Senin, 11 Juli 2011

Sosiologi Agama, Sebuah Pengantar Kerangka Pemikiran

Max Weber sangat terkenal dengan sosiologi agama dalam bukunya Sociology Religion maupun yang terdapat dalam karya agungnya The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism. Dalam kedua bukunya itu, Weber banyak mengungkapkan hubungan antara etika Protestan dengan munculnya kapitalisme, dan meskipun agama lain juga dikaji oleh Weber, namun etika protestanlah yang paling menonjol sementara agama-agama lainnya seperti Islam, Budha Hindu dan lain-lain tidak terlalu penting. Jadi apa yang ingin dicapai oleh Weber adalah sebuah pemuasan tanya atau agaknya sebuah interaksionisme gampangan bahwa Kristen sebagai agama yang mendunia di Barat telah melahirkan kapitalisme. Sedang agama yang juga berakar dari cikal bakal yang sama yaitu Ibrahimiah yang menggelora di Timur secara spektakuler mestinya juga bisa melahirkan kapitalisme bagi umatnya. Tetapi apa yang ditemui Weber tidak ada kapitalisme di Timur, tidak ada asketis dalam Islam. Weber hanya menemui kenyataan bahwa dominasi patrimonialisme, misi agama Islam awal yang sudah dipenggal oleh segerombolan prajurit pemangku panji-panji Islam, telah mengugurkan kapitalisme dari kandungan Islam atau membuat Islam sekedar agama yang akomodatif.

Sebagaimana kita ketahui bahwa penelitian Weber tertuju pada dua hal. Pertama, etika Islam awal yaitu Islam pada mula perkembangannya di abad ke-7 dengan segala pirantinya seperti Nabi Muhammad, hukum syariah dan kelengkapan lainnya yang berkaitan dengan Islam (mistisisme dan syeh), Kedua, struktur birokratis yaitu patrimonialisme dalam latar feodalisme Islam yang prebendal beserta segala macam ulahnya dan yang terakhir sekularisme di Turki yaitu hasrat besar Bani Usmaniah menandingi kapitalisme Barat. Akan tetapi sayangnya kedua obyek sosiologinya tidak dapat ia relevansikan dalam satu kesimpulan sosiologis yang jelas karena analisanya yang tak kunjung selesai.

Salah satu sosiolog yang mengkritik Weber tentang agama Islam adalah Bryan S. Turner , seorang mahaguru sosiologi di Universitas Flinders Australia. Dalam bukunya yang berjudul Weber and Islam, a Critical Study, Bryan Turner berhasil manunjukkan keanehan-keanehan Weber dalam menerapkan metode-metode sosiologis.. Umpamanya, Weber tidak mau memasukkan Tuhan sebagai pemberi wahyu kepada Nabi selaku pelaku sosial. Padahal dalain kesempatan lain Ia menyimpulkan pelaku yang tidak tampak sebagai aktor sosial penuh. Ia juga memperlakukan syariat tidak dalam substansi tetapi dalam konteks sosial. Lebih dari itu, Ia berupaya memberikan bentuk yang tetap pada Islam melalui subyektifitasnya sendiri, misalnya anggapan bahwa Islam itu hedonis atau kedudukan wanita yang dianggap rendah dan keberadaan nabi Muhammad yang meragukan dengan syariat yang tidak efektif dan pembaharuan Islam yang tidak lain adalah westernisasi. Dengan kata lain, Weber mengabaikan sosiologi ciptaannya sendiri, terutama metode interpretatif dengan tidak mengacuhkan sama sekali aktualitas yang hidup dikalangan kaum muslimin.

Bryan Turner berpendapat bahwa cara Weber memperlakukan dan menafsirkan Islam secara faktual sangat lemah tidak seperti tesa khususnya calvinisme , yang mula-mula dikembangkan Weber dalam karyanya The Ethic and The Spirit of Capitalism. Pada umumnya pembahasan Weber tentang Islam yang menggunakan istilah-istilah patrimonial dan feodalisme prebendal sejalan dengan sosiologi Marx, walau tidak sama dengan Marxisme. Kalau sifat ini sudah dikonkretkan haruslah diakui kedudukan pandangan Weber mengenai relevansi kepercayaan beragama dan struktur sosial seringkali tidak konsisten atau goyah. Dalam memahami Weber, banyak sosiolog menunjukkan keruwetan alasan-alasan dan uraian-uraiannya, tetapi mereka sependapat bahwa memang ada tema sentral dalam karya Weber yang menyatukan dan mempersatukan pemikiran sosiologisnya. Masalahnya adalah para sosiolog tidak sependapat tentang apa yang menjadi titik pusat dalam karya Weber (Bryan Turner, 1991:4-5).

Sampai suatu tingkat, catatan-catatan Weber tentang Islam kelihatannya sebagai pendamping saja bagi analisa sosiologis etika protestannya. Memang Weber memandang Islam dalam banyak segi, sebagai lawan puritanisme. Bagi Weber Islam bersemangat hedonisme murni yang mengutamakan kesenangan dan kebahagiaan dalam hidup khususnya terhadap wanita, kemewahan dan harta benda. Mengingat kemudahan yang diberikan oleh etika Qur’an tidaklah terdapat pertentangan antara perintah-perintah moral dan duniawi dan hasilnya adalah bahwa tidak mungkin etika asketis yang dominan akan muncul dari dunia Islam. Dengan begitu, kita mungkin akan gampang tergoda menafsirkan pendapat Weber yang menyatakan bahwa asketisme yang tidak ada dalam ajaran Islam selanjutnya dapat dijelaskan dalam kapitalisme rasional yang tidak dapat tumbuh didalam masyarakat yang didominasi olah budaya Islam. Namun kita hanya dapat mengambil posisi ini jika dapat menunjukkan bahwa Weber mempertahankan kondisi-kondisi penting kapitalisme modern sebagai faktor konstan. Kenyataannya, Weber mwnunjukkan bahwa hukum rasional formal, kota swatantra, kalas menengah yang bebas dan stabilitas politik sama sekali tidak terdapat dalam Islam. Weber menandaskan dengan feodalisme prebendal dan birokrasi patrimonial yang menjadi ciri khas kaum Abbasiah, Mamluk dan Usmaniah tidak akan menciptakan kapitalisme yang rasional. Kondisi militer dan ekonomi masyarakat Islam tidak memadai bagi perkembangan kapitalisme. Dengan demikian ada dua pandangan Weber tentang etika Islam. Pertama, analisa etika Islam berdiri sendiri dan terlepas dari analisa mengenai struktur sosio ekonomis masyarakat Islam. Tidak ada upaya Weber sedikitpun untuk mengaitkan apa yang dianggap sebagai etika prajurit dengan dominasi patrimonial para sultan dan khalifah. Jika diperhatikan dengan benar, argumen Weber tentang etika prajurit Islam, maka akan didapati bahwa argumennya tidak identik dengan pandangan seorang idealis sejarah juga bukan analisa afinitas elektik. Tidak ada hubungan alami antara monoteisme Muhammmad dengan prajurit Arab. Yang terjadi adalah kasus dimana masyarakat prajurit dan susku-suku mengambil alih ajaran Muhammad dan menyesuaikannya dengan kehidupan mereka. Weber sendiri secara khusus menolak setiap penafsiran psikologis tentang ajaran Islam. Dapat dilihat bahwa argumentasi Weber tentang Islam tidak dituangkan dalam istilah the religion of individual dan Weber menganggap bahwa agama sebagai faktor yang menentukan struktur negara-negara Islam.

Dogma khususnya syariat Islam merupakan kerangka yang “dingin “ dan berpengaruh secara kausal dimana kegiatan sosial berlangsung. Namun kemudian Weber memperlunak pernyataan ini dengan menerangkan bahwa dominasi patrimonial yang berbuat sekehendak hatinya dan yang tidak dapat diperkirakan dari semula mempunyai hasil memperkuat lingkungan ketaatan terhadap hukum (Bryan Turner,1991:15). Walaupun Weber selalu tergelincir ke dalam posisi kausalitas pluralis dan ketidak pastian kausal, namun wujud keseluruhan pengkajiannya,bahwa masyarakat Islam adalah sebuah masyarakat yang berciri dominasi patrimonial,yang menyebabkan hubungan-hubungan politik,ekonomi dan hukum menjadi tidak stabil dan kacau, tegasnya tidak rasional.Weber berkelanjutan mempertentangkan kondisi sosial feodalis Eropa, yang menjamin hak milik, dengan kondisi feodalisme prebendal dan patrimonialisme dunia timur yang menggunakan cara-cara yang semena-mena.

Dengan demikian paparan yang dikemukakan Weber mengenai etika Islam tidaklah benar dan dengan analisa yang dangkal.