah. Sesuatu yang sudah benar kalau dilaksanakan alam semesta akan mendukung. Apa, yang dimaksud makmur yang sesungguhnya? Apa, bukannya kenikmatan batin atau kemakmuran jiwa?

Untuk menjawab ini tentunya dengan jiwa yang tenang. Tidak dengan nafsu. Pasti seragam menjawab "setuju".

Bukannya tukang becak, banyak yang dapat merasakan kebahagiaan, sebaliknya banyak pejabat tinggi, pengusaha sukses, banyak yang tidak nikmat hidupnya? Ini semua untuk meyakinkan kepada kita, bukan materi yang membuat bahagia, tetapi rasa syukur kita, kepatuhan kita sebagai umat manusia dalam menjalankan perintah Tuhan.

Apakah, kita tidak perlu duniawi? Kita tidak akan bisa lepas dengan urusan duniawi, tetapi bukan menjadi tujuan. Tujuan kita adalah membangun kepatuhan jiwa terhadap tugas mulia dari Tuhan, dengan sarana dunia agar kehidupan kita bersama mendapatkan berkah.

Dengan demikian apapun yang kita lakukan, apa itu menata Negara, pembangunan, bermasyarakat, dll. dalam rangka membangun jiwa merdeka yang tunduk patuh kepada Tuhan. Kalau tidak, kesannya menyembah Tuhan, padahal sebenarnya menyembah makhluknya Tuhan, bisa berupa harta, tahta, termasuk tempat ibadah, termasuk agama itu sendiri, agama itu bukan Tuhan, hanya sebagai pedoman untuk sempurna di mata Tuhan Yang Maha Kuasa".

Sehingga semangat yang dibangun adalah tidak sekedar mencari nikmat tetapi mencari berkah; karena nikmat belum tentu berkah, tetapi kalau berkah pasti nikmat "secara batin". Sebagai contoh, orang korupsi bisa-bisa merasa nikmat, namun tidak berkah. Tetapi, menolong orang yang kesusahan adalah berkah dan nikmat secara "batin".

Manusia boleh berkreasi sebebas apapun, menumpuk harta (Seperti Qorun), “menumpuk” kekuasaan dan berusaha untuk bikin sesuatu permainan (Seperti Fir’aun), yang membuat seolah-olah mereka ingin jadi Tuhan atau menyaingi Tuhan, yang seolah-olah mereka ingin dunia dalam gengaman dia, namun ingat semua itu baru pada tahap ujian, bukan berkah, tapi bisa saja nikmat! Harta, penampilan (promosi) yang berkilau dan kekuasaan yang melimpah adalah ujian yang memungkinkan kita untuk lulus atau tidak lulus melewatinya, semua baru koma! Lalu keberhasilan itu apa? Keberhasilan itu konsumsi secukupnya, sisanya untuk apa? kembali lagi kepembahasan semula disinilah ruang- ruang untuk kita menjadi orang sosialis!